Kisruh Parpol dalam Politik Demokrasi




Oleh Nur Fitriyah Asri
Penulis Opini Akademi Menulis Kreatif

Kisruh di tubuh Partai Demokrat (PD) berujung terbelahnya partai, setelah beberapa kader senior mengadakan Kongres Luar Biasa (KLB) di Deli Serdang Sumatera Utara, Jumat, 5 Maret 2021. KLB menetapkan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menjadi Ketua Umum Partai Demokrat. KLB juga menyatakan bahwa Ketua Umum Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono telah demisioner.

Menanggapi KLB Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menyebut: "KLB ini jelas tidak sah, ada yang mengatakan bodong, atau abal-abal. Karena terminologinya ilegal dan inkonstitusional. Sebab, KLB tersebut tidak memiliki dasar hukum partai yang sah." (Tempo.com, 5/3/2021)

Senada dengan pernyataan Ketua Bappilu PD, Andi Arief menegaskan bahwa KLB PD di Sumut kemarin telah melanggar AD/ART yang sudah diresmikan oleh negara, karena sudah didaftarkan ke Kemenkumham. Adapun Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Feri Amsari, menilai Kongres Luar Biasa (KLB) di Sumut melanggar UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik. (Detik.com,6/3/2021)

Bagaimana sikap pemerintah? Dalam hal ini diwakili oleh Menko Polhukam Mahfud MD ketika menjadi nara sumber di acara "Mata Najwa" bertajuk 'Ribut Berebut Demokrat' pada Rabu malam, 10 Maret 2021. Menegaskan bahwa Presiden Jokowi sama sekali tidak mengetahui tindakan KSP Moeldoko yang terlibat KLB. Saya melihat kesan presiden itu happy-happy saja. Kaget ketika tahu, tetapi beliau tidak merasa bahwa ini wah merusak, ini ...," kata Mahfud MD.  (Portal Islam.Id,10/3/2021)

Pernyataan Mahfud MD, adalah alasan yang tidak masuk akal. Publik termasuk orang awam pun tidak percaya jika presiden tidak mengetahui ulah Moeldoko. Justru sebaliknya, publik menduga sangat mungkin direstui presiden. Lebih parahnya lagi, publik membenarkan dugaan Rocky Gerung dalam video berjudul, "Ada Komplotan Istana di Balik Aksi Moeldoko," yang disiarkan lewat saluran YouTube miliknya (8/3/2021).

Dugaan tersebut semakin menguat ketika mengetahui respon presiden yang adem ayem, tidak segera mengambil sikap tegas untuk menghentikan kisruh atau konflik yang mempengaruhi suhu politik semakin panas.

Mestinya Presiden Jokowi harus bersikap tegas memberikan pilihan atau ultimatum. Sebab, Moeldoko memegang posisi strategis sebagai pejabat publik dan sebagai representasi istana yang tidak bisa dipisahkan dengan status pribadinya. Sebab, Moeldoko di kalangan pengamat politik dan hukum
dianggap "abuse of power," yakni penyalahgunaan kekuasaan dalam bentuk penyimpangan dalam jabatan atau pelanggaran resmi, merupakan tindakan melanggar hukum yang dilakukan dalam kapasitas resmi. (Wikipedia) 

Sikap diamnya pemerintah diduga justru menjadi pihak yang berkepentingan mengambil untung dari kisruh tersebut. Paling tidak pemerintah diuntungkan, karena suara partai oposisi hilang satu. Bahkan, berpindah haluan mendukung pemerintah. Jika benar ada persekongkolan, bisa jadi sabotase  atau ada kudeta yang bertujuan PD dijadikan sebagai kendaraan politik Moeldoko untuk maju ke Pilpres Tahun 2024. 

Sedangkan Pakar Hukum Tata Negara Reply Harun menilai, "Demokrat bisa menjadi rumah baru bagi Presiden Jokowi untuk memperkuat dinasti politiknya setelah tidak menjabat," dengan catatan penguasaan PD oleh Moeldoko berjalan mulus. (Merdeka.com,11/3/2021)

Konflik Partai Demokrat menambah daftar panjang kisruh Parpol dalam politik demokrasi berujung KLB. Dualisme kepemimpinan partai bukan sekali ini terjadi. Sebelumnya ada lima partai mengalami konflik internal yang berujung perpecahan partai hingga ke persidangan. Partai tersebut adalah Golkar, PPP, PKB, Hanura, dan Partai Berkarya.

Feri Amsari, pakar hukum tata negara Universitas Andalas, merasa aneh, jika ada pihak-pihak yang ingin menciptakan dualisme di internal partai politik di Indonesia, karena sudah diatur oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011, tentang Partai Politik." (Tempo.com, 7/3/2021)

Bukan aneh, tapi di dalam sistem demokrasi dianggap hal biasa. Karena demokrasi lahir dari rahim sekularisme,  yakni memisahkan agama dari kehidupan. Tolok ukur perbuatan bukan haram dan halal, tetapi asas manfaat. Artinya, semua cara dihalalkan. Jadi tidak heran, untuk meraih kekuasaan semua cara dilakukan yang penting tujuan tercapai, contohnya menjegal lawan politiknya, mengudeta, suap, melanggar aturan, dan lainnya. 

Dalam sistem demokrasi partai politik hanya sebagai tunggangan untuk mencapai kekuasaan, wajar pula jika terjadi kisruh atau konflik karena selalu terjadi perebutan kekuasaan atau jabatan. Seharusnya partai politik fokus melakukan fungsi nasihat dan kritik pada penguasa.

Begitu halnya dengan penguasa, alih-alih menyelesaikan konflik. Justru, menjadi pihak yang berkepentingan mengambil untung dari kisruh tersebut. Masalah hukum bisa diatur, siapa yang kuat dia yang menang. Itulah fakta bahwa sistem yang rusak menghasilkan kerusakan. Berbeda dengan sistem Islam yang bersumber dari Allah Swt.

Seperti Apa Partai Politik dalam Perspektif Islam?

Partai Islam adalah partai yang berdiri di atas dasar akidah Islam, yang mengadopsi ide, hukum, dan solusi yang Islami,  metode perjuangannya mengikuti metode  Rasulullah saw. (Abdul Qadim Zalum).

Sementara menurut Ziyat Ghazzal, partai Islam adalah sebuah organisasi permanen yang beranggotakan orang-orang Islam yang bertujuan untuk melakukan aktivitas politik sesuai dengan ketentuan syariat Islam.

Dari dua definisi di atas, partai Islam mempunyai identitas sebagai berikut:

1. Partai Islam wajib berasaskan akidah Islam, artinya berideologi Islam.
Bukan partai Islam jika asasnya sekularisme, kapitalisme, sosialisme, komunisme, dan lainnya.

2. Partai Islam wajib  mengadopsi fikrah atau ide yang meliputi (akidah dan syariat) dan thariqah atau metode perjuangan yang meliputi (bagaimana cara menerapkan Islam, cara mempertahankan Islam, dan cara menyebarkan Islam), semuanya harus berasal dari Islam.
Jadi, bukan partai Islam jika melayani kepentingan ideologi Barat, perjuangannya mengadopsi ide Barat, seperti demokrasi, nasionalisme, dan pragmatis, serta tidak memakai kaidah halal dan haram.

3. Partai Islam wajib beranggotakan muslim saja,  akidahnya harus sama karena sebagai pengikat.
Jadi, ikatannya adalah ukhuwah islamiyah.

Adapun kewajiban mendirikan partai Islam adalah fardhu kifayah. Artinya jika di tengah umat Islam sudah ada satu partai Islam yang mampu menjalankan tugasnya berarti gugurlah kewajiban seluruh umat Islam. Jika di tengah umat tidak ada satu pun partai Islam, maka berdosalah seluruh umat Islam. (Taqiyuddin an-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustur, 2019, hal.104).
Dalilnya:

وَلْتَكُنْ مِّنْكُمْ اُمَّةٌ يَّدْعُوْنَ اِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۗ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ

"Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung." (QS. Ali Imran [3]: 104)

Menurut Imam Taqiyuddin an-Nabhani, pendapat yang paling kuat (rajih) adalah boleh hukumnya ada lebih dari satu partai Islam. Selama partai yang ada adalah partai Islam bukan yang lain.

Keanggotaan Partai Islam

Mengacu pada QS. Ali Imran ayat 104, bahwa tidak boleh menerima keanggotaan nonmuslim, karena masalah keanggotaan merupakan satu identitas pokok partai politik Islam. Di samping itu, amar makruf nahi munkar adalah ciri khas umat Islam. Sedangkan nonmuslim tidak mungkin bisa. (QS. Ali Imran [3]:110 dan QS. at-Taubah [9]: 71)

Namun perlu diketahui, meski partai Islam hanya menerima anggota yang beragama Islam saja, bukan berarti mengharamkan partisipasi politik dari nonmuslim yang menjadi warga negara khilafah (ahludz dzimmah). Partisipasi politik mereka dapat disalurkan melalui saluran-saluran yang dibenarkan syariat, yakni
Majelis Umat, Mahkamah Mazhalim, dan Media massa.

Misi Partai Islam

Misi partai Islam adalah melakukan aktivitas politik Islam. Melakukan koreksi atau pengawasan kepada penguasa (muhasabah al-hukkam), atau memperoleh kekuasaan melalui jalan umat. Menurut Imam Taqiyuddin an-Nabhani mengoreksi penguasa adalah aktivitas politik yang paling penting. (QS. Ali Imran [3]: 104)
Adapun tata cara mengoreksi penguasa tidak boleh menggunakan kekerasan, tetapi dengan cara damai. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.:

"Barang siapa mengangkat pedang kepada kami, maka dia bukan golongan kami." (HR. Bukhari dan Muslim)

Langkah-langkah Partai Islam

Semua aktivitasnya baik berupa program, agenda, rencana strategisnya, dan lainnya wajib menggunakan cara-cara Islam. Tidak dibenarkan menghalalkan segala macam cara. Kaidah fikihnya menyebutkan:  "Tujuan tidak membolehkan segala macam cara." (Ahmad al-Mahmud Ad-Dakwah ila al-Islam, hal.288)

Jadi, untuk mencapai tujuannya partai Islam tidak boleh menggunakan cara-cara kotor, melanggar hukum syarak, seperti suap-menyuap, kampanye dengan konser dangdut sehingga terjadi ikhtilat (campur baur pria-wanita), berkoalisi dengan partai yang tidak berideologi Islam hanya demi kursi kekuasaan.

Jadi, berdasarkan kriteria di atas, partai politik Islam tidak ada dalam sistem demokrasi, meskipun bernama dan berlabel Islam. 

Partai politik Islam hanya ada dalam sistem khilafah, yang berfungsi sebagai amar makruf nahi munkar, mengoreksi   penguasa, mendidik dan menghalangi umat dari kemerosotan. Semua itu tidak lain bertujuan untuk menjaga agar sistem kehidupan Islam dalam koridor syariat Islam, dan untuk merealisir misi Islam rahmatan lil alamin.

Wallahu a'lam bishshawab

Post a Comment

Previous Post Next Post