Sistem Demokrasi, Nyawa Manusia Tak Dihargai



Oleh Nur Fitriyah Asri
Penulis Opini Bela Islam, Akademi Menulis Kreatif
 

Kasus penyerangan imam masjid atau tokoh agama kembali terjadi. Lagi dan lagi, penyerang atau pembunuhnya dengan leluasa beraksi dan dengan mudahnya melarikan diri. Miris, jika penyerangnya tertangkap dilabeli gangguan jiwa (gila). Gila, inilah yang imbasnya banyak pihak tidak percaya. Semua kalangan mengutuk, mengecam, dan meminta polisi menuntut tuntas. Muncul pertanyaan, adakah motif di balik penyerangan terhadap ulama?

Seorang ustaz bernama Armand yang akrab dipanggil Ustaz Alex ditembak orang tak dikenal (OTK) usai salat di musala dekat rumahnya. Menurut Kapolsek Pinang, Iptu Mochamad Tapril, korban ditembak di depan rumahnya di Jalan Nean Saba, RT 02/05 Kelurahan Kunciran, Kecamatan Pinang, Kota Tangerang, pada Sabtu malam, (17/9/2021).

Dua hari kemudian, Senin (20/9/2021) terjadi penyerangan Ustaz Abu Syahid Chaniago di Masjid Baitusyakur, Batuampar, Batam, ketika memberikan ceramah. Mengetahui dirinya akan diserang beliau bisa menghindar, tetapi naas masih saja pipi kirinya kena sasaran. Kemudian penyerangnya diamuk jamaah dan dipukuli ibu-ibu pengajian. Pelaku langsung diserahkan ke pihak kepolisian. Menurut Kapolsek Batuampar AKP Salahudin, pelaku dalam kondisi mabuk, saat diinterogasi masih melantur. Gila?

Keterangan 'gila' inilah yang membuat Ketua Bidang Dakwah dan Ukhuwah Majelis Ulama Indonesia (MUI), Chalil Nafis mengaku mulai was-was dengan keselamatan dirinya, para ulama, dan tokoh agama lainnya. Karena yang menjadi sasaran korban peristiwa penembakan atau penganiayaan adalah penyiar agama, apalagi pelakunya dikatakan gila. (dikutip Galamedia, 20/9/2021)

Sedangkan menurut Ahmad Khazinuddin seorang advokad, mengatakan sudah sedari awal bisa diprediksi penyerangnya akan dilabeli orang gila, sebagaimana kasus-kasus sebelumnya. Seharusnya yang punya wewenang menetapkan status gila bukan penyidik. Tetapi, ahlinya yakni pihak medis (psikiater), baru kemudian diumumkan ke publik. Itupun harus melalui proses pengadilan hukum.

Negara Abai dan Diskriminatif

Anehnya, belum ada respon dari pihak negara. Hilangnya nyawa ulama seakan dipandang sepele. Padahal jelas menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 termasuk teror. Sebab, kejadiannya di masjid atau di ranah publik, sehingga menimbulkan ketakutan di kalangan umat Islam pada umumnya dan ulama, serta tokoh agama pada khususnya.

Mestinya negara hadir mengusut secara tuntas dan tegas. Siapa pelakunya, apa motifnya, dendam atau motif ideologis. Wajar, jika dihubungkan dengan kebangkitan komunisme karena kejadiannya di bulan September.

Justru, negara bersikap diskriminatif (pilih kasih, dan tidak adil). Jika korbannya nonmuslim, maka pelaku langsung dilabeli teroris, radikal, atau ekstrimis. Dengan sigap dalam waktu singkat, pelakunya berhasil ditangkap. Seperti insiden ledakan bom di depan gereja Makasar. Contoh lainnya adalah, penembakan pendeta di Papua, Istana langsung bentuk Tim Investigasi. (CNN Indonesia, 28/9/2020). Padahal banyak pendeta yang membantu teroris. Sangat disayangkan, istilah teroris diganti dengan KKB (Kelompok Kriminal Bersenjata). Siapa pun tahu bahwa KKB adalah teroris, kelompok separatisme yang ingin memisahkan diri dari NKRI. Bukankah sudah banyak memakan korban? 

Lihatlah, kasus per kasus pembunuhan dan penganiayaan yang dialami ulama, ustaz, dan umat Islam (enam laskar FPI). Jangankan rezim mengutuk, bersuara saja enggan, pilih diam seribu basa pura-pura tidak tahu. Padahal, jumlah penduduk Indonesia mayoritas Islam tapi dianaktirikan, bahkan dikriminalisasikan. Umat Islam yang taat pada Allah dan syariatnya malah dibully, diberi label radikal, dituduh teroris. Keji dan zalim, nyawa di negeri demokrasi tidak ada nilainya, tidak berharga. 

Hukum Demokrasi-Sekuler Buatan Manusia Sumber Kerusakan

Pembunuhan sering terjadi di mana-mana. Sebab, hukum pun mandul, maklum hukum buatan manusia tidak adil dan bisa diperjualbelikan. Akibatnya, tidak memberikan efek jera, kejahatan dan pembunuhan terus terjadi berulang.

Penyebabnya tidak lain demokrasi-sekularisme yang diadopsi negeri ini. Yaitu sistem yang memisahkan agama dari kehidupan. Inilah biang kerok kerusakan. Dampaknya, umat Islam jauh dari agamanya. Bahkan, menilai semua agama sama benar (pluralisme). Padahal, di dalam (QS. Ali Imran [3]: 19) Allah Swt. berfirman, "Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah hanyalah Islam." 

Fatalnya lagi, umat Islam dihinggapi Islamofobia. Menurut Mahfud MD, kalau dari sudut pandang kaum muslimin, islamofobia artinya kaum muslimin malu dan takut mengaku Islam. Jika dari sudut politik pemerintahan, islamofobia berarti pemerintah benci dan takut kepada umat Islam. (republika.co.id, 3/1/2020)

Sudah sangat gamblang, siapa lagi yang takut dan benci pada agama kalau bukan komunis dan kapitalis.
Mereka sudah menyusup di hampir semua lini negeri.
Sejarah sudah membuktikan bahwa kekuatan itu hanya pada Islam, jika syariat Islam diterapkan secara sempurna. Sebuah keniscayaan menjadikan umat Islam kuat tidak terkalahkan. Sehingga tidak ada tempat berpijak bagi komunis, kapitalis, dan paham sesat lainnya. Oleh sebab itu, mereka berusaha untuk merusak Islam, memusuhi pengembannya, dengan cara memfitnah, mengkriminalisasikan, mengintimidasi, bahkan membunuhi para ulama, tokoh agama, dan ustaz. Masihkah demokrasi dipertahankan?

Keagungan Sistem Sanksi dalam Islam

Sanksi (uqubat) disyariatkan untuk mencegah manusia dari tindak kejahatan. Kejahatan adalah perbuatan tercela yang ditetapkan syarak sebagai dosa, dan harus dikenai sanksi.

Islam melarang umatnya membunuh seorang manusia atau seekor binatang sekalipun tanpa berdasarkan kebenaran hukumnya. Allah Swt. berfirman, "... jangan membunuh nyawa yang diharamkan Allah kecuali dengan kebenaran ...." (QS. al-An'am [6]: 151) 

Namun, Islam menghalalkan atau membolehkan dibunuh karena perintah syarak, ada tiga golongan yakni:

1. Orang-orang murtad, orang yang keluar dari Islam dan masuk ke agama lainnya. Rasulullah saw. bersabda, "Barang siapa yang menukar agamanya maka bunuhlah dia." Namun, terlebih dulu diajak kembali ke agama Islam selama batas waktu tiga hari. Tujuannya untuk melindungi akidah dan agamanya.

2. Pezina muhshan (yang sudah kawin), merupakan perbuatan keji dan dampak kejahatannya tidak menimpa pada dirinya sendiri, tapi juga pada orang lain. Bentuk eksekusinya rajam yakni ditanam tubuhnya setinggi dada, kemudian kepalanya dilempari batu hingga mati.

3. Pembunuh, baginya berlaku hukum qishash yakni diberlakukan hukuman balik. Allah Swt. berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah yang memaafkan mengikuti dengan cara yang baik dan hendaklah yang diberi maaf membayar diyat kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik pula. Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barang siapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih." (QS. al- Baqarah [2]: 178) 

Bagi pembunuh yang sudah dimaafkan oleh keluarga terbunuh sehingga bebas dari hukuman qishash wajib baginya membayar diyat kepada keluarga terbunuh sebanyak 100 ekor unta (di antaranya 40 ekor bunting). Dalam Islam, qishash diberlakukan karena di sana ada kelangsungan hidup manusia. Allah Swt. berfirman, "Dan dalam qishash itu ada jaminan kelangsungan hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa." (QS. al-Baqarah [2]: 179)

Sebab, sanksi bunuh terhadap pembunuh, akan membuat orang berpikir ribuan kali untuk melakukan pembunuhan. Inilah yang dimaksud dalam qishas ada ungkapan terdapat kehidupan. Kesimpulannya, bahwa uqubat berfungsi sebagai pencegah kejahatan (zawajir).

Sejatinya fungsi uqubat (sanksi hukum) sebagai zawajir (pencegah kejahatan), ini akan memberikan efek jera bagi orang lain supaya tidak melakukan hal serupa dan jawabir (penebus dosa). Maksudnya, jika seorang pelaku kejahatan mendapatkan sanksi di dunia, maka Allah akan menghapus dosanya dan tidak mendapat sanksi di akhirat. 

Itulah keagungan Islam yang tidak dimiliki oleh sistem manapun, selain sistem sanksi Islam. Hukum yang berasal dari Zat Yang Mahaadil, pasti adil. Alhasil, hanya Islam satu-satunya agama sekaligus ideologi yang menghargai nyawa manusia termasuk nonmuslim, di bawah naungan sistem pemerintahan Islam yakni khilafah.

"... barang siapa yang membunuh seorang manusia bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya ...." (QS al-Maidah [5]: 32)

Wallaahu a'lam bishshawaab.

Post a Comment

Previous Post Next Post