Tegaknya Syariat Islam dalam Demokrasi Hanya Ilusi


Oleh : Eva Rahmawati 
(Pemerhati Sosial)

RUU Minuman Beralkohol (Minol) kembali dibahas di Baleg. Hingga kini kontroversi terus bergema. RUU ini pertama kali diusung pada tahun 2009, tapi tak disahkan hingga dibahas lagi pada periode 2014 dan 2019. RUU tersebut masih saja berhenti di level wacana. Sepertinya kali ini pun akan bernasib sama. Sinyal tersebut didapat dari pemerintah melalui Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly.

Yasonna  menyebutkan pemerintah belum membahas soal kemungkinan memasukkan RUU Larangan Minuman Beralkohol ke Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2021. Menurutnya, hal ini tak lain karena RUU tersebut belum resmi menjadi usul DPR.

"Hingga saat ini kami masih belum membahas tentang kemungkinan dimasukkannya RUU Larangan Minuman Beralkohol ke Prolegnas 2021 yang akan segera ditetapkan bersama oleh pemerintah dan DPR," katanya. (Bisnis.com, 16/11/2020).


Sebelumnya, pengusul RUU Larangan Minol yang diwakili oleh Anggota DPR RI Illiza Sa’aduddin Djamal, menjelaskan latar belakang dan dasar filosofis pentingnya RUU Larangan Minol. Menurut Illiza, RUU ini merupakan RUU usulan dari Anggota DPR RI Fraksi PPP, Fraksi PKS dan Fraksi Gerindra dengan tujuan untuk melindungi masyarakat dari dampak negatif, menciptakan ketertiban dan ketentraman di masyarakat dari para peminum minuman beralkohol, dan menumbuhkan kesadaran masyarakat mengenai bahaya minuman beralkohol. (dpr.go.id)

Disamping itu, realita maraknya kasus penyalahgunaan minol di kalangan remaja cukup tinggi. Berdasarkan riset Gerakan Nasional Anti Miras (GeNAM), remaja yang mengonsumsi minol mencapai 14,4 juta pada 2014. Dikhawatirkan, tingginya angka konsumsi minuman beralkohol berdampak pada generasi penerus bangsa. Mendorong para pengusung RUU Minol, bersemangat menghidupkan kembali RUU yang sudah lama terbengkalai. 


Namun, di tengah semangat melindungi generasi dan rakyat dari bahaya minuman beralkohol. Masih ada saja suara-suara penolakan terhadap RUU tersebut. Terutama dari pelaku usaha minol dan seluruh stakeholder pariwisata dan perhotelan.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Importir dan Distributor Minuman Indonesia (APIDMI) Ipung Nimpuno mengatakan di tingkat pemerintah daerah saja pihaknya pernah menghitung ada 140 bulir poin yang mengatur tentang minol. Dari angka itu, setidaknya ada 30 poin yang jelas melarang minol untuk masyarakat. Menurutnya RUU Minol tidak diperlukan lagi. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani tegas menolak karena minol sudah highly regulated. (bisnis.com, 23/11/20).

Negara Demokrasi Lebih Mengutamakan Kepentingan Bisnis

Langkah pemerintah yang tidak memprioritaskan RUU Minol, diduga kuat lebih mengutamakan kepentingan bisnis. Apalagi pemerintah menikmati hasil dari bisnis miras. Dikutip dari Kontan, Jumat (13/11/2020), penerimaan negara dari cukai Minuman Menggandung Etil Alkohol (MMEA) sampai akhir Juli lalu sebesar Rp 2,64 triliun. 

Pendapatan minuman beralkohol bagi negara, tidaklah sebanding dengan risiko yang ditimbulkannya. Pastinya semua memahami minol berdampak buruk, baik ditinjau dari segi kesehatan maupun agama. Tugas pemerintah adalah melindungi rakyatnya. Maka, semestinya pemerintah membuat kebijakan terbaik bagi rakyatnya.

Bukan malah konsen dan berpihak pada pelaku bisnis minol. Tapi, abai terhadap keselamatan rakyatnya. Hal demikian sangat wajar terjadi dalam negara demokrasi. Pasalnya, sistem sekularisme yang menjadi dasar pengambilan hukum. Bersumber dari akal manusia yang terbatas. Menafikan peran Tuhan dalam semua kebijakan yang diambil. Maka lihatlah, meskipun minol lebih banyak mudharatnya daripada maslahatnya tetap saja diperbolehkan. 

Negara demokrasi silau terhadap hasil bisnis minol. Tapi, menutup mata terhadap dampak kerusakan yang ditimbulkan dari minol. Ancaman serius rusaknya generasi, tak dihiraukan. Negara mayoritas Muslim, tapi sayang alergi penerapan syariat Islam. Asas manfaat selalu dikedepankan, meski bahaya besar tengah mengintai.

Merusak Akal dan Induk Kejahatan 

Bagi peminum minol dapat mengalami disfungsi akal atau menutupi fungsi akal. Disfungsi akal menyebabkan hilangnya kesadaran. Maka, tindakannya lepas kontrol. Bahkan bisa melakukan tindakan brutal, seperti bertindak kriminal, memperkosa, hingga membunuh. Pantas jika Nabi saw. menyebut khamr sebagai ummul khaba’its (induk dari segala kejahatan).

Dalam jangka panjang, berdampak merusak tubuh peminumnya, seperti merusak hati dan ginjal, pankreas, saraf, kerusakan otak permanen, penyakit kardiovaskular, infeksi paru-paru, diabetes hingga kanker seperti kanker faring, usus dan hati. Alkohol juga mengancam kesehatan mental seperti depresi. Sungguh, telah nyata dampak negatif dari minol.

Lantas, apakah sebanding materi yang didapat dengan dampak serius yang dihadapi rakyat? Jika tidak sekarang, harus berapa lama lagi aturan pelarangan minol hadir di tengah masyarakat? Bukankah minol juga penyebab banyak kematian di dunia? Berdasarkan kajian WHO, alkohol adalah pembunuh manusia nomor satu di dunia. Pada tahun 2012, WHO melaporkan bahwa setiap 10 detik alkohol membunuh 1 orang di dunia, atau sekitar 3,3 juta jiwa/tahun.


Syariat Islam Tegak dalam Naungan Khilafah 

Dalam Islam, sesuatu yang memabukkan adalah khamr. Tidak ada perbedaan dikalangan ulama terkait keharaman khamr. Allah Ta'ala berfirman;

"Wahai orang-orang yang beriman! Sungguh minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala dan mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Karena itu jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kalian beruntung." (QS al-Maidah [5]: 90).


Bukan sekadar mengkonsumsi/meminum khamr. Syariah Islam juga mengharamkan sepuluh aktivitas yang berkaitan dengan khamr. Rasul saw. bersabda: 

"Rasulullah saw. telah melaknat tentang khamr sepuluh golongan: 1. pemerasnya; 2. yang minta diperaskan; 3. peminumnya; 4. pengantarnya, 5. yang minta diantarkan khamr; 6. penuangnya; 7. penjualnya; 8. yang menikmati harganya; 9. pembelinya; 10. yang minta dibelikan." (HR at-Tirmidzi).

Berdasarkan hadis ini, seluruh aktivitas yang berkaitan dengan khamr adalah haram. Bar, kafe, restoran, hotel yang menjual khamr, profesi sebagai bartender, uang hasil penjualannya dan cukai dari minuman keras juga haram secara mutlak.

Berbeda dengan siitem demokrasi yang masih tawar menawar soal khamr. Hanya karena alasan materi, berani menghalalkan sesuatu yang jelas-jelas diharamkan Allah Swt. Mereka lancang mempermainkan syariat-Nya. Maka, hanya dalam naungan khilafah, syariat Islam bisa tegak.

Tidak ada kompromi sedikit pun soal khamr. Haram tetap haram. Siapa pun yang melanggar syariat-Nya akan dikenai sanksi tegas yang memberi efek jera. Baik bagi peminum dan orang-orang yang berkaitan dengan khamr. Sanksi dalam Islam berfungsi sebagai jawabir (penebus siksa akhirat) dan jawazir (pencegah terjadinya tindak kriminal yang baru terulang kembali). 

Wallahu a'lam bishshowab.

Post a Comment

Previous Post Next Post