Peradilan dalam Sistem Demokrasi Diskriminatif


Oleh Nur Fitriyah Asri
Aktivis Dakwah, Pegiat literasi Opini

Kunjungan Presiden Jokowi ke Maumere NTT pada tanggal 23 Februari 2021, dinilai melanggar protokol kesehatan karena mengundang kerumunan. Seperti halnya pelanggaran yang telah dilakukan oleh Habib Rizieq Shihab (HRS), yang membuatnya dijebloskan polisi ke dalam penjara. Wajar jika menjadi perbincangan publik.

Ramainya tagar di Facebook dan Twitter "#BebaskanIBHRS" bergema. Netizen menuntut, kita cuma minta keadilan. Hukum Jokowi atau bebaskan HRS. By Repelita online, (25-02-2021)

Pakar Hukum Tata Negara Refli Harun, dalam instagramnya/@reflyharun “Karena sudah terjadi pada Habib Rizieq, maka setiap saat, orang, sarjana hukum, ahli hukum, dan lain sebagainya, akan menagih bahwa hal yang sama juga harus berlaku pada presiden dalam prinsip equality before the law," ujar Refli.

Prinsip equality before the law adalah prinsip persamaan di hadapan hukum. Inilah, yang menjadikan alasan Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun angkat bicara, mendesak agar Presiden Jokowi ditahan karena melanggar protokol kesehatan saat melakukan kunjungan kerja di Maumere, Nusa Tenggara Timur (NTT). "Pasalnya, Pak Jokowi, telah melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan oleh Habib Rizieq Shihab, yang kini sudah ditahan oleh polisi dengan delik hukum menimbulkan kerumunan massa," kata Wakil Ketum MUI Anwar Abbas kepada wartawan law-justice.co (25-2-2021).

Sementara Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Islam (PP GPI) juga akan melaporkan Presiden Jokowi ke polisi terkait pelanggaran protokol kesehatan Covid-19, waktu di Maumere NTT.

Dalam hal ini, ahli hukum tata negara, Rafli Harun, menyoroti bahwa langkah yang diambil oleh PP GPI tidak mudah untuk memproses seorang kepala negara. Sebab, perkara hukum yang dilakukan oleh seorang presiden bukan berada di tingkat polisi, akan tetapi di DPR RI. Refly Harun meragukan jika DPR RI akan memprosesnya, karena menurutnya DPR saat ini dikuasai oleh mayoritas partai pemerintah. Dikutip pikiran rakyat-depok.com (25 Februari 2021).

Memang faktanya, DPR tidak lagi mewakili rakyat, tetapi mewakili konglomerat. Coba lihat, semua undang-undang yang dihasilkan oleh DPR bukan memihak rakyat. Fungsi DPR yang seharusnya mengawasi eksekutif (penguasa) malah bermain mata melakukan perselingkuhan. Hal itu mudah untuk dilakukan. Sebab, suara terbanyak yang menentukan. Bukankah wakil rakyat yang duduk di DPR mayoritas orang-orang partai pendukung penguasa. Contohnya, yang nyata-nyata mau mengganti Dasar Negara Pancasila menjadi Trisila, Ekasila, sampai sekarang juga tidak ada proses tindakan hukum.

Sebaliknya, bagi kelompok yang berseberangan hanya karena mengritik kebijakan rezim, langsung main tangkap dan dipenjarakan. Jadi, jangan berharap menurunkan presiden selama sistemnya demokrasi. Keadilan di negeri demokrasi hanya ilusi.

Meskipun Kapolda Metro Jaya Irjen Fadil Imran, telah berjanji pada (20-11-2020), bahwa selesai dilantik langsung menegaskan dirinya siap menindak siapa saja yang melanggar protokol kesehatan selama pandemi covid-19.  Nyatanya terbukti, dengan banyaknya desakan agar polisi menangkap artis Raffi dan Ahok juga tidak ditindak tegas, bahkan kasusnya dihentikan. Apalagi menindak presiden, beranikah? Paling dijawab, bukan ranah polisi.

Sudah bukan menjadi rahasia lagi bahwa, hukum tidak ditegakkan sebagaimana mestinya negara hukum. Seharusnya persamaan di hadapan hukum adalah asas di mana setiap orang tunduk pada hukum peradilan yang sama. Justru sebaliknya, hukum ditegakkan pada siapa yang kuat, dia yang menang. 

Alhasil, Presiden Jokowi yang melanggar protokol kesehatan karena mengundang kerumunan seperti yang menimpa Habib Rizieq Shihab tentunya bisa diprediksi bakalan lolos dari jeratan hukum. Skandal ketidakadilan di negara ini telah dipertontonkan begitu vulgar oleh rezim. Rakyat hanya sebagai penonton dan korban kezaliman yang dilakukan oleh penguasa. Masihkah percaya pada demokrasi?

Itulah fakta hukum di Indonesia, tajam ke bawah tumpul  ke atas. Semua itu menunjukkan betapa bobroknya sistem demokrasi yang berasaskan sekularisme yang diadopsi negara ini. Sistem yang memisahkan agama dari kehidupan. Agama dilarang mengatur kehidupan publik, baik kehidupan bermasyarakat maupun bernegara. Sistem demokrasi menolak aturan dari Allah Swt. Karena kedaulatan berada di tangan rakyat, artinya yang berhak membuat hukum adalah rakyat yang diwakili oleh para dewan legislatif (DPR). Ini bertentangan dengan firman Allah dalam QS. Yusuf ayat 40,

Allah Swt. berfirman:

Ø¥ِÙ†ِ الْØ­ُÙƒْÙ…ُ Ø¥ِÙ„َّا Ù„ِÙ„َّÙ‡ِ ۚ Ø£َÙ…َرَ Ø£َÙ„َّا تَعْبُدُوا Ø¥ِÙ„َّا Ø¥ِÙŠَّاهُ ۚ Ø°َٰÙ„ِÙƒَ الدِّينُ الْÙ‚َÙŠِّÙ…ُ

"Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus." (QS. Yusuf [12]: 40)

Wajar, jika aturan yang dihasilkan tidak adil, karena dibuat oleh manusia yang akalnya terbatas dan berdasarkan kepentingan atau asas manfaat. Seharusnya, hukum bersumber dari Sang Pencipta Allah Swt. Yang Maha Adil dan Maha Tahu akan kemaslahatan bagi makhluknya dan yang paling mengetahui hakikat baik dan buruk.

Inilah yang menjadi dasar sistem peradilan dalam Islam, semuanya bersumber pada Al-Qur'an, sunah, Ijmak sahabat, dan qiyas.
Dalam sistem peradilan Islam tidak mengenal peradilan agama, peradilan perdata, peradilan militer, peradilan sipil, dan lainnya. Karena, kedudukan semua warga negara tidak terkecuali khalifah, dalam sistem pemerintahan Islam (khilafah) mempunyai kedudukan yang sama di mata hukum. Sebab, yang diterapkan hanya hukum Islam, bukan  hukum yang lain.

Seorang Qadhi (hakim) adalah seorang laki-laki muslim, baligh, merdeka, berakal, adil, dan ahli fikih. Jadi, untuk memutuskan perkara hanya dengan hukum Allah, pasti dijamin adil.

Sementara, keputusan pengadilan di dalam Islam bersifat mengikat. Artinya tidak bisa dibatalkan oleh siapa pun. Oleh sebab itu, dalam Islam tidak mengenal peradilan banding, Peninjauan Kembali (PK), dan lainnya.

Sejarah telah mencatat dengan tinta emas, betapa adilnya peradilan dalam Islam. Tidak melihat status seseorang, meskipun seorang khalifah (pemimpin). Ketika sayyidina Ali menjadi khalifah, melaporkan seorang Yahudi yang memiliki baju besi miliknya. Atas keyakinannya itulah, kemudian mengajukan kasus tersebut ke pengadilan. Dalam persidangan, khalifah Ali dikalahkan oleh Yahudi pemilik baju besi sang khalifah. Karena, khalifah Ali tidak bisa menghadirkan bukti dalam persidangan tersebut. Qadhi Suraikh yang ketika itu bertugas memutuskan kasus, tidak berpihak kepada khalifah, meski melibatkan orang kuat. Itulah bukti bahwa sistem peradilan Islam begitu adil dalam memutuskan sengketa, walau melibatkan orang nomor satu.

Jauh berbeda dengan peradilan sistem demokrasi. Katanya negara hukum, tapi faktanya tumpul, mandul dan tebang pilih. Hukum hanya berlaku untuk kelompok yang lemah. Saatnya kita ganti sistem demokrasi dengan sistem khilafah yang memberikan keadilan bagi semua warga negara tanpa diskriminatif.

Wallahu a'lam bishshawaab.

Post a Comment

Previous Post Next Post