Posisi Dinar dan Dirham dalam Demokrasi-Kapitalis


Oleh Nur Fitriyah Asri
Pengurus BKMT Kabupaten Jember, Penulis Opini AMK

Umat Islam kembali dikejutkan dengan adanya penangkapan Zaim Saidi, pendiri dan pemilik pasar syariah, di Jalan Tanah Baru, Depok, Jawa Barat. Dalam transaksinya menggunakan dinar dan dirham sebagai alat tukar jual beli. Beliau diduga melanggar aturan perundangan soal penggunaan uang sebagai alat tukar selain rupiah di wilayah Indonesia.

Menurut Kabag Perum Divisi Humas Polri Kombes Ahmad Ramadhan kepada wartawan  di Mabes Polri, tanggal 3/2/2021 menjelaskan bahwa, tersangka Zaim Saidi diduga melanggar Pasal 9 UU 1/1946 tentang Hukum Pidana dan Pasal 33 UU 7/2011 tentang mata uang dengan ancaman 15 tahun penjara dan denda Rp200 juta. 

Lebih lanjut, dinar dan dirham yang digunakan sebagai alat pembayaran di pasar muamalah adalah koin emas sebesar 4,25 gram dengan kadar 22 karat. Sedangkan dirham menggunakan koin perak seberat 2,975 gram dengan kadar murni. Dirilis dari eramuslim.com (3/2/2021)

Indonesia yang merupakan negara demokrasi-kapitalis sudah menetapkan fiat money (uang kertas) sebagai alat tukar yang sah dilindungi undang-undang.
Oleh sebab itu, bertransaksi dengan dinar dan dirham menurut negara sekuler-kapitalis dianggap menyalahi  undang-undang.
Anehnya keberadaan pasar syariah itu sudah ada sejak lama dan tidak pernah ada masalah. Namun, sekarang dipermasalahkan. Ada apa?

Sejatinya orang-orang kapitalis beserta antek-anteknya  kebakaran jenggot. Mereka meyakini khilafah akan tegak kembali. Oleh sebab itu, mereka pun sangat ketakutan begitu mendengar gaung khilafah membahana di seluruh dunia. Itulah sebabnya, mereka dengan sekuat tenaga dan bersungguh-sungguh berusaha mematikan benih-benih kebangkitan umat Islam. Mereka antipati terhadap apapun yang beraroma syariat dan khilafah. Tentu saja akan dilarang, dan ujung-ujungnya dikriminalisasikan, bahkan dibubarkan.

Ironisnya, negeri ini bertekad membentuk Masyarakat Ekonomi Syariah (MES), 
tetapi membubarkan pasar muamalah bahkan menangkap pendirinya. Sungguh sangat kontradiktif. Apakah label syariah hanya untuk mengalihkan isu atas kegagalan rezim dan untuk meredam kemarahan umat Islam yang selama ini dizalimi?

Jika negara benar-benar serius membentuk Masyarakat Ekonomi Syariah,  konsekuensinya harus merujuk pada syariat. Bukan asal berlabel syariah, tapi sepak terjangnya memusuhi syariat.  Sejatinya dinar dan dirham merupakan mata uang atau alat tukar perdagangan dalam sistem ekonomi syariah.
Sedangkan sistem ekonomi syariah adalah sistem ekonomi dalam negara khilafah. 
Karena alergi dengan khilafah, apapun yang berbau khilafah pasti dilarang.

Itulah bukti bahwa negara demokrasi-kapitalis berasaskan sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan. Agama tidak boleh mengatur kehidupan di ranah publik. Dalam sistem demokrasi kedaulatan berada di tangan rakyat. 
Artinya, yang membuat hukum atau undang-undang adalah manusia, yang berasaskan manfaat dan tolok ukurnya bukan haram dan halal.
Wajar, jika undang-undang yang dihasilkan  kontradiktif dengan syariat Islam.  Mereka tidak peduli, meskipun harus menabrak syariat Islam. Tidak lain bertujuan untuk mempertahankan hegemoninya. Jadi, intinya sampai kapan pun mereka tidak akan rida jika syariat dan khilafah mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Oleh sebab itu, mereka tidak akan tinggal diam, bahkan semakin gencar melakukan penghadangan dan berusaha menjauhkan umat dari syariat-Nya. Umat Islam dibodohkan secara struktur dan masif melalui undang-undang yang dibuatnya. Alhasil, menjadikan hukum Allah di bawah konstitusi. Dampaknya, umat akan terjangkiti islamofobia yakni takut pada agamanya. Takut untuk memperjuangkan khilafah dan ajaran Islam.

Dinar dan Dirham dalam Pandangan Islam

Berdasarkan fikih Islam bahwa dinar (emas) dan dirham (perak) merupakan satuan uang, dan dari jenisnya telah ditetapkan berdasarkan hukum  syariat. Adapun uang dalam Islam berhubungan dan terikat dengan hukum-hukum syariat, antara lain:

1. Islam melarang praktik penimbunan harta. 
Harta yang dimaksud adalah larangan menimbun emas dan perak. Sebab, berdampak memperlambat perputaran uang sehingga perekonomian menjadi lesu. Sebagaimana  firman Allah dalam Al-Qur'an surat at-Taubah [9] ayat 34:

"Orang-orang yang menimbun emas dan perak serta tidak menafkahkannya di jalan Allah (untuk jihad), beritahulah bahwa mereka akan mendapatkan azab yang pedih." 
Jadi, larangan di sini ditujukan pada alat tukar (medium of exchange) berupa uang. Artinya menimbun emas dan perak sebagai barang, hukumnya haram baik yang sudah dicetak maupun belum.

2. Hukum atau sanksi dalam Islam bersifat baku. Oleh karena itu Islam mewajibkan diyat (denda/tebusan) dengan ukuran dan bentuk emas. Misalnya hukuman untuk qishas, "Di dalam (pembunuhan) jiwa itu terdapat diyat berupa 100 ekor unta ... dan atas pemilik emas, (ada kewajiban) sebanyak 1000 dinar. (HR. an-Nasa'i)
Begitu juga untuk pencuri:

"Tangan itu wajib dipotong (apabila mencuri) 1/4 dinar atau lebih." (HR. Bukhari)
Ukuran 1 dinar = 4,25 gr emas.

3. Rasulullah saw. telah menetapkan emas dan perak sebagai uang. 
Beliau telah membuat standar uang dalam bentuk uqyah, dirham, daniq, qirath, mitsqal, dan dinar. Semua ini sudah dikenal dan sangat masyhur pada masa Nabi saw. dan masyarakat telah menggunakannya dalam melakukan transaksi.

4. Ketika Allah Swt. mewajibkan zakat uang artinya Allah mewajibkan zakat untuk emas dan perak, juga menentukan nishabnya. Seorang muslim yang memiliki emas, uang, dan harta benda lainnya yang telah mencapai nishab (ukuran berat) emas senilai 20 dinar wajib membayar zakat. Hal itu, menunjukkan bahwa uang tersebut berupa emas dan perak.

5. Hukum-hukum tentang pertukaran mata uang (money changer) yang terjadi dalam transaksi uang hanya dilakukan dengan emas dan perak. Adapun pertukaran mata uang adalah menjual mata uang dengan mata uang lain bisa berupa, menjual mata uang dengan mata uang sejenis atau dengan mata uang asing. Artinya, pertukaran mata uang adalah pertukaran uang yang satu dengan uang yang lain. 

Sementara, pertukaran mata uang merupakan transaksi dalam bentuk uang saja dan tidak ada hubungannya dengan selain uang. Ini menjadi bukti yang tegas bahwa uang harus berupa emas dan perak, bukan yang lain. Sebagaimana sabda Rasulullah saw., 

"Juallah oleh kalian emas dengan perak sesuai dengan yang kalian kehendaki, asal secara tunai." (HR. Bukhari)

Jadi, uang dalam Islam berhubungan dan terikat dengan hukum-hukum syariat.
(Dikutip dari Kitab Sistem Ekonomi Islam, Syekh Taqiyuddin An-Nabhani) 

Sejatinya uang emas lebih unggul dibandingkan uang kertas yang tidak mempunyai nilai intrinsik (nilai yang mekekat pada fisik). Uang emas sulit untuk dipalsukan karena bahannya tidak bisa dibuat dari logam, kecuali dari emas. Karena mempunyai nilai intrinsik maka relatif stabil dan tidak mengalami fluktuasi yang tajam.

Namun, sayangnya negara demokrasi-kapitalis sudah dibutakan dan lebih percaya pada sistem buatan manusia. Sehingga, tidak bisa menilai kebenaran hakiki yang berasal dari wahyu Illahi.
Bahkan, mereka tidak henti-hentinya akan membenci dan memusuhi Islam. Meskipun mereka bersekutu ingin memberangus syariat dan menghadang tegaknya khilafah di muka bumi ini, mereka tidak akan  berhasil. 
Sebab, Allah telah berjanji bahwa khilafah akan tegak kembali. Sebagaimana firmannya dalam Al-Qur'an surat an-Nur [24] ayat 55:

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَىٰ لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا ۚ يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا ۚ وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

"Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barang siapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik." (QS an-Nur [24]: 55)

Wallahu a'lam bishshawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post