Inkonsistensi Kebijakan Larangan Mudik; Menambah Penderitaan Rakyat


Oleh Novita Darmawan Dewi*


Wakil Bupati Bandung Sahrul Gunawan mengimbau agar masyarakatnya tidak melakukan mudik. Sebagai contoh, dirinya pun tidak mudik Lebaran 2021 ini.

Pemerintah telah memutuskan larangan mudik Lebaran tahun 2021. Sejumlah kebijakan diputuskan termasuk adanya penyekatan pra mudik, mudik, dan pasca mudik.

Sahrul mengatakan pemerintah Kabupaten Bandung meminta agar warga tidak mudik. Pasalnya, banyak warga Kabupaten Bandung yang bekerja dan memiliki kerabat di luar daerah.

Selain itu, ia mengatakan agar mewaspadai terjadinya lonjakan kasus positif COVID-19 pasca Idul Fitri. Pasalnya, kata Sahrul, minat warga untuk mudik masih dinilai tinggi.


*Kebijakan Inkonsisten*
Sebenarnya tak ada yang salah dengan kebijakan larangan mudik demi menekan laju penyebaran Covid-19. Apalagi telah diketahui bersama bahwa fasilitas kesehatan dan tenaga medis di perkampungan tak sebanyak dan secanggih di perkotaan.

Namun, kebijakan ini akhirnya menjadi persoalan lantaran ada sejumlah kebijakan lain yang dinilai inkonsisten dengan kebijakan larangan mudik. Misalnya, di tengah larangan mudik, pemerintah malah mengizinkan pekerja Cina dari Wuhan masuk ke Indonesia. Dilansir dari finance.detik.com (8/5/2021), sebanyak 85 warga negara Cina masuk ke Indonesia.

Bukankah kebijakan diperbolehkannya berwisata dan berbelanja sama-sama kontraproduktif terhadap penyebaran virus? Lihatlah kerumunan yang terjadi di pasar Tanah abang dan sejumlah tempat pariwisata, sungguh memprihatinkan.

Belum lagi Pilkada, tetap terselenggara saat wabah masih meradang. Padahal, pakar dan umat telah berteriak untuk menunda Pilkada demi kemaslahatan bersama. Wajar jika umat tidak benar-benar melihat adanya upaya sungguh-sungguh untuk menyelesaikan persoalan pandemi.

Sehingga, menurut Fadil Zon, ngototnya rakyat untuk mudik dan tidak dihiraukannya kebijakan larangan mudik, diakibatkan sejumlah kebijakan penguasa yang inkonsisten.


*Negara Abai*
Inkonsistensi kebijakan penanganan wabah adalah konsekuensi diterapkannya sistem kapitalisme sekuler yang memosisikan nyawa tak lebih berharga dari materi. Kebijakannya berputar pada perbaikan ekonomi, bukan kemaslahatan rakyat. Demi langgengnya korporasi multinasional, nyawa rakyat rela dipertaruhkan.

Penanganan yang buruk pun tak bisa lepas dari landasan tata kelola sebuah negara. Negara kapitalisme sekuler memosisikan peran negara hanya sebagai regulator, lalu menyerahkan seluruh urusan publik pada swasta. Walhasil, menjadikan pengurusan negara terhadap pengendalian wabah terkesan setengah hati.

Diperkeruh dengan watak pejabat dalam sistem kapitalisme sekuler yang memang dari awal niatnya menjadi pejabat adalah bermotif materi. Semua itu menjadikan kinerjanya fokus pada perolehan materi, bukan mengurusi rakyat. Wajar saja korupsi menjadi “baju” yang melekat pada setiap kebijakan yang mereka buat.

Sungguh, kebijakan yang inkonsisten, penanganan wabah yang buruk, juga semua implementasi yang tak lepas dari korupsi adalah buah diterapkannya sistem kapitalisme sekuler. Sistem inilah yang menjauhkan agama dari tata kelola negara. Sistem ini pula yang memosisikan para pejabat hanya seperti tikus yang siap mengerat demi mengejar keuntungan partai dan perutnya sendiri.

Tidak akan lahir pejabat yang amanah dalam sistem ini. Tidak akan lahir pula kebijakan yang konsisten menyelesaikan umat dan memuliakannya dengan menciptakan keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat.

Sungguh, kebijakan yang pro rakyat serta penguasa yang benar-benar mencintai rakyatnya, hanya akan lahir dalam naungan sistem Khilafah Islamiah. “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR Bukhari). _Wallahu'alam_


*_Penulis, Pegiat Komunitas Ibu Ideologis ('Tas Bude')_

Post a Comment

Previous Post Next Post