Pemberdayaan Perempuan, 2X Women's Initiative dan Islam



Oleh: Seni Fitriyani, SS.

Sistem kapitalisme semakin menggeser peran perempuan. Peran  sebagai ibu dan pengurus rumah tangga, yang dulunya dipandang mulia, hari ini dianggap kurang bergengsi. Hal ini tentu tak lepas dari kampanye para feminis. Mereka yang getol mempropagandakan bahwa perempuan harus mandiri, harus setara dan harus berdaya. Untuk itu maka perempuan harus bekerja. Mengaitkan perempuan dan ekonomi tampaknya menjadi isu hangat akhir-akhir ini.

Tidak heran, acapkali ada program-program terkait pemberdayaan ekonomi perempuan, maka akan disambut hangat dan positif. Salah satunya adalah apa yang dilakukan oleh Internasional Development Finance Corporation (DFC) yang membentuk 2X Woman's Initiative, yakni komunitas yang bergerak untuk memberi modal pada para perempuan agar mereka mampu meningkatkan perekonomian global.

Salah satu realisasinya adalah DFC  menggelontorkan jaminan kredit sebesar US$ 35 Juta untuk mengurangi sampah plastik di Asia Tenggara. Di Indonesia sendiri, perusahaan yang mendapat jaminan kredit tersebut adalah Tridi Oasis. Sebuah perusahaan yang diinisiasi dan dikelola oleh dua orang perempuan yang bergerak di bidang proses daur ulang sampah.

Lagi-lagi alasannya adalah ekonomi. Hasil penelitian menunjukkan, kemajuan kesetaraan perempuan di Asia Pasifik dapat menambah US$ 4,5 triliun ke Pendapatan Domestik Bruto (PDB) kawasan tersebut pada 2025. Sekitar 12 % dari pertumbuhan rata-rata. (cnnindonesia, 14/1/21)

Tentu tidak salah perempuan bekerja. Akan tetapi yang harus menjadi perhatian adalah, pertama dorongan untuk bekerja adalah sukarela, bukan karena faktor kesulitan ekonomi. Karena kewajiban utama perempuan bukanlah sebagai pencari nafkah, akan tetapi sebagai ibu dan pengurus rumah tangga. 

Kedua, apakah pekerja perempuan sudah diberikan hak-haknya? Yakni dengan memperhatikan peran utamanya sebagai ibu dan pengurus rumah tangga. Misalkan mengenai lama jam kerja, jangan sampai diporsir sampai mereka tak punya waktu untuk keluarganya. 

Jangan sampai hanya mempertimbangkan asas manfaat saja, misal karena SDM perempuan yang banyak, bisa diupah semaunya, tidak banyak menuntut, lebih ulet dan sebagainya.

Tapi fakta di lapangan menunjukkan faktor pendorong perempuan bekerja adalah karena kurangnya kesejahteraan. Maka untuk menambah penghasilan suami, para perempuan bekerja. Padahal seharusnya perempuan dijamin kesejahteraannya, bukan terbebani oleh masalah ekonomi yang bukan kewajibannya.

Sayangnya, kebijakan yang ada belum dapat mewujudkan kesejahteraan bagi perempuan. Ketika para kepala keluarga, sulit mencari pekerjaan yang bagus, upah yang minim tentu akan berdampak pada kesejahteraan perempuan. Ditambah harga-harga yang terus menerus mengalami kenaikan, membuat situasi ekonomi semakin sulit. 

Maka tidak heran perempuan hari ini dituntut untuk menjadi wonder women, mandiri dan bekerja serta melakukan tugas utamanya mengurus keluarga dan rumah tangganya. Mirisnya jika ada kemelut di keluarga karena masalah ekonomi atau ada perempuan yang tidak mampu bekerja dan mandiri, maka perempuan juga yang disalahkan. "Hari gini masih minta uang sama suami, makanya kerja..."

Mereka lupa bahwa perempuan berhak dijamin kesejahteraannya, tapi itu tak berlaku di sistem kapitalis ini. Mereka lupa bahwa yang paling salah adalah pemerintah yang telah menciptakan kemiskinan terstruktur di negeri ini, tapi mereka tidak menuntut itu pada pemerintah. Hal itu tidak lepas dari citra perempuan modern yang di propagandakan oleh para feminist, yakni mandiri, setara dan berdaya, wonder women.

Lebih miris lagi sering kali perempuan tidlak punya pilihan selain mengambil pekerjaan dengan upah yang rendah, jam kerja yang diporsir, serta hak-hak lain yang terabaikan. Maka ketika ibu pulang ke rumah, dia kelelahan dan tetap harus mengatur keuangannya dengan teliti, tak ada waktu untuk anak-anak. Maka perlu juga diperhatikan, apakah ada korelasi antara ibu yang terpaksa harus bekerja dengan KDRT, tingkat perceraian yang tinggi, kasus kekerasan terhadap anak, dan lainnya.

Mengambil utang luar negeri bukanlah solusi supaya perempuan bisa keluar dari kesulitan ekonomi dan dapat berdaya secara ekonomi. Mengadakan pelatihan dan kursus-kursus keterampilan itu bagus, tapi jangan berhutang ke luar negeri. Tak ada makan siang gratis, hutang luar negeri itu akan terus mengambil kedaulatan bangsa ini, hingga bangsa ini kehilangan kedaulatannya. Telah kita lihat negeri-negeri yang terjerat hutang luar negeri, aset-aset negara mereka tergadaikan.

Perlu diingat bahwa negara pemberi utang itu adalah negara  industri yang senantiasa membutuhkan SDA yang banyak. Mereka mendapatkannya dari negeri-negeri yang diberi utang. Untuk membayar hutang berbunga tinggi itu negara negara yang diberi utang menggadaikan kekayaan alamnya dengan dalih investasi. Bukankah sudah kita rasakan hari ini betapa eksplotasi besar-besaran terhadap SDA Indonesia telah berakibat pada kerusakan ekologi yang parah. Yang pada akhirnya rakyat jualah yang menjadi korban. Kesulitan ekonomi semakin bertambah parah. Ujung-ujungnya ini menambah derita kaum perempuan juga.

Lingkaran setan ini harus segera diputus. Solusinya tentu bukan dengan menambah utang luar negeri atau menyuruh perempuan bekerja. Sebenarnya negara kita memiliki kekayaan alam yang sangat berlimpah. Ditunjang dengan SDM yang banyak, tentu itu adalah potensi yang sangat bagus untuk kesejahteraan rakyat, tentu jika dikelola dengan benar. 

Dalam Islam kepemilikan dibagi menjadi tiga; yakni kepemilikan individu, kepemilikan umum dan kepemilikan negara. Hutan dan tambang misalnya adalah milik rakyat, sehingga negara tidak boleh menjualnya kepada swasta, terlebih kepada Asing. 

Negara wajib mengelolanya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Jika pengelolaannya seperti ini, maka taraf perekonomian pun tentu akan semakin baik. Sehingga pemerintah tidak perlu berhutang ke luar negeri. Negeri ini akan berdaulat dan mandiri. Rakyat pun sejahtera, termasuk para perempuannya.

Islam tak melarang para perempuan bekerja. Selama mereka menunaikan kewajiban utamanya, yakni sebagai ibu dan pengurus rumah tangganya. Mereka boleh berkiprah di luar kewajibannya yang utama. Tentu dorongannya bukan karena kesulitan ekonomi, karena kesejahteraan perempuan sudah harus terjamin. Dan juga pastinya dengan diberikan hak-haknya sebagai pekerja perempuan. 

Maka sekalipun perempuan bekerja akan tetap mampu menjalankan tugas- tugas utamanya dengan penuh ketenangan. Mereka tetap  menjalankan peran untuk menyiapkan generasi cemerlang yang kelak akan berkontribusi pada peradaban.
Wallahu a'lam

Post a Comment

Previous Post Next Post