Meningkatnya Kasus Perceraian Di Tengah Pandemik


Oleh: Hamsina Halisi Alfatih

Mengukir mahligai rumah tangga yang harmonis, nyaman dan tentram tentu merupakan dambaan bagi setiap pasangan suami istri. Namun mendambakan kehidupan yang selaras seperti itu tentu tidak akan dirasakan selamanya ketika badai cobaan datang menerpa. Berbagai ujian kehidupan rumah tangga akan ada saja diantaranya pertengkaran, KDRT hingga masalah ekonomi. 

Seperti yang dilansir melalui laman Telisik.id, tanggal 25 Desember 2021, Pengadilan Agama Kendari pada hari tersebut kembali menggelar sidang perceraian sebanyak 29 perkara dari total 34 perkara. Sidang perkara dengan kasus perceraian memang masih menjadi kasus yang rutin ditangani oleh Pengadilan Agama.
Selama Januari 2021, sudah sebanyak 135 perkara gugat cerai yang masuk dalam jadwal sidang Pengadilan Agama Kendari.

Menyikapi fenomena tingginya angka perceraian ditengah pandemik memang tak terlepas dari permasalahan ekonomi. Ditengah ketimpangan perekonomian bangsa yang tak berasas pada ekonomi Islam, menjadikan sistem pengelolaan diberbagai sektor perekonomian banyak dialihkan fungsikan ke pihak pemodal atau kapitalis. Ditambah, sulitnya lapangan pekerjaan bagi masyarakat lokal terutama bagi para laki-laki yang berperan sebagai kepala rumah tangga. Walhasil, istri pun turut berperan sebagai tulang punggung keluarga yang memaksa mereka harus mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang semakin kompleks.

Konsultan Keluarga sekaligus Pemerhati Sosial, M Agus Syafii mengatakan "Masalah perekonomian menjadi gangguan serius dalam kehidupan rumah tangga. Tanggung jawab istri bertambah besar untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang melebihi batas kesanggupan seorang istri. Terjadinya konflik rumah tangga yang tak terselesaikan yang berlarut-larut, merupakan anggapan bahwa perceraian adalah sebuah solusi." (Suara.com,31/8/2020).

Dalam sistem sekulerisme, pernikahan dianggap seolah bukan sebuah ikatan yang sakral apalagi ikatan tersebut tidak dilandaskan pada akidah Islam sebagai fondasinya. Pernikahan hanya sebagai icon rumah tangga yang tujuannya hanya menghasilkan keturunan dan pemenuhan materi. Didalamnya tidak ada pembelajaran bagaimana seharusnya kedudukan suami dan istri yang sebenarnya. Walhasil, ketika diterpa ujian rumah tangga seperti persoalan ekonomi maka perceraian selalu menjadi solusi utama untuk mengakhiri sebuah pernikahan.

Data Mahkamah Agung menunjukkan lonjakan angka perceraian selama masa pandemi lebih banyak disebabkan oleh pergeseran waktu mengajukan permohonan cerai, daripada disebabkan oleh faktor-faktor lain, seperti ekonomi yang memburuk. Menurut data MA, angka perceraian anjlok menjadi 16.410 pada April dan 11.848 pada Mei, dari 33.999 kasus pada Maret sebelum penerapan PSBB di banyak daerah. Ketika PSBB dicabut pada Juni, angka perceraian melonjak menjadi 57.750 kasus, 51.133 pada Juli, dan 36.525 pada Agustus. Seperempat perceraian ini dilatarbelakangi masalah ekonomi. (Voaindonesia.com,10/09/20)

Dan rata-rata penggugat selalu datang dari pihak istri yang seolah tidak mampu menanggung beban hidup dikala sebuah persoalan selalu di titik beratkan pada satu pihak yaitu suami. Padahal, pernikahan yang sesungguhnya adalah ketika kedua pasangan suami dan istri memiliki visi dan misi yang sama meskipun memiliki isi kepala yang berbeda. Ketika pernikahan dilandaskan atas keimanan dan keridhaan kepada Allah SWT, maka serumit apapun persolan hidup yang datang menghampiri kehidupan rumah tangga semua akan diselesaikan tentu dengan jalur yang telah Islam berikan. 

Islam memandang pernikahan adalah sebuah ikatan yang suci. Meskipun Allah membolehkan perceraian namun disisi lain Allah sangat membencinya. Dari Umar, ia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda: "Sesuatu yang halal tapi dibenci Allah adalah perceraian" [H.R. Abu Daud dan Hakim]

Lonjakan angka perceraian yang semakin meningkat tentu menjadi momok yang buruk. Mengapa demikian? Sebab tingginya angka perceraian sangat mempengaruhi ketahanan keluarga. Seperti keluarga kehilangan harmonisasi, ketentraman dan memicu pertengkaran dan KDRT dan semua tak terlepas dari permasalahan utama yaitu ketimpangan ekonomi.

Hadirnya Islam sebagai sebuah ideologi dengan seperangkat aturannya mampu menyelesaikan berbagai persoalan termaksud perceraian. Meskipun Islam membolehkan adanya perceraian tetapi jika perkara tersebut terus terjadi dan berulang tentu ini menjadi sebuah pertanyaan, mengapa hal demikian bisa terjadi?

Karenanya dalam mengokohkan sebuah rumah tangga, diperlukan adanya pemahaman agama. Sebagaimana membangun sebuah rumah tangga yang dikokohkan dengan pemahaman Islam, istri memiliki peran sebagai istri dan ibu rumah tangga yang mengurus rumah, anak dan suami. Sementara suami berkewajiban mencari nafkah dan membimbing anak dan istri. Jika kedua pasangan memiliki pemahaman Islami dengan qiyadah fikriyahnya maka serumit apapun persoalan rumah tangga akan mampu diselesaikan.

Begitupun dalam bermasyarakat, sejatinya harus saling bersosialisasi. Mampu memahami kondisi tetangganya yang merasa kekurangan dan saling tolong menolong jika tetangganya mengalami kesulitan ekonomi. Sementara, negara hadir sebagai regulator yang berkewajiban menyediakan lapangan pekerjaan. Tak hanya itu, negara wajib menyelesaikan perkara perceraian agar mampu menekan rapuhnya ketahanan keluarga yang tak lain adalah membangun ekonomi Islam yang selama ini menjadi pokok masalah utama akibat perceraian.

Wallahu A'lam Bish-showab

Post a Comment

Previous Post Next Post