Mural dan Tatanan Kehidupan Baru


Oleh Hasni Surahman Rahantan
Mahasiswi Pegiat Literasi

Masyarakat meluapkan ekspresi kritik melalui medium tembok jalanan seperti mural, grafiti, hingga coretan vandal. 
Coretan dinding yang berisikan kritik maupun kegelisahan tersebut  banyak yang dihapus aparat kepolisian maupun pemerintah daerah.
(CNN Indonesia, 23/08/2021)

Apa itu Mural? Mural menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, berarti lukisan pada dinding. Mural merupakan salah satu media yang efektif dan akhir-akhir ini dijadikan media penyampai pesan secara visual. 
Mural pada dasarnya merupakan salah satu bentuk seni rupa, namun terdapat pesan-pesan yang terkandung di dalamnya, yang ditujukan kepada khalayak umum (Susanto, 2002:167).

Mural Dan Indonesia

Bukan saja dari kalangan masyarakat biasa, fenomena kritik disuarakan dari berbagai latar belakang mulai dari selebritis hingga para elit politik.
Luapan ekspresi kritik mural dapat ditemui di ruas jalan kota-kota besar di negeri ini. Mural 'Tuhan Aku Lapar' di kawasan Tigaraksa, Kabupaten Tangerang,
mural '404: Not Found' Tangerang,
mural 'Dipaksa Sehat di Negara yang Sakit' di kawasan Bangil, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur.

Sebenarnya, kritik mural di negeri ini mengonfirmasi negara kita sedang tidak baik-baik saja. Lemahnya negara yang tidak bisa mencukupi kebutuhan warga negaranya
di tengah pandemi pada saat SDA negara melimpah ruah. 

Mural "not found" sebuah istilah sistem komunikasi jaringan komputer, agar klien dapat berkomunikasi dengan peladen, tetapi peladen tidak dapat menemukan hal yang diminta klien, dipinjam untuk sebuah kritikan yang mengisyaratkan pemimpin negeri ini yang tidak mampu memenuhi hak warga negara, sesuai yang masyarakat harapkan. Misalnya, lapangan pekerjaan yang susah saat ini, di tengah berbagai kebijakan kontroversial dari pemerintah, PPKM yang diperpanjang lagi.

'Dipaksa sehat di negeri sakit' adalah kritikan dalam bentuk mural. Ini pun tidak lepas dari berbagai kejadian di negara ini. Ketika masyarakat membutuhkan uluran tangan pemerintah, dalam menyalurkan bansos (Sembako, PKH) pada masyarakat yang membutuhkan, bantuan ini malah diselewengkan (korupsi), guna memenuhi perut sendiri dan keluarganya, tanpa memikirkan jutaan rakyat yang lapar saat pandemi covid yang masih mengganas. Mengguritanya kasus korupsi di berbagai instansi, hukuman yang tidak setimpal dengan perbuatan, sedang rakyat kecil menjerit dibiarkan bak hewan ternak yang dilepaskan mencari makan sendiri.

Kebijakan-kebijakan dari pemerintahan yang melahirkan masalah baru. Gagalnya pemerintah dalam menangani pandemi, 
membuat masyarakat mendambakan perubahan dengan hadirnya tatanan kehidupan baru. Wajah baru pemerintahan yang ketika berkuasa mampu memposisikan dirinya bak pelayan yang siap melayani setiap kebutuhan tuannya (masyarakat).

Inilah momen emas, sekaligus tantangan untuk kaum muslim, memperkenalkan pada dunia, sistem pemerintahan Islam yang terlanjur diberi stigma buruk oleh kaum barat dan dunia.

Faktanya, Islam dalam perjalanan sejarahnya banyak mengukir prestasi yang gemilang. 
Pada masa kejayaannya, Islam menjadi mercusuar peradaban dunia, baik dalam aspek sosial, ekonomi, budaya, politik maupun ilmiah. Dan hebatnya, semua aspek tersebut mendunia karena berbalut syariat yang bersumber dari al-Qur’an, as-Sunnah, dan fatwa para ‘alim ulama’. 

Bahkan, banyak konsep pengelolaan negara ala kaum muslimin tersebut, yang kemudian menjadi inspirasi banyak ilmuwan dan negarawan dari generasi-generasi sesudahnya. Negeri-negeri Islam pada zaman pemerintahan Khulafa al-Rashidin, Dinasti Umayyah, Dinasti Abbasiyyah dan Dinasti Utsmani dikenal sebagai negeri yang makmur. Kesenjangan antara si kaya dan si miskin tidak terlihat mencolok, karena pemerataan ekonomi yang cukup baik. Dan salah satu pilar terpenting yang menopang pilar ekonomi tersebut, tanpa menafikan adanya kebocoran yang merupakan kesalahan manusiawi adalah sistem pengelolaan keuangannya yang dikelola berdasarkan syariat yang bermuara di lembaga baitul mal
(Asy-Syari'ah, 2/6/2015) .

Baitul Mal dalam negara mempunyai peranan yang cukup besar. Pembentukan Baitul Mal sebagai sarana tercapainya tujuan negara serta pemerataan hak dan kesejahteraan kaum muslimin. 
Al-Maududi menyebutkan dua sasaran dan tujuan negara dalam Islam, yaitu: 
1) Menegakkan keadilan dalam kehidupan 
manusia dan menghentikan kelaliman serta menghancurkan kesewenang-wenangan.
 2) Menegakkan sistem berkenaan dengan melaksanakan kewajiban muslim, seperti salat, zakat, dan sebagainya.

Islam sebagai agama yang memelihara hak-hak asasi manusia, menggariskan bahwa salah satu hak yang penting bagi setiap orang ialah bahwa orang yang tidak memiliki apa-apa harus dipenuhi keperluan hidupnya. Di antaranya fakir miskin dan orang yang 
meminta-minta. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam al-Qur’an 
surat adz-Dzariat ayat 19, yang berbunyi:

وَفِيْٓ اَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِّلسَّاۤىِٕلِ وَالْمَحْرُوْمِ
Artinya: "Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian."

Untuk dapat memberikan hak kepada fakir miskin secara teratur, diperlukan Baitul Mal yang dapat bekerja secara baik dalam 
menanggulangi ketidakmerataan kesejahteraan rakyat. Oleh sebab itu, tugas Baitul Mal adalah mengelola harta kaum muslimin. Kemudian, mendistribusikannya kepada yang berhak menerima.

Konsep yang luar biasa ini, tidak kita temui dalam sistem demokrasi. Konsep bank yang ditawarkan pemilik modal hanya akan menambah kerugian dan kebinasan negara yang mengutang.

Luapan kritik mural, yang terjadi saat ini, semata-mata lahir dari nurani masyarakat yang mendambakan perubahan itu sendiri.
Perubahan seperti apa yang didambakan masyarakat. Tentunya perubahan jangka panjang dengan sistem yang benar dan seperangkat aturan yang mampu memecahkan segala problem kehidupan. Bukan perubahan yang bersifat pragmatis.

Wallaahu a'lam bishshawaab

Post a Comment

Previous Post Next Post