Oleh: Nur Arofah
Penggiat Literasi
Kontroversi
kembali lagi mencuat terkait ajaran Islam. Beberapa hari lalu ada unggahan
video penolakan peraturan memakai seragam jilbab atau kerudung di SMKN 2 Padang
terhadap siswi non-Muslim menjadi viral. Penolakan tersebut dilakukan oleh ibu
dari Jeni Cahyani Hia karena anaknya non Muslim. Bermula dipanggilnya orang tua
Jeni yang duduk di kelas IX pada Kamis (21/1) oleh pihak sekolah karena tidak
mengenakan jilbab.
Sejak 15 tahun
lalu aturan menutup aurat bagi siswi di SMKN 2 Padang, baik Muslim ataupun
non-Muslim berlaku. Aturan tersebut tidak bersifat paksaan, siswi non-Muslim pun
mengenakannya dengan sukarela ketika diklarifikasi oleh kepala sekolah Bapak
Rusmadi.
"Tidak ada
memaksa anak-anak (di luar aturan sekolah), memakai pakaian seperti itu adalah
juga keinginan anak-anak sendiri. Kami pernah menanyakan nyaman enggak
memakainya. Anak anak menjawab nyaman. Dalam kegiatan keagamaan Islam pun,
siswi non-Muslim ada dispensasi untuk tidak datang, namun mereka datang juga.
Tidak ada perbedaan dan tidak ada gejolak selama ini,” ungkap Rusmadi yang
diberitakan di Tribunnews.com (24/1/2021).
Kritik dan upaya pencabutan aturan yang telah lama berlaku pun mulai diwacanakan, karena dianggap intoleran dan melanggar HAM. Seperti yang dikatakan oleh politikus komisi X DPR fraksi PDIP, Andreas Hugo Pereira, sebagaimana yang dilansir dari Detiknews (23/1/2021), ia mengatakan, “Tidak diperbolehkan adanya pemaksaan oleh sekolah maupun birokrasi pendidikan baik pusat maupun daerah terhadap peserta didik, baik dalam hal keyakinan maupun simbol-simbol keyakinan agama tertentu. Terhadap peserta didik, lembaga pendidikan harus memberikan ruang toleransi antar peserta didik.”
Menurut mantan
Walikota Padang, Fauzi Bahar periode (2004-2014) aturan pakaian Muslimah
berkerudung di Kota Padang tidak perlu dicabut, aturan tersebut bagus dengan
tujuan melindungi generasi muda Sumatera Barat.
Berbanding
terbalik dengan siswi Muslimah yang dilarang berjilbab di daerah lain yakni
Bali dan Manokwari pada 2014. Di mana suara penggiat HAM? Di mana toleransinya,
ketika siswi Muslimah kesulitan serta dilarang memakai pakaian Muslimah yang
merupakan bagian dari ibadah? Seragam jilbab di sekolah intoleransi, benarkah?
Hebohnya
penolakan aturan berjilbab siswi non-Muslim di Padang dengan alasan HAM, menurut
pengamat politik dari Indonesia Justice
Monitor Luthfi Afandi, menegaskan semua itu sangat kental dengan nuansa Islamophobia, bukan alasan HAM semata, karena
kehebohan tersebut tidak sama dengan nasib siswi Muslimah yang dilarang berkerudung
di Bali dan Manokwari. Sebagaimana yang diberitakan dari Tintasiyasi.com (26/1/2021).
Peristiwa ini
menjadi momen tepat bagi para pembela HAM, yang lantang meneriakkan kebebasan,
namun bentuknya adalah kebebasan dari aturan syariat Islam.
Arus liberalisme
sangat kencang baik dalam berpakaian maupun cara hidup, sehingga gerakan
menyelamatkan generasi membutuhkan
suasana kondusif agar terhindar dari kerusakan moral dan kehancuran generasi
diantaranya aturan berpakaian dalam kehidupan umum.
Penyelamatan
generasi ini terbentur dengan cara pandang liberal, atas nama toleransi dan
HAM. Hidup yang tidak bersandar pada ideologi Islam semakin terasa berat bahkan
menjadi beban individu ketika ingin menjalankan ajaran Islam. Sehingga, pakaian
Muslimah dalam sistem kapitalisme menjadi sebuah pilihan (bebas atau mubah), karena
sejatinya paham liberal disebarkan untuk menentang ajaran Islam dengan prinsip kebebasan,
individualisme dan rasionalisme.
Pemikiran
liberal yang menyebar di tengah umat, ini akibat negara tidak menjamin akidah
kaum Muslimin dan kemurnian berpikir. Dengan paham liberal mereka berupaya
menyesatkan umat dari jalan kebenaran (Islam).
Namun, orang beriman
pasti tidak akan berpikiran liberal, sebab konsekuensi dari keimanan tidak akan
berani menyalahi syariat Allah SWT, tunduk hanya kepada Allah dan Rasul-Nya
bukan pada akal yang terbatas.
Orang beriman
harus yakin akan satu hal yakni Islam adalah agama yang sempurna dan paripurna
yang diturunkan Allah SWT melalui Rasul-Nya untuk mengatur hubungan manusia
dengan Allah, hubungan manusia dengan sesama manusia dan hubungan manusia
dengan dirinya sendiri. Islam bukan sekadar agama tetapi juga sebagai sebuah
ideologi, tak ada yang luput dari aturan Islam setiap aspek kehidupan.
Islam pun sangat
menjaga bagaimana pergaulan antara sesama Muslim juga dengan non-Muslim. Dalam
Islam (Khilafah Islam) hak-hak setiap warga negara tidak dibedakan. Dalam hukum
peradilan maupun jaminan kebutuhan untuk kesejahteraan rakyat diperlakukan sama
tanpa memandang ras, suku dan agama.
Begitu juga tidak
ada paksaan bagi non-Muslim untuk memeluk Islam, sebagaimana firman Allah SWT,
“Tidak ada paksaan untuk memeluk Islam. Sesungguhnya telah jelas jalan yang
benar dari jalan yang sesat.”(TQS al-Baqarah: 256).
Dalam khilafah
Islam, non-Muslim dibiarkan memeluk akidah dan menjalankan ibadahnya, di bawah
perlindungan peraturan umum. Begitu juga terkait makanan dan pakaian diberikan kebebasan
sesuai ajaran agama mereka, sebatas apa yang dibolehkan syariat Islam. Tak
ketinggalan dalam pernikahan bagi non-Muslim diselesaikan sesuai agamanya. Yang
Muslim dengan syar'iat Islam. Inilah toleransi sesungguhnya.
Islam melarang
berbuat zalim kepada orang-orang kafir tanpa hak. Islam rahmatan lil a'lamiin, menjaga jiwa harta dan akidah setiap
warga negara. Hanya dengan khilafah Islamlah semua itu akan terlaksana. Sistem
terbaik datang hanya dari Islam bukan yang lain.[]
Post a Comment