Di Balik Koalisi PAN, Upaya Mitigasi Politik?


Oleh Nur Fitriyah Asri
Penulis ideologis Bela Islam Akademi Menulis Kreatif
 
Akhir-akhir ini suhu perpolitikan di Tanah Air semakin memanas. Banyaknya tuntutan menghendaki Jokowi turun sebagai Kepala Negara karena dinilai gagal dalam menakhodai negeri ini.

Pasalnya, pemerintahan saat ini memperoleh indeks demokrasi buruk. Di tengah pandemi ekonomi nyungsep, banyaknya PHK, pengangguran, dan meningkatnya angka kemiskinan. APBN defisit, utang negara menggunung. Korupsi menggurita dimana-mana. Peradilan mandul, hilangnya rasa keadilan, dan banyaknya kasus lama yang tidak tersentuh, justru kasus baru bermunculan. Gagal mengatasi pandemi Covid-19 sehingga mendapat predikat tertinggi sedunia. Semua itu berakibat menyengsarakan rakyat.

Ketidakpercayaan publik semakin meluas, membuat elektabilitas Jokowi menurun dan merasa kekuasaannya terancam. Oleh sebab itu, Jokowi ingin menambah kekuatan politik pemerintah dengan melakukan mitigasi politik. 

Mitigasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah tindakan mengurangi dampak bencana. Adapun menurut Kamus Oxford, mitigasi adalah tindakan mengurangi, keparahan, keseriusan atau penderitaan dari sesuatu.

Salah satu cara mitigasi politik pemerintahan Jokowi dengan mengajak Partai Amanat Nasional (PAN) bergabung berkoalisi. Dalam sistem demokrasi tidak ada lawan atau kawan abadi, yang ada adalah untuk kepentingan dan keuntungan bersama. Contohnya, PAN yang selama ini berada dipihak oposisi berubah haluan masuk koalisi Jokowi. Terjadilah simbiosis mutualisme, saling menguntungkan. Masuknya PAN disinyalir akan mengisi pos kementerian. Ini salah satu upaya pemerintah untuk mendongkrak elektabilitasnya dengan memperkuat dukungan. Selain itu untuk memuluskan skenario kemenangan Pilpres 2024.

Pengamat Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedilah Badrun menyayangkan Partai Amanat Nasional (PAN) masuk ke koalisi Jokowi-Ma'ruf di saat pemerintahan dalam performa terburuknya. Ini membuktikan PAN terlihat pragmatis demi mengejar dalam kekuasaan dan kepentingan lainnya. Lebih dari itu, PAN seolah melegitimasi dan membenarkan langkah buruk dan kegagalan rezim. (tribunnews.com, 27/8/2021) 

Tampak sekali jika partai politik dalam demokrasi tidak memperjuangkan aspirasi rakyat pemilihnya. Namun, lebih mengutamakan jabatan. Jadi, slogan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat, pada realitasnya hanya utopis. Partai politik tidak ubahnya sebagai tunggangan atau kendaraan untuk meraih kekuasaan dan jabatan saja. Ironisnya, semua cara dihalalkan.

Sementara, menurut Pakar Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Wasisto Raharjo Jati, berpendapat bahwa masuknya PAN ke koalisi merupakan strategi untuk menekan kelompok oposisi, agar tidak mempolitisasi kegagalan pemerintah dalam mengatasi pandemi dan kebijakan lainnya. Di samping rezim anti kritik, kekritisan partai oposisi disinyalir dapat menggoyang kekuasaannya. 

Dengan keluarnya PAN dari kubu oposisi, saat ini tinggal  PKS dan Demokrat. Otomatis mengubah peta kekuatan perpolitikan di negeri ini. Jokowi semakin kuat mendapat dukungan tujuh partai politik di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan memperoleh 471 kursi dari jumlah 575 kursi parlemen atau sekitar 82 persen suara di parlemen. Artinya, hampir semua kekuatan politik di parlemen ada di tangan Jokowi.

Dengan komposisi yang njomplang antara jumlah anggota dewan koalisi dan oposisi, membuat fungsi utama parlemen check and balance teramputasi. Sebab, anggota dewan tidak lagi leluasa mengkritisi yang sifatnya berlawanan dari pandangan pemerintah, karena telah tersandera dengan kesepakatan politik.

Komposisi yang tidak berimbang tersebut, juga akan memengaruhi proses pengambilan keputusan dalam rapat DPR. Dalam sistem demokrasi keputusan diambil dengan musyawarah untuk mencapai mufakat, berdasarkan suara terbanyak. Bukan berdasarkan haram dan halal. Apalagi anggota DPR sekitar 82 persen berada di tangan kendali kekuasaan Jokowi. Hal mudah untuk menggolkan isu perpanjangan masa jabatan tiga periode dengan mengamendemen konstitusi terlebih dulu. Perpanjangan masa jabatan presiden tentunya diiringi dengan perpanjangan masa jabatan anggota DPR.

Ironisnya, sistem demokrasi hanya melahirkan oligarki, dimana kekuasan pemerintahan dikendalikan oleh segelintir pemilik modal. Juga, melahirkan orang-orang yang tamak dan rakus akan kekuasaan, jabatan dan harta.

Mengapa rakyat masih berharap partai Islam menang dalam kompetisi? Memang, tidak bisa dimungkiri namanya berjuang, bisa menang atau kalah. Partai politik Islam oposisi ada juga yang menang. Namun, dalam perjalanannya akan terjegal seperti, Partai Islam Ennahda pemenang pemilu di Tunisia tahun 2019 yang  terus menghadapi serangan partai dan kelompok sekuler liberal. Partai FIS (Fran Islamique du Salut) pemenang pemilu di Aljazair, Ikhwanul Muslimin pemenang pemilu di Mesir, keduanya dikudeta oleh militer, dan lainnya. 

Itulah wajah buruk demokrasi warisan Barat yang cacat sejak lahir dan akan melahirkan kerusakan-kerusakan dalam tatanan kehidupan. Memperjuangkan Islam dan umat tidak akan berhasil, selama masuk di dalam sistem demokrasi kapitalis sekuler. Sebab, sistem sekuler menafikan agama dalam mengatur kehidupan. Walhasil, tuntutan publik untuk perubahan dengan ganti presiden tidak cukup, harus disertai dengan ganti sistem. Yakni sistem Islam yang diridai Allah.

Partai Politik dalam Perspektif Islam

Partai politik dalam sistem Islam (khilafah) keberadaannya wajib ada. Sebagaimana seruan Allah dalam QS. Ali Imran [3]: 104)
Artinya, "Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung."

Mengacu pada ayat di atas, Allah menyeru agar ada kelompok yang terorganisir untuk mengajak kepada kebaikan (Islam). Dalam konteks untuk menerapkan Islam secara kafah (menyeluruh), juga mengajak nonmuslim agar mau memeluk Islam dengan sukarela.

Pada hakikatnya, partai Islam itu beramar makruf nahi mungkar kepada masyarakat maupun negara. Karena itu, partai politik asasnya harus akidah Islam, sekaligus sebagai pengikat anggota partai politik. Oleh sebab itu, di dalam negara khilafah tidak ada partai politik selain yang berlandaskan akidah Islam. Seperti, partai komunis, partai liberal, partai nasionalis, dan sebagainya tidak diberikan toleransi.

Demikian pula dalam khilafah tidak ada posisi koalisi dan oposisi. Sebab, partai politik prinsipnya akan melakukan koreksi manakala ada penyimpangan. Baik yang dilakukan penguasa maupun rakyat. Sebab, visi partai politik adalah untuk melangsungkan kehidupan Islam di bawah naungan khilafah. Jika khilafah belum ada, maka misinya menegakkan khilafah. Adapun aktivitasnya, mengemban dakwah di tengah-tengah masyarakat guna memahamkan Islam yang sebenarnya, serta beramar makruf nahi mungkar.

Di ranah sistem pemerintahan, partai politik berperan muhasabah li al-hukkam yakni mengoreksi penguasa. Untuk menjaga dan mengawasi khalifah agar dalam mengemban amanah tidak keluar dari koridor syariat Islam. Sebab, khalifah adalah manusia yang tidak maksum dan bukan malaikat. Tetapi, sebagai manusia biasa yang mempunyai potensi melakukan kesalahan. Ketika keimanan yang menjadi benteng mereka melemah, maka di sinilah pentingnya kontrol dari rakyat dan partai politik untuk meluruskan kebengkokan mereka.

Itulah ciri partai politik ideologis yang memimpin umat untuk menjalankan tugasnya, mengoreksi dan memprotes kebijakan negara yang zalim, serta mengubah dengan lisan dan tindakan. Jika terjadi kekufuran yang nyata bisa mengangkat senjata.

Jauh berbeda dengan partai politik dalam sistem demokrasi-sekuler yang hanya mencari jabatan dan kekuasaan, serta mengutamakan dirinya dan kelompoknya. Sedangkan, partai politik dalam khilafah secara umum aktivitasnya adalah dakwah, amar makruf nahi mungkar baik kepada rakyat maupun pada penguasa (khalifah), untuk menjaga berlangsungnya kehidupan Islam.

Wallahu a'lam bishshawab

Post a Comment

Previous Post Next Post