Kaleidoskop 2021, Korupsi Terus Bersemi dalam Sistem Demokrasi


Oleh Nur Fitriyah Asri
Penulis Opini Bela Islam Akademi Menulis Kreatif

Korupsi sepanjang tahun 2021 tumbuh bersemi di negeri ini. Berita tentang korupsi selalu mewarnai dan meramaikan media sosial. Miris, pada saat rakyat sekarat menghadapi sulitnya hidup. Di sisi lain kasus korupsi merajalela pada semua lini kehidupan.

Menurut Plt. Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Ali Fikri, sejak Januari hingga 30 November 2021 mengaku KPK sudah menerima aduan dugaan tindak pidana korupsi sebanyak 3.708 aduan. Sejumlah 3.673 aduan telah selesai diverifikasi, yakni pemeriksaan tentang kebenaran.(liputan6.com, 20/12/2021)

Berdasarkan laporan Indeks Persepsi Korupsi (CPI), pada 2020 Indonesia berada di urutan 102 dunia terhadap 180 negara-negara bersih dari kasus korupsi. Skala penilaian yang digunakan adalah 0 (sangat korup), hingga 100 (sangat bersih). Adapun Indonesia mendapatkan skor 37, artinya mengindikasikan banyaknya korupsi di negara ini.

Selain itu, Pandemi Covid-19 tidak hanya menyebabkan krisis kesehatan dan ekonomi, tetapi juga krisis korupsi. Secara keseluruhan, menurut Indonesia Corruption Watch (ICW) kinerja penanganan kasus korupsi Aparat Penegak Hukum (APH) yang terdiri dari Polri, Kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada semester I/2021 hanya mencapai 19% dan mendapat peringkat E (sangat buruk). Selain itu, kerugian negara dari tahun ke tahun akibat korupsi justru kian meningkat.

Dari laporan Indonesia Corruption Watch (IWC), berkaitan dengan kerugian negara akibat korupsi selama 2021, KPK menahan 104 pelaku korupsi dan menyelamatkan potensi kerugian Rp46,5 triliun. Ini meningkat empat kali lipat ketimbang tahun 2019 dengan kerugian mencapai Rp12 triliun. Pada 2020, total kerugian mencapai Rp 56.7 triliun. (Kompas.com, 8/12/2021)

Dari hasil survei Global Corruption Barometer (GCB), tercatat pada 2020, anggota legislatif (DPR), pejabat pemerintah daerah, dan polisi menempati urutan teratas sebagai lembaga terkorup di Indonesia. Korupsi juga merambah di semua lini dengan rincian: Anggota legislatif 51%, pejabat pemerintah daerah 48%, pejabat pemerintah 45%, polisi 33%, pebisnis 25%, hakim/pengadilan 24%, presiden/menteri 20%, LSM 19%, Bankir 17%, TNI 8%, dan pemuka agama 7%.

Demokrasi Faktor Penyebab Korupsi

Korupsi adalah perilaku melawan hukum yang merugikan banyak orang untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain, baik perorangan maupun korporasi yang merugikan keuangan dan perekonomian negara. 

Menurut buku Pendidikan Antikorupsi untuk Perguruan Tinggi disusun oleh Tim Penulis buku pendidikan antikorupsi Perguruan Tinggi, faktor penyebab korupsi meliputi:

1. Faktor Politik
Ketika terjadi instabilitas, yakni keadaan politik tidak stabil, adanya kepentingan politik untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan, maka terjadilah penyuapan atau money politik, yakni politik uang dalam bentuk uang, barang, atau janji.

2. Faktor Hukum
Karena aspek perundang-undangan yang tidak adil, juga lemahnya penegak hukum, ini menjadi peluang terjadinya korupsi. Ada kompensasi, semisal dengan memberikan sanksi terlalu ringan.

3. Faktor ekonomi
Karena gaji yang rendah, tamak terhadap harta, ini pemicu korupsi. Sehingga korupsi berdampak pada kemiskinan.

Sejatinya, semua faktor penyebab korupsi di atas karena diterapkannya sistem demokrasi di negara ini. Adanya pesta demokrasi yang dilaksanakan setiap lima tahun sekali dalam pemilu presiden, pemilu legislatif, dan pilkada membutuhkan biaya politik yang sangat mahal. Menurut Ahmad Doli Kurnia, Ketua Komisi II DPR RI,  pelaksanaan Pemilu 2024 adalah Pemilu yang sangat mahal. Mengingat penyelenggara Pemilu  (KPU, Bawaslu, baik APBN, APBD) telah mengajukan permohonan anggaran sekitar Rp140 triliun. (diskusi daring di kanal Youtube) KPU Provinsi Sulawesi Barat, 26/8/2021)

Korupsi di negeri ini sudah akut. Ironisnya, Pemilu berbiaya mahal  hanya melahirkan anak bangsa yang korup, tidak amanah, dan zalim. Sebab, siapapun yang ingin duduk di kursi kekuasaan diperlukan fulus (uang) agar jalannya mulus hingga ke tampuk kekuasaan. Partai politik yang menjadi kendaraannya tidak gratis, tetapi memasang harga yang  cukup tinggi. Tidak berupa materi saja, melainkan juga dil-dil politik terkait tukar guling jabatan demi hasrat kekuasaan. 

Sofyan Hernowo, Director of Prajna Research Indonesia, mengatakan ada biaya minimal yang harus disiapkan oleh seorang caleg saat akan menghadapi pileg, yakni:
Calon anggota DPR RI Rp1 milyar-Rp2 milyar; Calon anggota DPRD Provinsi Rp500 juta- Rp1 miliar; Calon anggota DPRD Kabupaten/kota Rp250 juta-Rp300 juta.

Hal itulah yang melahirkan praktik-praktik korup yang dilakukan para politisi atau pejabat terpilih. Pertama yang dipikirkan adalah bagaimana mengembalikan biaya politik yang dikeluarkan agar "balik modal". Penyelewengan kekuasaan membuka ruang untuk suap atau korup terutama terkait dengan pengurusan, pembahasan, dan pengesahan anggaran.

Fakta itulah yang membuat sistem politik demokrasi melahirkan korupsi yang terus bersemi. Praktik korupsi dan suap tidak hanya terjadi di legislatif, ekskutif, dan yudikatif, tetapi juga menyasar ke semua lini dan sudah menggurita di mana-mana.

Hal tersebut membuktikan bahwa korupsi terus bersemi karena akarnya tidak tercabut. Selama demokrasi masih bercokol di negeri ini, korupsi terus bersemi dan tumbuh subur. Hal ini, karena asas demokrasi adalah sekularisme, yakni memisahkan agama dari kehidupan.
Artinya tolok ukur perbuatan bukan halal dan haram melainkan asas manfaat dan kebebasan.

Sistem Islam Solusinya

Sistem Islam atau khilafah adalah sistem pemerintahan Islam di seluruh dunia yang dipimpin oleh seorang khalifah, untuk menerapkan Islam secara kafah dan mengemban dakwah ke seluruh dunia.

Oleh karenanya, khilafah dalam menjalankan roda pemerintahan berdasarkan kitabullah dan sunah Rasul-Nya. Semata-mata pemerintahan ini dijalankan dalam rangka beribadah kepada Allah Swt.

Khilafah tegak berasaskan akidah Islam, ini mendorong semua individu memiliki akidah yang kuat dan kokoh. Oleh sebab itu, pengangkatan pejabat atau pegawai negeri syaratnya tidak hanya berdasarkan profesional, tetapi  takwa merupakan syarat penting agar memiliki self control yang kuat sebagai seorang muslim. Merasa diawasi Allah Swt. dan menganggap jabatan adalah amanah yang harus ditunaikan dengan benar karena akan dimintai pertanggungjawaban di dunia dan akhirat.

Khilafah memberikan gaji yang cukup pada pejabat atau pegawainya. Agar kebutuhan primer, sekunder, dan tersier terpenuhi. Hal ini untuk mencegah kasus korupsi.

Khilafah membentuk Badan Pengawasan atau Pemeriksaan Keuangan. Untuk mengetahui apakah pejabat dalam instansi pemerintah itu melakukan kecurangan apa tidak dilakukan pemeriksaan ketat sebelum dan sesudah menjabat. Bahkan saat menjabat pun hartanya selalu dihitung. Jika ada perubahan dan meragukan maka diverifikasi ada atau tidak penambahan secara syar'i. Jika terbukti melakukan kecurangan atau korupsi maka harta akan disita dan dimasukkan kas negara. Kemudian pejabat tersebut diproses secara hukum. (Syekh Abdul Zallum, kitab Al Amwal fi Daulah Khilafah)

Jika terbukti korupsi atau menerima suap atau melakukan kecurangan, maka diberi sanksi ta'jir. Korupsi secara syar'i tidak termasuk mencuri sehingga tangannya harus dipotong. Karena Rasulullah bersabda, "Bagi orang yang berkhianat (menyalahgunakan wewenang) dan koruptor tidak ada keharusan tangannya dipotong." Hukumannya ditentukan oleh khalifah atau yang mewakili. Hukumannya keras dan tegas, dalam bentuk publikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk hingga hukuman mati.

Hanya sistem khilafah yang dapat melibas korupsi hingga ke akarnya. Hukum yang keras dan tegas membuat jera para pelaku korupsi, suap, kecurangan, dan mencegah yang lain berbuat hal yang sama.

Wallahu a'lam bishshawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post