Hukum Marital Rape, melindungi perempuan?

Oleh : Naziihah (Aktivis Dakwah Muslimah)

Lagi, RUU kontroversial hadir ditengah masyarakat.

Marital Rape (Perkosaan dalam Perkawinan) ditambahkan dalam rumusan Pasal 479 supaya konsisten dengan Pasal 53 UU 23/2004 tentang PKDRT yaitu tindak pidana kekerasan seksual berupa pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap istri atau suami bersifat delik aduan," kata Guru Besar hukum pidana UGM Prof Marcus Priyo Gunarto dalam Diskusi Publik RUU KUHP di Hotel JS Luwansa, Senin (14/6/2021). (detiknews)

Salah satu kasus marital rape terjadi pada 2014 silam. Seorang perempuan asal Denpasar, Bali meninggal karena mengalami patah tulang rusuk, memar di dada, dan infeksi di kemaluan setelah dipaksa berhubungan seksual oleh suaminya. Korban sempat menolak karena merasa tidak enak badan, napasnya sesak dan sakit jantungnya sedang kambuh, tapi suaminya, tak peduli.

Memahami istilah Pemerkosaan dalam Perkawinan

Menurut Muhammad Endriyo Susilo dalam Jurnal Media Hukum berjudul Islamic Perspective on Marital Rape (hal. 320), istilah pemerkosaan dalam perkawinan (marital rape) meliputi beberapa bentuk, di antaranya adalah sebagai berikut: Pertama, Battering rape: istri mengalami kekerasan fisik dan seksual sekaligus saat suami memaksa istri untuk melakukan hubungan seksual. Kedua, Force-only rape: suami menggunakan kekuatan dan kekuasaannya untuk memaksa atau mengancam istri agar mau melakukan hubungan suami istri. Hal ini dilakukan manakala istri sebelumnya menolak. Ketiga, Obsessive rape: istri atau pasangan mendapat kekerasan seksual dalam bentuk perlakuan sadis dalam melakukan hubungan seksual, seperti suami melakukan kekerasan fisik dengan memukul, menarik rambut, mencekik, atau bahkan menggunakan alat tajam yang melukai istri untuk mendapatkan kepuasan seksual.

Dari ketiga bentuk marital rape tersebut, bisa disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan istilah pemerkosaan dalam perkawinan adalah berkaitan dengan semua tindak paksaan atau kekerasan dalam hubungan suami istri. Akan tetapi, tepatkah tindak kekerasan dan paksaan suami ini dikategorikan sebagai pemerkosaan?

Dalam bahasa Arab pemerkosaan disebut al wathu bi al ikraah (hubungan seksual dengan paksaan). Ulama mengategorikan pemerkosaan sebagai tindakan zina. Pelakunya dihukum dengan had zina. Jika dibarengi dengan tindak penganiayaan, akan ada tambahan hukuman. Sedangkan korban pemerkosaan tidak dikenakan hukuman.

Apabila tindak kekerasan suami dianggap sebagai pemerkosaan, maka suami dianggap sebagai pelaku zina. Tentu ini tak sesuai dengan fakta. Suami dan istri terikat akad pernikahan, maka hubungan seksual di antara keduanya tak bisa dikategorikan sebagai perbuatan zina. Oleh karenanya, Islam tidak mengakui adanya pemerkosaan dalam perkawinan. Mengategorikan sebagai pemerkosaan adalah sebuah kerancuan istilah.

Lahir dari Sekularisme Liberalisme

Jelas, bahwa konsep marital rape adalah produk pemikiran feminisme yang lahir dari rahim sekularisme liberalisme, paham yang membuang jauh aturan agama dari kehidupan dan mengajarkan kebebasan dalam segala hal.

Ide feminisme sering  menyerang syariat Islam dengan tuduhan membelenggu kebebasan perempuan dan menciptakan berbagai macam penderitaan bagi perempuan. Syariat tentang kewajiban istri mereka serang, syariat tentang kepemimpinan suami, syariat tentang nusyuz dan masih banyak lagi syariat Islam lainnya yang juga diserang. Semua syariat dianggap sebagai biang penderitaan perempuan.

Syariat Islam, Solusi Keharmonisan keluarga

Konsep pemerkosaan dalam perkawinan (marital rape), tidak ada di dalam Islam. Dalam konsep marital rape, hubungan seksual di antara suami istri harus karena keinginan keduanya, bukan karena hal tersebut adalah kewajiban istri kepada suami. Ini artinya, jika istri sedang tak ingin melayani suami, maka ia tak wajib melayani. Jika dipaksa, maka ini adalah bentuk pemerkosaan.

Islam adalah kunci keharmonisan keluarga. Islam tak hanya membebani para istri dengan berbagai kewajiban, tapi juga memberi mereka hak hak yang wajib ditunaikan oleh para suami.

Islam telah memerintahkan para istri untuk taat kepada Allah dan menjaga diri ketika tak ada suami bersamanya, sebagaimana firman Allah Swt.:  maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). (QS AnNisa [4]: 34)

Demikianlah, Islam memberi solusi berupa seperangkat hukum yang mengatur kehidupan suami istri, yang begitu terperinci dan sempurna, baik yang menyangkut masalah pernikahan, tugas dan kewajiban suami istri, waris, nasab, perwalian, talak, rujuk, dan lain-lain. Ketika diterapkan, semua itu menjadi kunci keharmonisan keluarga. Tak ada marital rape dalam Islam, umat pun tak butuh segala bentuk undang-undang dan peraturan yang berkaitan dengannya. 
Wallaahu a'lam bishshawab. 

Post a Comment

Previous Post Next Post