Harga Cabai Ndlosor, Akibat Rajin Impor ?

Oleh: Tyas Ummu Rufaidah


Bicara tentang cabai, sudah terbayang pedasnya. Apalagi cabai rawit. Meskipun kecil, tetapi membuat bibir kita dower. Dari sekian kalinya dinamika harga, cabai di pasaran sekarang kian merosot. Tak sedikit petani menjerit dalam hati. Ada pula yang mengamuk di kebun cabainya lantaran harganya ndlosor yang mengakibatkan mereka merugi.

Dilansir dari Radartegal.com, Anggota Komisi IV DPR RI Slamet menanggapi video viral yang memperlihatkan seorang petani cabai mengamuk dan merusak kebun cabai miliknya. Kemarahan petani itu diduga akibat harga cabai di pasaran turun.

Slamet mengatakan, harga cabai yang anjlok di pasaran menandakan adanya masalah yang seharusnya menjadi perhatian serius dari pemerintah. Pemerintah harus hadir melindungi petani Indonesia. "Jangan hanya berpikir impor terus, sementara nasib petani kita semakin sengsara," ujarnya Jumat (27/8) lalu.


Sungguh tega sekali. Di tengah pandemi ini, petani harus bersedih hati lantaran jerih payahnya menanan merawat cabai, hasil panenya dibeli dengan harga receh. Di manakah hati nurani para punggawa negeri ini? Masihkah ada empati untuk rakyat kecil seperti petani?

Jika kita melihat fakta di ata,s harga cabai mengalami kemerosotan ini lantaran keranjihan impor komoditas bahan pangan serta lainya. Beras, garam, gula, dan bahan lainya impor. Lantas, bagaimana nasib petani lokal kita? Jika sedikit-sedikit import, lalu kapan giliran kita ekspor? Padahal, dulu kita pernah menjadi lumbung padi dan swasembada pangan.

Selidik punya selidik, ternyata cabai menjadi primadona dalam kondimen menu makanan, kurang pas jika tidak ada sambal pedasnya dari cabai. Cabai memiliki penggemar kuliner yang lumayan banyak, sampai-sampai memiliki tingkat level kepedasan yang berbeda-beda.

Dilansir dari Beritadaerah.co.id (27/2/2021), cabai (khususnya cabai merah) termasuk salah satu komoditas sayuran yang mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi di Indonesia. Salah satu arah kebijakan komoditas strategis dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015—2019 di bidang hortikultura adalah pengembangan komoditas cabai.

Jadi, tidak heran jika harganya menjadi permainan para mafia cabai. Jika impor bahan pangan ini terus-menerus diaminkan, maka tidak menutup kemungkinan petani lokal negeri ini akan merugi dan gulung tikar sebab dijual dengan harga rendah dan modal pun tak kembali.


Senada, dilansir dari Bisnis.com (24/8/2021), Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hortikultura Kementan Bambang Sugiharto menjelaskan, impor cabai sebesar 27.851 ton terjadi sepanjang semester I/2021. Itu dilakukan untuk memenuhi kebutuhan industri. Cabai diimpor dalam bentuk cabai kering, cabai dihancurkan atau ditumbuk; dan bukan cabai segar konsumsi.

Menurut Bambang, jika dibandingkan, volume impor tersebut hanya sekitar 1% dari total produksi nasional. Karenanya, pihaknya pun mengajak industri nasional menyerap cabai dari petani lokal.

Data impor cabai dari Kementan ini sedikit berbeda dengan data BPS. Pasalnya, berdasarkan data BPS, impor cabai sepanjang Semester I-2021 (Januari—Juni) sebanyak 27.851,98 ton dengan nilai US$59,47 juta. Angka tersebut meningkat jika dibandingkan dengan realisasi impor pada Semester I-2020 yang hanya sebanyak 18.075,16 ton dengan nilai US$34,38 juta. Cabai yang diimpor pemerintah pada umumnya adalah cabai merah, termasuk juga cabai rawit merah.




Sementara, diketahui harga jual cabai merah keriting di tingkat petani di Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), kini berkisar Rp2.500—3.000 per kg. Nominal ini jauh di bawah Break Even Point (BEP) atau titik impas biaya produksi yang idealnya di atas Rp10.000 per kg. Rendahnya harga tersebut membuat para petani di sana lebih memilih membakar atau membagikan cabai secara cuma-cuma kepada warga yang membutuhkan (detik.com).

Ternyata, penyebab anjloknya harga cabai ialah ada yang keranjihan impor. Adapun negara pengekspor cabai ke Tanah Air di antaranya India dengan volume ekspor sebanyak 24.606,32 ton dengan nilai mencapai US$52,65 juta. Nilai impor dari India jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu naik 53,14% dengan nilai mencapai US$34,38 juta.


Di balik ndlosornya harga cabai, ada banjir impor yang melanda. Negara seakan tak bisa berkutik. Ini seolah menunjukkan negara tak memiliki kedaulatan pangan bagi negerinya sendiri. Padahal, jika pemengang kebijakan ini bijak, Indonesia memiliki ketahan pangan yang kuat. Dengan berbagai fasilitas dan kecangihan teknologi, harusnya bisa dimanfaatkan semaksimal mungkin agar tercapai kesejahteraan hidup.

Beginilah nasib di negeri pemuja kapitalis. Semua menjadi ajang bisnis. Negara tak bisa berkuasa sebab intervensi para investor asing mendiktenya. Semua kebijakan sesuai pesanan para pemilik modal agar aksinya tetap berjalan untuk meraup keuntungan. Mental negara kapitalis hanya materi sebagai prioritas utama, tanpa memandang kepentingan rakyat. 

Mirisnya nasib petani, sering disakiti oleh kebijakan yang tak memihaknya. Lantas, bagaimana solusi  tata kelolah pangan dalam pandangan Islam ?

Islam memandang ketahanan sebuah negara tidak hanya diukur dari kekuatan militernya. Akan tetapi, bagaimana ketahanan pangannya juga menjadi prioritas utamnya. Sehingga, persoalan kebutuhan rakyat ini menjadi permasalahan  yang harus segera diselesaikan. Negara harus hadir dalam masalah ketersedian bahan pokok karena hanya negara yang memiliki kapasitas untuk mengaplikasikanya.

Hakikat dari politik Islam adalah ri’ayah su’un al-ummah (pengurusan urusan umat) yang didasarkan pada syariah Islam, sebagaimana ditegaskan Rasulullah saw., “Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggungjawab terhadap rakyat yang dia urus.” (HR Muslim dan Ahmad).

Beberapa kebijakan yang bisa diambil negara: Pertama, menghentikan segara kegiatan impor, sehingga negara bisa berdaulat secara mandiri untuk ketahan pangan dan terbebas dari penjajahan tanah yang kerap kali terjadi.

Para petani diberikan berbagai bantuan, seperti dukungan secara moril dan menfasilitasi mulai modal, peralatan, benih, teknologi, mengajari teknik pemasaranya.

Kedua, negara tak kan membiarkan lahan-lahan kosong itu tidak produktif. Jika lahan itu dibiarkan selama tiga tahun, maka lahan itu akan diambil alih oleh negara dan diberikan kepada mereka yang sanggup mengelolahnya. Sebagaimana Rasulullah Saw. bersabda, “Siapa yang mempunyai sebidang tanah, hendaknya dia menanaminya, atau hendaknya diberikan kepada saudaranya. Apabila dia mengabaikannya, maka hendaknya tanahnya diambil.” (HR. Bukhari).

Ketiga, kebijakan dalam siklus distribusi komiditas bahan pangan yang adil dan merata. Islam melarang penimbunan barang dan permainan harga di pasar. Dengan larangan itu, stabilitas harga pangan akan terjaga serta tidak terjadi kenaikan harga dan kelangkaan pangan.

Adapun lima prinsip  pokok tentang ketahanan pangan yang diterapkan oleh Nabi Yusuf a.s. yang pernah dijalankan di masa yang panjang dari Kekhilafahan Islam, yang tetap relevan hingga masa-masa mendatang, yaitu: optimalisasi produksi (mengoptimalkan seluruh potensi lahan untuk melakukan usaha pertanian), adaptasi gaya hidup hemat  agar masyarakat tidak mubadzir dalam konsumsi pangan, manajemen logistik, prediksi iklim, yaitu analisis kemungkinan terjadinya perubahan iklim dan cuaca ekstrim serta mitigasi bencana kerawanan pangan.

Demikianlah sistem tata kelolah pangan dalam kacamata Islam. Hanya dengan Islamlah kehidupan ini menjadi rahmatanlilalamin.

Allah Swt berfirman dalam surah Al-A’raf ayat 96,

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَٰكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

“Sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan karena perbuatannya.”



Wallahu'alam bishowab.

Post a Comment

Previous Post Next Post