Sudut Pandang Islam Terkait Upah

Oleh:  Haryani Chotijah

Aktivis Dakwah di Kota Depok

 

Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Guspardi Gaus mengaku kaget dan prihatin mendengar kabar terkait 97.000 pegawai negeri sipil (PNS) fiktif. Bagaimana dengan gaji/upah serta iuran pensiunnya? Manjemen kepegawaian negara perlu dipertanyakan terkait masalah ini. Karena ini sangat merugikan rakyat. Setiap rupiah yang mengalir ke rekening mereka adalah uang rakyat yang penggunaannya harus tepat arah dan guna untuk kesejahteraan rakyat.

Bagaimana sudut pandang Islam terkait gaji/upah? Seperti apa upah yang harus diberikan oleh para pemberi kerja dan penerima upah sesuai dengan syara’?

Ternyata, Islam mengatur tentang ketenagakerjaan, di antara dalil yang bersifat umum adalah dari firman Allah SWT dalan Qur’an Surah az-Zukhruf ayat 32 yang artinya, “Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebahagian yang lain beberapa derajat, agar sebahagian mereka dapat mempergunakan (memanfaatkan) sebahagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpullkan.”

Walaupun dalil ini masih bersifat umum, dengan diciptakannya manusia dengan berbeda derajat, dengan demikian Islam membolehkan untuk sesama manusia memanfaatkan manusia lainnya untuk menjadi pekerjanya.

Dalam istilah fiqih, ketenagakerjaan biasa disebut dengan istilah ijaratul-ajir. Dalam bahasa Indonesia, ijarah adalah sewa, sedangkan ajir adalah tenaga kerja. Sehingga jika diterjemahkan bebas menjadi sewa tenaga kerja.

Ijarah dalam sudut pandang syara’ adalah pertukaran manfaat dengan kompensasi dan upah. Kenapa Islam menetapkan upah harus didasarkan pada manfaat? Dalil yang menjadi landasannya diawali dari Firman Allah SWT dalam Q.S Ath-Thalaq ayat 6 yang artinya, “Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak) mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya.”

Kembali kepada kasus di Indonesia saat ini, hampir 100 ribu orang digaji tanpa diketahui manfaat apa yang sudah dikontribusikan tentu saja ini merupakan kesalahan yang sangat fatal. Bukan hanya merugikan rakyat di dunia, tetapi juga menanti hisab yang berat bagi yang dengan sengaja dan niat tertentu melakukannya.

Meskipun beberapa pihak mengklaim adanya kesalahan sistem dan human error lainnya, ini menjadi bukti bahwa umat saat ini tidak memperhatikan hukum syara mengenai cara mendapatkan harta-halal dan baik-buruk padahal hisab menyoal harta sangat berat.  Rasulullah SAW bersabda, “Kedua kaki seorang hamba tidaklah beranjak dari tempat hisabnya pada hari kiamat hingga ia ditanya mengenai empat hal: (1) umurnya, untuk apakah ia habiskan, (2) jasadnya, untuk apakah ia gunakan, (3) ilmunya, apakah telah ia amalkan, (4) hartanya, dari mana ia peroleh dan dalam hal apa ia belanjakan.(HR Ibnu Hibban dan at-Tirmidzi).

Membangkitkan umat dari dangkalnya pemikiran akan tujuan hidup tentu saja akan sangat sulit jika dilakukan oleh perorangan, bahkan kelompok. Akan membutuhkan waktu yang sangat lama dan tantangan yang sangat berat. Beda halnya jika pemahaman akidah yang benar-benar sesuai dengan hukum syara diterapkan oleh negara. Dan jika rusaknya moral, perilaku rakyat yang jauh dari ajaran agamanya tentu saja itu menjadi hisab untuk pemimpin negara kelak. []

Post a Comment

Previous Post Next Post