Kebijakan Pajak yang Kurang Bijak



Oleh Hida Muliyana, SKM

Kementerian Keuangan buka suara perihal polemik wacana mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap sejumlah kebutuhan masyarakat, termasuk di antaranya sembako dan sekolah. Rencana kebijakan ini bakal tertuang dalam perluasan objek PPN yang diatur dalam revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Dalam draf revisi UU Nomor 6 yang didapat, pengenaan pajak itu diatur dalam Pasal 4A. (CNN.Indonesia, 12/06/2021)

Rencana pengenaan  PPN untuk bahan pangan, kesehatan hingga pendidikan ini sungguh akan menambah beban rakyat. Di masa pandemi saat ini banyak sekali rakyat yang kehilangan pekerjaan, pengangguran hingga kemiskinan yang meningkat. Lantas bagaimana rakyat bisa membayar PPN tersebut sementara untuk mendapatkan bahan pangan saja sangat sulit. Banyaknya penunggakan premi BPJS ditambah lagi dengan biaya sekolah. Padahal sebelumnya rakyat berharap agar hadirnya BPJS dan gratisnya sekolah pemerintah dapat sedikit meringankan beban mereka.

 Lebih parahnya lagi ternyata pengenaan PPN ini tidak merata dikenakan pada semua kalangan masyarakat. Banyak insentif pajak untuk kalangan pebisnis dan investor. 
Dalam UU Cipta Kerja klaster “Pajak”, ada banyak bonus pajak bagi pengusaha untuk bisa meningkatkan investasi.

Ini jelas menunjukkan pajak hanya akan dibebankan pada masyarakat ekonomi bawah. Hal ini diperkuat laporan Badan amal Oxfam International tahun 2019 yang menunjukkan sistem pajak membebani masyarakat miskin guna memenuhi dana pelayanan publik. Badan amal yang bermarkas di Nairobi itu melaporkan, miliarder baru diciptakan setiap dua hari sepanjang 2018. Sama halnya dengan separuh penduduk termiskin di dunia menyaksikan penurunan kekayaan mereka sebesar 11%. Badan amal itu mengatakan tarif pajak untuk orang kaya dan perusahaan telah dipotong dalam beberapa dekade terakhir. Saat pemerintah gagal memajaki orang kaya, pemerintah justru membebankan pajak kepada orang miskin melalui pungutan konsumen seperti PPN.

Mengapa semua dikenai pajak? karena pemerintah menjadikan pajak sebagai sumber pendapatan negara yang mendominasi. Sehingga sangat wajar jika pengenakan pajak itu sering terjadi. Meski Indonesia memiliki Sumber Daya Alam (SDA) yang luas  dan berpotensi menambah pendapatan negara, namun pada pada faktanya semua SDA yang dimiliki itu telah di privatisasi dan dikuasai oleh individu atau swasta asing. 

Ini menunjukkan bahwa Indonesia telah tergadai dan dikusasi oleh asing. Sebagai contoh tambang batu bara di Kalimantan Selatan pada tahun 2019 lalu, Adaro Indonesia mampu memproduksi 51,6 juta ton batu bara, atau naik 7 persen dari produksi 2018 yang mencapai 48,3 juta ton. (Kompas.com, 20/01/2021)
Sementara angka kemiskinan di Kalimantan Selatan pada September 2020, tercatat sebesar 4,83 persen. (Banjarmasin.co.id, 16/02/2021) Naik dari Maret 2020 yang hanya sebesar 4,38 persen.

Besarnya pendapatan dari tambang ternyata tidak berdampak pada kesejahteraan bagi warga Kalsel. Hal ini wajar, karena tambang tersebut dikuasai oleh perusahaan swasta sehingga hasilnya tidak dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat. 
Bayangkan jika hasil tambang tersebut dikelola oleh negara dan hasilnya didistribusikan ke seluruh masyarakat, maka tentu pendapatan  negara akan sangat besar. Rakyat pun bisa menikmati hasil tambangnya.  Dan yang pasti, tidak perlu mengambil pajak kepada rakyat. 

Ini baru dilihat dari hasil tambang batubara saja. Bagaimana jika kita hitung SDA lain yang dihasilkan oleh negeri ini? Tentu hasilnya akan jauh lebih banyak dan sangat mencukupi untuk kebutuhan rakyat. 
Jadi, telah nampak sekali bahwa pemerintah sudah kehilangan cara untuk menambah pendapatan negara. Selalu mengandalkan pajak dalam semua sektor. Sementara rakyat yang harus menanggung beban pajak tersebut.

Sangat jelas kezaliman yang dilakukan pemerintah terhadap rakyatnya. Semua berpangkal pada  sistem kapitalisme yang dipakai dalam mengelola negara. Kebijakan pajak yang tidak bijak ini telah membuktikan bahwa sistem kapitalisme hanya akan membawa kesengsaraan dan kezaliman. 

Untuk mewujudkan negara yang mandiri secara ekonomi, maka sejatinya ekonomi Islam lah yang paling layak. Sebagaimana yang pernah diterapkan oleh daulah khilafah. Jika sistem ekonomi Islam dijalankan, hal paling mendasar yang harus diperbaiki adalah penataan terhadap kepemilikan.

Dalam Islam, kepemilikan sangat tegas dibedakan, antara kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Untuk kepemilikan umum, Rasulullah saw. menyatakan bahwa kaum muslimin atau rakyat berserikat dalam tiga hal, yaitu sumber daya air, padang penggembalaan (hutan), dan api (energi). (HR Abu Daud dan Ahmad)

Artinya, ketiga hal itu harus menjadi milik bersama/umum. Tugas negara hanya mengelola untuk kemudian didistribusikan kepada rakyat dengan harga terjangkau, atau bahkan secara gratis. 
Sedangkan kepemilikan negara adalah harta yang merupakan hak seluruh kaum muslim yang pengelolaannya menjadi wewenang negara. Asy-Syari’(Allah) telah menentukan jenis harta milik negara yang akan dikelola sesuai dengan ijtihad Khalifah, yaitu fai, kharaj, dan jizyah.

Kepemilikan umum dan negara ini menjadi salah satu sumber penerimaan APBN negara khilafah yang akan dikelola untuk kesejahteraan rakyat. Dengan demikian, khilafah bisa mendapatkan pendapatan yang besar dan beragam tanpa harus membebani rakyat dengan pajak, dan tanpa utang luar negeri.

Sementara itu, swasta hanya bisa mengelola harta selain di atas yang termasuk kepemilikan individu. Inilah kunci keadilan ekonomi dalam sistem Islam. Semua orang mendapatkan periayahan dari harta yang dikelola negara, dan setiap orang bebas bersaing dalam bisnis pada tataran kepemilikan harta individu. 
Inilah sistem ekonomi yang manusiawi dan menyejahterakan, karena bersumber dari Allah Swt. Sang Pencipta manusia dan alam semesta.
 Wallahu a'lam bishawwab.

Post a Comment

Previous Post Next Post