Waspadai, Aroma Kapitalisme di Balik Food Estate


Oleh Neneng Sriwidianti
Pengasuh Majelis Taklim dan Member AMK

Akhir-akhir ini nama singkong menjadi naik daun dan perbincangan hangat. Karena bahan makanan ini akan dijadikan food estate yang akan mendukung program cadangan pangan strategis. Program ini menjalankan amanat Presiden Joko Widodo dalam pengembangan  lumbung  pangan nasional.

Dilansir oleh Republik.co.id, (14/3/2021). Menhan Prabowo Subianto, meninjau perkembangan pembangunan kawasan perkebunan singkong yang terletak di Desa Tewaibaru, Kecamatan Sepang, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah (Kalteng). Tahun 2021, luas area lahan singkong ini ditargetkan dapat mencapai 30 ribu hektare. Program ini untuk mengatasi semua kemungkinan yang akan dihadapi bangsa Indonesia terkait krisis pangan dunia sebagai akibat dari pandemi yang terjadi saat ini.

Hasil survei terakhir tahun 2019 oleh BPS dan Badan Pertanahan Nasional (BPN), menyebutkan luas lahan sawah tersisa sekitar 7,46 juta hektare. Jumlahnya terus menyusut karena beralih fungsi, baik untuk pemukiman atau industri, termasuk proyek-proyek nasional seperti jalan tol, bandara, bendungan, dan lain sebagainya. Pengalihfungsian lahan terjadi karena dijual petani dengan alasan ekonomi dan kekurangan modal, serta karena digusur untuk berbagai proyek nasional.

Di saat yang bersamaan, di tengah wabah pandemi yang masih terus berlangsung, ancaman krisis pangan menghantui dunia. Indonesia salah satunya, karena negara ini sangat tergantung kepada impor, menjadi salah satu negara yang dikhawatirkan menghadapi krisis pangan yang parah. 

Untuk menghadapi tantangan tersebut, juga karena tanah pertanian terus berkurang, pemerintah menerapkan strategi ekstensifikasi pertanian di luar Pulau Jawa melalui pengembangan food estate tanaman singkong, yang direncanakan menjadi lumbung pangan nasional dengan penerapan pertanian modern berbasis mekanisasi dan tehnologi baru. Pertanyaannya, siapakah yang diuntungkan dari proyek besar ini?

Dilansir oleh www. Indonesia.go.id. Kawasan food estate yang ditargetkan ini, merupakan sisa lahan program sejuta hektare yang dirintis Presiden Soeharto 30 tahun silam yang akhirnya mangkrak. Seperti diketahui pada masa orde baru, ada proyek lahan gambut untuk dijadikan sawah. 400. 000 ha dijadikan perkebunan sawit dengan hak konsesi kepada korporasi. Sementara sisanya terbengkalai tidak terkelola. Padahal proyek ini menelan anggaran yang tidak sedikit, juga mengakibatkan deforestasi dan rusaknya kawasan gambut.

Semestinya pemerintah mendengarkan pendapat para ahli terkait tentang pemanfaatan lahan gambut, tanah bekas gambut sebenarnya tidak layak dikembangkan untuk kawasan pertanian intensif. Kalau pun bisa, diperlukan biaya yang mahal.

Di samping mengabaikan kajian ilmiah dan lingkungan, proyek food estate ini pada dasarnya hanya memfasilitasi kapitalisasi pertanian. Hal ini tampak jelas pada konsep pengelolaan yang direncanakan melalui investasi ataupun pola kemitraan.

Keduanya memiliki aroma kapitalisme neoliberal. Pemerintah berperan sebagai regulator dan fasilitator, sementara pengelolaan diserahkan korporasi, baik swasta maupun BUMN. Saatnya, umat waspada. Dalam kasus ini, jelas siapa yang diuntungkan dalam proyek ini. 

Sistem pemerintahan Islam yaitu khilafah, hadir untuk menjalankan syariat Islam secara kafah, sekaligus mengurusi seluruh urusan umat termasuk pangan.

Ketahanan pangan menjadi salah satu pilar ketahanan negara, dalam kondisi damai maupun perang. Karena itu, ketahanan dan kemandirian pangan menjadi hal yang mutlak diwujudkan khilafah.

"Imam (khalifah) adalah raa'in (pengurus rakyat) dan dia bertanggung jawab terhadap rakyatnya." (HR. Ahmad, Bukhari)

Oleh karena itu, khalifah tidak boleh mengalihkan peran ini kepada pihak lain apalagi korporasi. Untuk mewujudkannya akan mengacu pada syariat Islam yang berlandaskan Al-Quran dan Sunah Rasulullah saw.

Khilafah juga akan meningkatkan produksi pangan dengan melakukan kebijakan ekstensifikasi lahan yang akan memperhatikan konsep pengaturan lahan atas masukan para ahli. Selain itu, kebijakan diambil semata untuk kemaslahatan rakyat, bukan untuk kepentingan segelintir pihak oligarki maupun kepentingan penguasa, serta tanpa menimbulkan kemudaratan yang lain.

Sebuah kebutuhan mutlak, tegaknya khilafah saat ini. Sebab, hanya institusi inilah yang akan melaksanakan syariat Islam secara menyeluruh dan sungguh-sungguh untuk mengurusi urusan umat.

Wallahu a'lam bishshawab

Post a Comment

Previous Post Next Post