Simfoni Senja Hari


By Rumaisha


"Carilah kakakmu hingga kamu berhasil menemukannya, Sep. Katakan kepadanya bahwa Abah dan Emak telah memaafkannya dan ingin bertemu dengannya."

Itulah pesan emaknya ketika ia akan berangkat ke Jakarta untuk meneruskan pendidikannya. Universitas Indonesia, perguruan tinggi bergengsi yang menjadi impian dan tujuan semua orang dari seluruh pelosok negeri. Semua orang berdecak kagum ketika namanya itu  disebut.

Enam bulan telah lewat, tapi Asep belum juga berhasil mencari jejak Reni. Bayangannya sekalipun tidak pernah melintas. Mustahil memang menemukan seseorang yang tidak jelas alamatnya di kota besar seperti Jakarta ini.

Berbagai cara telah ditempuh Asep disela-sela perkuliahannya untuk mencari Reni. Ia memasang iklan di koran-koran, menanyakan kepada teman lama kakaknya yang ia kenal, sampai menyusuri pemukiman kumuh, tempat terakhir kakaknya tinggal. Namun, usahanya selalu gagal. Kalau saja ia tidak bertemu dengan sahabatnya Reni yang tinggal di Jakarta juga, ia tak akan lagi melakukan usaha pencarian apapun. Santi, sahabat Reni itu pernah bertemu dengan kakaknya secara tidak sengaja di jalan.

"Berdasarkan pengakuannya, Reni telah menjadi sampah masyarakat, setelah ditinggalkan suaminya. Namun sayang, ia tidak memberi tahu alamatnya, karena ia tidak mau ditemui oleh siapapun," ungkap Santi.

Pertemuan itu menggembirakan, tapi sekaligus menyakitkan. Menggembirakan karena Asep masih punya kesempatan dan harapan untuk menemukan Reni. Menyakitkan karena kakaknya itu kini telah menjadi sampah masyarakat. Wanita tuna susila. Ya Allah, berilah dia petunjuk-Mu.

Sejak kedatangannya di Jakarta, Asep senantiasa menggunakan waktu luangnya setelah perkuliahan beres untuk pergi ke tempat-tempat yang biasa dikunjungi orang banyak. Mulai dari tempat-tempat hiburan, bar-bar, dan restoran-restoran. Juga hotel-hotel. Berbekal foto yang dibawanya, tak segan Asep bertanya kepada orang-orang yang berada di sana.

"Apakah Anda kenal dengan seorang perempuan dalam foto ini, namanya Reni?" tanyanya pada orang-orang yang dia temui.

Hampir semua orang yang ditanyainya menggelengkan kepala.

"Tidak, Dek, maaf."

"Mau booking wanita yang di foto itu ya, Dek?" salah satu laki-laki yang sedang berkumpul bertanya dengan penuh selidik.

"Saya mencarinya bukan untuk urusan itu," jawab Asep dengan nada ketus.

"Oh, begitu. Lalu siapa dia, siapa namanya tadi?" 

"Reni. Dia kakak saya. Lima tahun yang lalu, ia menikah dengan seorang laki-laki katolik, tanpa restu keluarga. Kabar terakhir setelah cerai dari suaminya, ia bekerja sebagai penghibur laki-laki iseng, yang tidak punya rasa takut kepada Allah," ujar Asep.

Asep merasa menyesal, telah menceritakan yang sebenarnya kepada orang yang baru dikenalnya. Ia berharap, satpam hotel itu pernah melihatnya atau setidaknya pekerjaannya itu memungkinkan untuk bertemu banyak orang.

"Wah, tampaknya sulit mencarinya, apalagi tanpa alamat yang jelas. Di kota metropolitan ini, banyak wanita yang berprofesi seperti itu."

Asep pun berlalu dengan kecewa. Dalam hatinya merenung, ternyata bekal akidah sangat diperlukan untuk hidup di dunia ini. Apalagi kalau masyarakatnya tidak menjalankan amar ma'ruf nahi mungkar, ditambah lagi penguasa abai terhadap penjagaan akidah rakyatnya.

Sepanjang perjalanan pulang, wajah kakaknya terus menari-nari di pelupuk matanya. Betapa bahagianya ia waktu kecil. Disayang oleh kedua orang tuanya dan kakak satu-satunya. Reni lah yang selalu membantu pelajarannya di sekolah. Abah dan emaknya yang hanya buruh tani, selalu sibuk dengan pekerjaannya di sawah.

Hanya saja Asep mengakui bahwa abahnya senantiasa mendidiknya dengan bekal agama yang kuat ketimbang dari kakaknya. Karenanya ia lebih memahami dan mempraktikkan agamanya dibanding Reni. Pengaruh lingkungan dan pergaulannya yang bebas telah merubah sikapnya. Hanya karena alasan cinta, ia berani meninggalkan bangku kuliah dan menikah dengan si David, laki-laki non muslim, temannya di sebuah komunitas seni.

Abahnya waktu itu murka. Diusirnya Reni dari rumah. Sementara Reni tetap dengan pendiriannya menikah dengan laki-laki itu sekalipun tidak ada restu dari keluarganya. Walaupun abahnya orang desa, tetapi ia masih memeluk keyakinannya dengan kuat. Menurutnya, seorang wanita muslim haram hukumnya menikah dengan non muslim. 

Lamunannya terhenti ketika azan magrib berkumandang. Tak terasa, langkah kakinya sampai di sebuah masjid. Asep pun melaksanakan salat Magrib berjamaah di sana. Ia pun berdoa, agar segera dipertemukan dengan kakaknya tercinta.

Hari berikutnya. Asep kembali menyusuri tempat-tempat yang biasa dikunjungi orang-orang yang sudah hilang rasa takutnya kepada Allah. Mereka menghalalkan segala cara untuk memenuhi hawa nafsunya. Penyebabnya satu, aturan Allah Swt. tidak diterapkan secara menyeluruh oleh negara.

Ketika ia bertanya kepada seorang petugas di bar yang ia lewati, sambil memperlihatkan foto kakaknya, Asep mendapat jawaban.

"Sebentar, saya ingat-ingat ya." Petugas itu berpikir sesaat sambil memandangi foto yang ada di tangan Asep. Asep menunggu dengan harap-harap cemas.

"Ah, iya. Itu kan mirip dengan Rena, dan hampir setiap malam ia datang ke sini," kata petugas itu.

"Bolehkah menemuinya?" tukas Asep dengan cepat.

"Dia belum datang, biasanya jam 17.00 baru sampai di tempat ini."

Asep melihat arlojinya, baru pukul 16.47. Semoga saja keajaiban menghampirinya, dan orang yang dimaksud benar-benar kakaknya.

Tepat pukul 17.00 seorang perempuan turun dari taxi. Riasan wajahnya begitu mencolok, perona bibir dan wajah merah menyala bak udang rebus, sementara matanya dihiasi eyeshadow warna senada.

Asep merasakan jantungnya berdebar tak menentu. Keringat dingin membasahi kedua telapak tangannya. Asep menatap tajam ke arah wanita yang berjalan menuju tempatnya menunggu.

"Tuh, orangnya!" seru petugas itu.

Benar saja. Ia tidak mungkin lupa kepada sosok itu. Ceu Reni, biasa ia menyebutnya. Memang dia orangnya yang selama ini selalu mengganggu pikirannya. Makan tak enak, tidur pun tak nyenyak, memikirkan nasibnya. Kakak yang sangat ia sayangi.

"Ceu Reni!" teriak Asep sambil menatapnya.

Orang yang dipanggil "Euceu" itu tiba-tiba menghentikan langkahnya dan menatap tajam kepada orang memanggilnya.

"Saha Anjeun?" ia bertanya dengan bahasa sunda yang kental.

"Abdi Asep, Ceu. Abdi moal hilap ka Ceu Reni. Euceu teh putrana Abah Atmaja sareng Emak Garnasih kan?" kata Asep dengan nada suara yang ditinggikan. Ia berharap, kalau menyebutkan nama orang tua mereka, kakaknya tidak ada alasan untuk mengelak.

"Maaf, Anda salah orang," sahut wanita tadi sambil berlari. Terlihat raut wajahnya berubah sendu.

"Jangan coba mengelak dariku, Ceuceu. Lima tahun memang bukan waktu yang sebentar, tapi aku masih mengenalimu, Ceuceu," teriak Asep setelah berhasil menyusulnya.

"Abah dan Emak telah memaafkanmu, Ceu. Mereka rindu sekali untuk bertemu denganmu," kata Asep. "Ayolah, kita pulang, Ceu."

Tiba-tiba, wanita tadi berbalik ke belakang. Menatap dengan pandangan memelas. Lama ... tetesan air matanya tak bisa dibendung lagi.

"Asep adikku!" wanita itu menubruk dan memeluk Asep. "Maafkan Ceuceu."

Tamat
Catatan: Ceuceu adalah panggilan untuk kakak perempuan di Sunda.

Post a Comment

Previous Post Next Post