Dilema Perkawinan Anak



Oleh Ernawati, A.Md.
(Anggota Forum Muslimah Kota Banjarbaru)

Adanya pandemi yang melanda dunia  termasuk Indonesia selama hampir dua tahun ini telah memberikan dampak terhadap kehidupan masyarakat, termasuk kehidupan sosial. Diantaranya adalah meningkatnya kasus perkawinan anak. Berdasar data dari Ditjen Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung, dispensasi nikah anak pada tahun 2020 yang dikabulkan melonjak 300 persen dari tahun sebelumnya. Pada tahun 2019 tercatat sebanyak 23.126 dispensasi, selanjutnya di tahun 2020 tercatat sebanyak 64.211 dispensasi. Hal ini harus menjadi perhatian serius bagi pemerintah kata Muhadjir Effendy, selaku Menteri Koordinator  (Menko) Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK).(inews.id, 19/3/21)

Juga senada, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga mengatakan bahwa jumlah perkawinan anak mengalami kenaikan di 18 provinsi di Indonesia. Padahal, menurutnya secara nasional angka perkawinan anak sudah menurun sejak tahun 2018 hingga 2019. Yaitu 11,21 persen dari total perkawinan yang ada di tahun 2018 dan turun menjadi 10,82 persen di tahun 2019.

Bintang berharap pemerintah daerah setempat lebih berkomitmen untuk menekan angka perkawinan anak ini. Bintang juga menambahkan bahwa angka perkawinan anak yang tinggi akan menggagalkan banyak program yang dicanangkan pemerintah. Baik itu indeks pembangunan manusia maupun tujuan pembangunan berkelanjutan serta akan berdampak pada bonus demografi. Ia mengatakan, pemerintah dalam Rencana Program Jangka Menengah Nasional (RPJMN) menargetkan  angka perkawinan anak berada di bawah 10 persen dari total perkawinan yang ada di tahun 2024. Tepatnya 8,74 persen di akhir tahun 2024. (CNN Ind, 18/3/2021)

Sebenarnya, upaya yang dilakukan untuk menekan jumlah perkawinan anak ini cukup masif dan variatif. Termasuk upaya-upaya penyuluhan yang dilakukan para penyuluh agama. Akan tetapi kalau mau dicermati, upaya-upaya tersebut masih belum menyentuh akar masalah yang menimbulkan tingginya kasus tersebut.
Tingginya angka perkawinan anak ini diantaranya terjadi karena para remaja yang terjerumus dalam pergaulan bebas, hingga terjadi kehamilan. Maka mereka menjadikan perkawinan anak sebagai solusi.

Demikian juga dengan faktor ekonomi, karena semakin sulit untuk menafkahi keluarga, maka anak perempuan yang baru lulus sekolah ataupun putus sekolah, lalu dinikahkan oleh orang tuanya untuk mengurangi beban nafkah. Sementara bagi pelaku perkawinan anak itu sendiri, karena tidak ada kesiapan secara mental. Inilah yang kemudian memunculkan persoalan baru, seperti perceraian, KDRT, ataupun stunting pada anak yang dilahirkan sampai kematian pada ibu dan anak.

Oleh karena itu, menjadikan pokok persoalannya adalah perkawinan anak, sebenarnya tidaklah tepat. Karena ini adalah efek dari berbagai masalah lain yang perlu penyelesaian. Ini semua berakar dari sistem sekuler kapitalis yang diterapkan di negeri kita. Akibatnya nilai-nilai kebebasan yang lepas dari agama mendominasi kehidupan kita. Sistem pergaulan yang merujuk kepada pergaulan di Barat yang mengedepankan kebebasan bertingkah laku, telah menjadi trend di kalangan remaja milenial. Terlebih, mudahnya remaja mengakses konten-konten pornografi dan pornoaksi, yang tersedia di media sosial.

Demikian juga dalam sistem ekonomi kita yang menganut ekonomi neo liberal kapitalis. Sistem ekonomi ini telah menciptakan kemiskinan sistemik, karena kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan para pejabat dan penguasa negeri ini berangkat dari cara pandang kapitalis. Ini menghasilkan jurang yang sangat dalam antara orang miskin dan orang kaya. Karena dalam pandangan kapitalis, fungsi negara bukan sebagai pengayom rakyat, tetapi hanya sebagai fasilitator dan regulator. Maka rakyat yang punya kemampuan akan bisa bertahan dan berkembang, bahkan menjadi sangat kaya. Sementara yang lemah akan tetap dalam kemiskinan walaupun sudah banting tulang dalam berusaha. Persis seperti hukum rimba, yang kuat yang akan menang. Tentu ini adalah sistem yang tidak manusiawi.

Sementara upaya-upaya yang diambil dalam menekan jumlah perkawinan anak tersebut, cenderung merujuk kepada rekomendasi yang dikeluarkan oleh lembaga internasional. Tanpa memperhatikan apakah rekomendasi itu sesuai untuk persoalan yang terjadi. Bahkan, yang menjadi sumber meningkatnya kasus perkawinan anak tersebut tidak dihilangkan atau ditutup. Hal ini tentu ini mengharuskan adanya political will dari pemerintah.

Dengan demikian, masalah sebenarnya bukan pada perkawinan anak itu sendiri. Karena perkawinan ataupun pernikahan adalah aktivitas sakral dalam semua agama, sehingga tidak lantas menjadikan stereotif negatif terhadap perkawinan anak. Di dalam Islam pernikahan sendiri dikatakan sebagai ikatan yang sangat kuat ( watsiqan ghalizhan) dan justru dianjurkan untuk orang-orang yang mampu untuk menikah, dalam rangka menjaga diri. Bagi yang belum mampu, dianjurkan untuk berpuasa.
Yang dimaksud mampu disini tentunya bukan sekedar terkait finansial, tapi lebih pada kesiapan mental calon mempelai. Kedua calon tersebut harus memahami hak dan kewajiban masing-masing dalam berumah tangga, sebagaimana yang sudah diajarkan dalam agama, seperti syariat munakahat bagi yang Muslim.
Tentunya harus ada peran negara dalam menjamin edukasi kepada masyarakat, bukan stereotif negatif tentang perkawinan anak, tapi menjelaskan bagaimana seharusnya kehidupan perkawinan itu diwujudkan.

Juga negara bertanggung jawab atas sistem pergaulan yang mengedepankan akhlak mulia dan nilai-nilai keberadaban. Sehingga negara harus mencegah masuknya nilai-nilai kebebasan yang merusak dan mempengaruhi kehidupan remaja hari ini. Remaja diedukasi untuk melakukan hal-hal yang positif dan bermanfaat bagi peradaban manusia. Sehingga remaja tidak terjebak dalam pergaulan bebas dan gaya hidup yang bucin. Dan sekali lagi, inipun mengharuskan peran negara, diantaranya dengan menjamin akses pendidikan untuk semua lapisan masyarakat.

Negara akan menyelenggarakan pendidikan dengan kualitas terbaik dan gratis untuk semua. Ini tentu, akan mendorong para remaja, lebih giat menuntut ilmu dan berlomba-lomba menyumbangkan karyanya yang terbaik.

Hal yang tak kalah pentingnya adalah peran negara dalam menetapkan kebijakan sistem ekonominya. Harus berorientasi kepada menyejahterakan rakyat, dan mengedepankan terealisasinya kemaslahatan bagi masyarakat disegala sektor kehidupan.

Negara yang memainkan peran sebagaimana di atas, telah dicontohkan oleh Kekhilafahan Islam yang pernah berjaya selama kurang lebih 13 abad. Khilafah hanya mengeluarkan kebijakan yang bersandar kepada syariat Allah Swt., yang bersumber dari Al-Qur'an, sunah, ijma shahabat dan qiyas.

Maka berharap penyelesaian dilema ini, hanyalah bisa terealisir dalam negara yang menganut sistem khilafah yang menerapkan syariat Allah secara keseluruhannya, disemua aspek kehidupan.

Wallahu a'lam bissawwab.

Post a Comment

Previous Post Next Post