Arogansi Korporasi Dalam Sengketa Lahan




Oleh Juniwati Lafuku, S. Farm.
 (Pemerhati Sosial)


Konflik agraria antara masyarakat dan korporasi terus terjadi meski ditengah pandemi. Kali ini antara PT Sentul City dan warga Bojong Koneng. 

Head of Corporate Communication PT Sentul City, David Rizar Nugroho, mengatakan pihaknya tengah melakukan penataan lahan di Desa Bojong Koneng, Kecamatan Babakan Madang, Kabupaten Bogor, tepatnya di Kampung Gunung Batu Kidul.

"Kegiatan penataan lahan di Kampung Gunung Batu Kidul, Desa Bojong Koneng, Kecamatan Babakan Madang Kabupaten Bogor sudah melalui koordinasi dengan pengurus RT, RW dan desa setempat dan mendapat dukungan warga kampung setempat," ujarnya (Republika.co.id, 3/10/2021).

Namun, warga menilai PT Sentul City telah melakukan penggusuran, bukan penataan lahan atau mengusir mafia tanah. Warga setempat menuturkan, hal ini diawali oleh datangnya pihak Sentul City dan orang yang diduga merupakan pihak desa, untuk melakukan pengukuran lahan pada Jumat (30/9). Hanya saja, tindakan itu dicegah oleh warga. Namun kemudian pada hari Sabtu (2/10) siang, buldozernya Sentul gerak lagi. Itu lahannya salah satu warga diratakan oleh pihak Sentul City bersama pasukannya, tidak tahu dari mana dan jumlahnya lebih banyak dari pada warga.

Kepemilikan Lahan yang Timpang

Permasalahan tanah atau biasa disebut agraria memang menjadi sesuatu yang tidak mungkin dilepaskan dari sejarah manusia. Selama tanah masih menjadi sumber penghidupan umat manusia, selama itu pula permasalahan tanah terus berlangsung. 

Tanah adalah sumber penghidupan dan akan diperjuangkan walaupun harus mati sekalipun. Lalu bagaimana jika di dalam kehidupan ada yang memonopoli tanah? Sudah bisa dipastikan yang memiliki tanahlah yang memperoleh hasil banyak dari pengelolaan tanah tersebut.

Setidaknya ada dua pemicu konflik agraria. Pertama kurang tepatnya hukum dan kebijakan pengatur masalah agraria, baik terkait pandangan atas tanah, status tanah dan kepemilikan, hak-hak atas tanah, maupun metode untuk memperoleh hak-hak atas tanah. Kedua, kelambanan dan ketidakadilan dalam proses penyelesaian sengketa tanah, yang akhirnya berujung pada konflik.

Indonesia diharapkan terbebas dari kasus-kasus sengketa lahan, baik antarmasyarakat maupun antara masyarakat dan korporasi, pada 2025. Pasalnya, pemerintah menargetkan 126 juta bidang lahan di semua daerah di Indonesia sudah bersertifikat pada 2025.

Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria, Dewi Kartika mengatakan, sertifikasi tanah, tanpa didahului oleh proses penataan ulang struktur agraria yang timpang, hanya akan melegalkan dan memperparah ketimpangan struktur penguasaan tanah yang sudah timpang antara masyarakat miskin, petani gurem, dan korporasi skala besar. sertifikasi tanah tidak bisa langsung diklaim sebagai reforma agraria. 

Sertifikasi saja tidak cukup. Lakukan land reform untuk menata ulang kepemilikan lahan yang timpang, perkuat haknya melalui sertifikat baik individual maupun kolektif atau komunal. Langkah penggenap reforma agraria yang genuine adalah program penunjang pasca-land reform yang mengarah pada terciptanya pusat-pusat ekonomi dan produksi rakyat secara kolektif di tanah hasil reforma agraria. 

Gap Antara Kebijakan dan Realisasi di Lapangan

Berbagai hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Hukum Agraria yang dibentuk dengan tujuan meletakkan dasar-dasar bagi penyusun hukum agraria nasional yang merupakan sarana untuk mengupayakan sebesar-besarnya kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi rakyat, tidak selaras atau berhubungan dengan apa yang terjadi pada situasi sekarang. Sehingga terjadi ketimpangan dalam penguasaan tanah, baik itu orang, korporasi maupun pemerintah.

Berdasarkan data yang dimiliki Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) menyebutkan 71 persen tanah di seluruh daratan di Indonesia telah dikuasai korporasi kehutanan. Di samping itu, 23 persen tanah dikuasai oleh korporasi perkebunan skala besar, para konglomerat dan sisanya dimiliki masyarakat. Tercatat, rata-rata pemilikan tanah petani di pedesaan kurang dari 0,5 hektar dan tidak bertanah (Tirto.id, 27/92017).

Lima tahun terakhir pelaksanaan reforma agraria dianggap gagal. Konflik tidak tersentuh. Korporasi besar yang berkuasa, mampu mendiskriminasi dan mengkriminalisasi masyarakat yang tidak punya penguasaan lahan secara penuh. 

Dominasi agraria hanya dilihat dari sudut pandang ekonomi tanpa melihat dampak sosial masyarakat. Seakan warga berjuang dan mati diatas tanahnya sendiri.

Reforma agraria menjadi tak berdaya di hadapan korporasi. Pemerintah pun cenderung membiarkan dan memberikan red carpet bagi para korporasi untuk menguasai tanah. Aroma politik neoliberal terendus tajam diantara rangkaian kebijakan yang menyudutkan rakyat. Kemana lagi harus mencari keadilan? 

Islam Tuntaskan Masalah Agraria

Berbeda dengan sistem ekonomi neoliberal yang membebaskan kepemilikan. Islam sebagai agama rahmatan lil alamin memiliki konsep kepemilikan yang datang langusng dari pencipta. 

Terdapat dua konsep penting dalam Islam untuk mengakhiri konflik lahan. Yakni mengembalikan status kepemilikan lahan sesuai yang ditetapkan Allah Swt. dan hadirnya fungsi negara secara benar sebagaimana diperintahkan Allah dan Rasul-Nya.

Dalam pandangan Islam, lahan memiliki tiga status kepemilikan, pertama adalah lahan yang boleh dimiliki individu seperti lahan pertanian, ladang, kebun dan sebagainya. Kedua, Lahan milik umum seperti  hutan, tambang dan sebagainya, Islam melarang penguasaanya pada swasta/korporasi. Karena hal demikian dapat menghalangi masyarakat untuk memanfaatkannya. Juga menjadi pemicu terjadinya konflik.

Ketiga, lahan milik negara yaitu lahan yang tidak berpemilik dan yang di atasnya terdapat harta milik negara seperti bangunan milik negara. Berdasarkan pembagian ini, maka tidak dibolehkan bagi individu untuk memiliki lahan milik umum sekalipun diberikan konsesi/ijin oleh negara.

Selain itu, kepemilikan lahan dalam Islam bersatu dengan pengelolaanya. Artinya, walaupun suatu lahan yang sah dimiliki seseorang, namun ditelantarkan hingga tiga tahun, hak kepemilikan akan hilang darinya. Begitu pun sebaliknya, ketika ditemukan suatu lahan yang tidak tampak ada kepemilikan seseorang di sana, maka boleh dimiliki siapa pun asalkan lahan tersebut dikelolanya.

Pengaturan inilah yang akan menjaga kepemilikan seseorang atas lahan. Pun terhadap tanah terlantar akan dengan mudah tergarap dan termanfaatkan.

Selain konsep kepemilikan, Islam pun akan menghadirkan penguasa bervisi melayani umat. Mereka akan hadir justru membela hak-hak umat atas hartanya termasuk lahannya. Bukan membela korporasi dan mengkriminalisasi rakyat, apalagi merampas tanah rakyat. Penguasa dalam islam akan  menjamin kepemilikan individu dan akan memastikan kepemilikan lahan sesuai dengan konsep kepemilikan dalam islam.

Semua itu, akan terealisasi dengan menolak sistem ekonomi neoliberal, lalu menggantinya dengan sistem ekonomi Islam yang akan diterapkan secara kaffah dalam sistem pemerintahan Khilafah Islamiyah.

Wallahu a'lam bishawwab

Post a Comment

Previous Post Next Post