Membangun Ekonomi Negara dengan Menambah Varian Pajak?


Penulis : Ima Amalia

"Harga sawinya boleh 5000, bu?"
"Maaf, bu, belum boleh. Saya dapat laba 500 rupiah dr harga 5000 itu"

Itulah yang sering terjadi di pasar tradisional ketika terjadi transaksi. Para ibu paling getol menawar sampai akhirnya pedagang terpaksa memberitahu laba yang diperolehnya. 

Mari kita bayangkan, jika rencana pajak pangan resmi diberlakukan.

Di masa pandemi ini, mayoritas rakyat mengharap pemerintah membuat kebijakan yang pro rakyat. Tetapi yang terjadi malah pemerintah malah kreatif menciptakan varian baru pajak.

Sebagaimana kita ketahui, pemerintah  berencana memberlakukan PPN pada sembako hingga sekolah, yang tercantum dalam draft Revisi Kelima UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP). 

Selain sembako, pemerintah juga menambah objek jasa kena pajak baru yang sebelumnya dikecualikan, antara lain pada jasa pelayanan kesehatan medis, jasa pelayanan sosial, jasa pengiriman surat dengan perangko, jasa keuangan, hingga jasa asuransi (cnnindonesia.com, 12/06/2021) 

Pro kontra pun bermunculan di media. 

Penolakan keras datang dari wakil rakyat., ketua MPR RI Bambang Soesatyo. Dia menilai rencana kebijakan tersebut bertentangan dengan sila ke-5 Pancasila, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, dan menaikkan inflasi (antaranews.com, 13/06/2021).

Dalam cuitan di akun @FaktaKeuangan, Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu, Rahayu Puspasari membantah opini yang menyebutkan bahwa pajak mencekik rakyat. Rahayu menjelaskan, pajak sejatinya menciptakan keadilan dengan sistem gotong royong. Menurutnya, yang mampu membayar pajak, namun kontribusinya rendah, bisa semakin disiplin pajak untuk membantu mereka yang kurang mampu atau rakyat kecil (cnnindonesia.com, 12/06/2021).

Pendapat ini jelas bertolak belakang dengan rencana UU KUP yang dinebankan pada semua lapisan masyarakat. 

Dan yang membuat ironi, adanya kebijakan pemerintah yang membuat masyarakat mengelus dada.  Pemerintah menggulirkan kebijakan penghapusan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) untuk mobil baru sejak  Maret 2021 (kompas.com, 12/02/2021).

Dan tak kalah ironi lagi,. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sempat heran bagaimana bisa dokumen pemerintah ini mencuat ke publik. Padahal, draft tersebut belum dibahas sama sekali dengan DPR (kompas.com, 11/06/2021). 

*PAJAK DARI SUDUT PANDANG ISLAM*

Allah SWT berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang batil…” (QS An-Nisaa’: 29).

Dalam ayat ini, jelas sekali bahwa Allah SWT melarang manusia saling memakan harta sesamanya dengan jalan yang tidak dibenarkan. Termasuk pula dilarang mengambil pajak dari orang yang tidak wajib pajak, karena merupakan jalan yang batil untuk memakan harta sesamanya. 

Perlu menjadi pengingat bagi para pemimpin kaum muslimin, “Sesungguhnya para penarik/pemungut pajak (diazab) di neraka.” (HR Ahmad 4/143, Abu Dawud 2930).

Tidakkah ini menjadi gambaran pada kita bahwa Islam memberikan ancaman yang keras bagi bangsa yang mengandalkan pajak sebagai penerimaan negara?

Karena itu, pajak di dalam Islam bukan untuk menekan pertumbuhan, bukan menghalangi orang kaya, atau menambah pendapatan negara, kecuali diambil semata untuk membiayai kebutuhan yang ditetapkan oleh syara’. 
Negara bisa dibangun tanpa hutang tanpa pajak. Bahkan kesehatan & pendidikan rakyat bisa gratis bagi seluruh rakyat, baik muslim maupun non-muslim.

Rahasianya adalah pada pengelolaan kepemilikan sumber daya alam dan industri dengan syariat Islam.Sumber daya air (sungai, laut, danau), api (minyak bumi, batu bara, gas, dll) dan vegetasi (hutan, padang rumput), adalah milik rakyat. Dikelola oleh negara, kemudian hasilnya digunakan untuk memenuhi hajat hidup rakyat seperti kesehatan dan pendidikan gratis.
Sementara itu, sumber daya selain ketiganya, yaitu seperti emas, timah, nikel, dll, adalah milik negara. Hasilnya untuk membangun negara dan membiayai operasional negara.
Industri yang berkaitan dengan hajat hidup rakyat, seperti listrik, telekomunikasi, transportasi, dll, juga dikelola negara.
Sementara Rakyat secara individual boleh miliki bisnis apapun asal dihalalkan oleh syariat.

Negeri demokrasi-kapitalis tidak bisa melakukan seperti itu. Negeri kapitalis harus membangun negeri dengan pajak. Memenuhi hajat hidup rakyat dengan asuransi. Sumber daya yang mestinya digunakan untuk membiayai negara dan hajat hidup rakyat justru diserahkan pada para kapitalis.

Maka dari itu, dengan adanya rencana UU KUP, penting bagi kaum Muslimin memahami pengelolaan keuangan negara dalam Islam. Hingga sama-sama menyadari bahwa sistem demokrasi kapitalisme telah gagal mengelola keuangan negara serta gagal menyejahterakan rakyat. Tidak patut bagi kita untuk tetap mempertahankan sistem rusak buatan manusia. Beralihlah pada sistem Islam yang datangnya dari Sang Pencipta dan Pengatur, Allah SWT. Jauh dari kemudaratan dan kerusakan, selalu membawa rahmat serta kemaslahatan bagi manusia.

*

Post a Comment

Previous Post Next Post