Harga Minyak Goreng Melangit, Rakyat Menjerit


Oleh: Novianti Noor

Harga minyak goreng merangkak naik selama hampir empat bulan. Padahal Kaltim penghasil bahan baku utama minyak goreng. Namun apa mau dikata, minyak sawit mentah (CPO) hanya diekspor mentah-mentah. Saat ini, harga sawit dunia sedang beranjak naik. Sayangnya, Kaltim khususnya belum bisa menikmati keuntungan ini. Malah mendapatkan harga minyak goreng yang melambung.

Menurut pantauan Dinas Perdagangan Samarinda, harga minyak goreng sudah naik sejak September 2021. Harga terbaru pada Rabu, 1 Desember 2021, minyak goreng masih berkisar Rp 17 ribu hingga Rp 21 ribu per liter berdasarkan data dari 11 pasar tradisional di Kota Tepian.  (https://kaltimkece.id/warta/ekonomi/pesan-dari-melambungya-harga-minyak-goreng-ironi-kaltim-penghasil-cpo-yang-tak-punya-industri-hilir)

Indonesia sendiri adalah penyumbang total ekspor kelapa sawit sebesar 37,3% pada tahun 2020. Sementara, untuk pangsa pasar sendiri, Indonesia merupakan yang terbesar dunia, yakni 55 % dari total pasar kelapa sawit dunia. Sebagai pengekspor dan penghasil kelapa sawit namun justru rakyat makin menjerit  dengan harga minyak goreng yang melambung.
 
Dengan melambungnya harga minyak goreng adalah ironi bagi Indonesia, khususnya Kaltim yang memiliki 1,22 juta hektare kebun sawit sebagaimana catatan Badan Pusat Statistik Kaltim. Sebagian besar CPO Kaltim diekspor dengan negara tujuan ekspor yaitu Tiongkok, Jepang, dan Korea. Kaltim sendiri belum memiliki industri turunan sawit. Inilah yang menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah dalam industri hilirisasi.

Ironi Daerah Penghasil CPO

Perkebunan sawit tidak memberi kontribusi langsung kepada masyarakat. Naiknya harga CPO di pasar dunia tidak memberikan pengaruh menguntungkan kepada rakyat, karena minyak sawit mentah (CPO) hanya diekspor mentah. Namun dampak akibat perkebunan sawit dapat langsung dirasakan rakyat. Tanah menjadi tandus, jalan menjadi rusak akibat angkutan sawit hingga dampak lingkungan seperti banjir juga tak terelakkan. 

Kenaikan harga minyak goreng di tengah pandemi yang belum tahu kapan berakhir tentu akan memperlambat pemulihan ekonomi, bahkan dapat menimbulkan kegaduhan di berbagai sektor usaha. Kenaikan ini juga menambah beban rakyat karena harga-harga lainnya dapat ikut terkerek. Mereka harus mengeluarkan biaya lebih besar untuk mengisi perut. Otomatis, bertambah pula pengeluaran biaya belanja untuk memenuhi kebutuhan sekeluarga.

Upaya pengembangan hilirisasi yang diupayakan pemerintah untuk meningkatkan nilai tambah dan menaikkan pemasukan daerah hanya bayangan semu semata. Pemerintah mengklaim telah melakukan mitigasi permasalahan harga minyak goreng dan memastikan stok dalam negeri saat ini 628 ribu ton untuk mencukupi kebutuhan 1,5 bulan ke depan. Kemudian meminta produsen menyiapkan minyak goreng kemasan sederhana sebanyak 11 juta liter sebagai alternatif memenuhi kebutuhan masyarakat dalam jangka pendek dengan harga 14 ribu per liter. Lantas, mengapa status negeri penghasil sawit terbesar tidak berpengaruh pada pemenuhan kebutuhan rakyat atas minyak goreng?

Kegagalan Kapitalisme Mengelola Sumber Daya Alam

Pada dasarnya inilah yang menjadi akar masalahnya. Adanya gurita sistem ekonomi liberal yang telah digunakan untuk mengelola komoditas sawit. Padahal, sistem ekonomi liberal pastinya berpihak kepada para pemodal dan sama sekali tidak memihak rakyat. 

Pundi-pundi komoditas kekayaan alam yang seharusnya dikembalikan kepada kesejahteraan rakyat, diserobot oleh pilar-pilar kekuasaan oligarki. Rakyat bagaikan tikus mati di dalam lumbung padi. Banyaknya sumber daya alam tak mampu dikelola demi kesejahteraan. Kekuasaan yang ada hanya memperkaya diri penguasa sendiri. Semua untuk uang dan apa pun demi keuntungan.
 
Inilah bentuk bobroknya sistem kapitalisme yang sekian lama dirasakan. Posisinya hanya untuk melindungi para pejuang kapital. Keberadaan pemodal besar pemilik pabrik dan kebun raksasa sawit menegaskan dan memfasilitasi adanya kapitalisasi.

Sungguh, pola kenaikan harga CPO dunia tak ubahnya harga minyak dunia. Dampaknya bersifat domino hingga ke individu-individu miskin. Coba tengok soal BBM. Apakah penggunanya hanya rakyat kelas atas? Tentu tidak, bukan? Justru konsumen terbesarnya adalah rakyat kecil. Jelas sekali, kapitalisme telah sangat zalim mengelola CPO. Mereka sengaja menggaungkan alasan perubahan iklim dan pemanasan global, sehingga penggunaan bahan bakar fosil beralih ke nabati. Padahal, di pelosok dunia terjadi pertaruhan sejumlah besar hajat hidup sektor pangan manusia yang mengonsumsi CPO.

Solusi Tuntas Berasal dari Islam

Dalam ideologi Islam terdapat sistem ekonomi Islam yang meniscayakan pemerataan kebutuhan hidup. Terlebih ini soal asasi akses terhadap bahan pangan, yakni berdasarkan prinsip terpenuhinya kebutuhan pangan individu per individu. Yang mana, sungguh celaka penguasa yang membiarkan rakyatnya kelaparan.

Secara praktis, negara bertanggung jawab menjamin pemenuhan kebutuhan pokok rakyat dengan menjalankan sistem ekonomi Islam. Kemudian untuk  mengurai rantai kesenjangan, serta menjamin distribusi sumber daya alam sehingga penikmatnya tidak hanya orang kaya. 

Allah Swt. berfirman, “ … supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.” (QS Al-Hasyr [59]: 7).

Negara wajib mandiri bebas berdaulat dari intervensi swasta ataupun asing, mengawasi sistem produksi, pengolahan hingga distribusi bagian dari tangung jawab negara. Dalam pemenuhan kebutuhan pokok rakyat maka negara wajib: 

Pertama, terkait produksi, negara akan menjaga pasokan dalam negeri. Negara membuka akses lahan bagi semua rakyat untuk memaksimalkan produksi lahan, mendukung petani baik berupa modal, edukasi, sarana dan lain sebagainya

Kedua, terkait distribusi. Negara akan menciptakan pasar yang sehat dan kondusif, mengawasi rantai tata niaga pasar dan mengawasi penentuan harga mengikuti mekanisme pasar. 

Dalam perdagangan luar negeri wajib pula mengikuti syariat Islam dan mengedepankan kemaslahatan Islam dan kaum muslimin. Negara sebagai penetu dan pengatur perdagangan luar negeri, baik atas nama individu maupun atas nama negara. 

Dengan demikian, jika Islam adalah solusi satu-satunya untuk mengatasi persoalan ini, wajib bagi kita sebagai muslim untuk mengambil solusi tersebut. Caranya dengan turut memperjuangkan sistem Islam agar tegak di seluruh negeri muslim. Walhasil, kekayaan SDA yang ada benar-benar bermanfaat dan bisa rakyat nikmati karena terkelola dengan baik oleh negara. Wallahu a’laamu.[]

Post a Comment

Previous Post Next Post