Suburnya Politisasi Agama, Ciri Khas Negeri Demokrasi


Goresan Pena : Sahara (Aktivis Dakwah Lubuk Pakam )


Menjelang PILKADA, PILPRES dan berbagai pemilihan umum lainnya. Para calon kontestan pasti akan berlomba lomba dalam panggung perpolitikan. Berbagai daya dan upaya dikerahkan untuk bisa menang, atau setidaknya bisa mengambil simpati rakyat agar nantinya bisa memilihnya dan dia berada dikursi kekuasan.

Mayoritas rakyat Indonesia adalah Muslim, tidak dapat dipungkiri, pada kenyataannya pemilihan umum ini, pasti tidak terlepas dari politisasi agama karena sudah menjadi kebiasaan dan ciri khasnya, baik pada struktur pemerintahan tingkat atas hingga bagian instansi yang paling rendah.

Ikut serta dalam majelis ta'lim, berkumpul dengan organisasi organisasi Islam, membagikan sembako , memberikan fasilitas kesehatan gratis dan banyak hal lain nya. Mereka yang menjadi kandidat pemilu tersebut  pasti akan sangat mempersiapkan dengan matang materi kampanyenya, hingga  dengan gamblangnya menjelaskan janji, visi misi, serta banyak hal, termasuk tentang kesejahteraan masyarakat dan menjaga kemuliaan islam. Memperalat ulama su' untuk menjual ayat ayat Allah, agar bisa lebih meyakinkan umat untuk memilihnya. Seyogyanya, orang yang membutuhkan dan sangat memerlukan perubahan untuk kehidupannya, pasti akan terpesona dan tergiur untuk memilih mereka yang menjadi kandidat dalam pemilu.

Kepulangan HRS (Habib Rizieq Shihab) menjadi viral  karena banyaknya masa yang datang bersuka cita menyambut kedatangannya. Umat rindu dengan dakwah beliau, yang banyak sekali membongkar aib kekuasaan dan seolah menggambarkan dan menyampaikan kekecewaan umat terhadap penguasa.
Namun banyak pihak yang menuding HRS telah melakukan politisasi agama karena intisari opininya mengenai politik sangat kental dengan Islam. Apalagi dengan gelar habib yang disandang serta kuatnya dukungan dari alumni Aksi 212 yang notabene dianggap sebagai oposan.

Salah satu yang menyebut demikian adalah Imam Addaruqutni, seorang Intelektual Muhammadiyah yang juga Sekjen Dewan Masjid Indonesia (DMI). Dalam webinar Moya Institute bertema “Gaduh Politisasi Agama”, Kamis 19 November lalu, dia menyebut HRS adalah contoh pelaku politisasi agama

Ketua Umum Organisasi Internasional Alumni Al-Azhar Cabang Indonesia TGB Muhammad Zainul Majdi mengingatkan bahwa politisasi agama semata untuk mendapatkan kekuasaan atau memenangkan kontestasi politik akan berdampak buruk dan berbahaya.

"Menurut saya, politisasi agama bentuk paling buruk dalam hubungan agama dan politik. Sekelompok kekuatan politik menggunakan sentimen keagamaan untuk menarik simpati kemudian memenangkan kelompoknya. Menggunakan sentimen agama dengan membuat ketakutan pada khalayak ramai. Menggunakan simbol agama untuk mendapatkan simpati," katanya, saat webinar Moya Institute bertema "Gaduh Politisasi Agama".

Namun, kata Ketua Umum Dewan Tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Wathan (PBNW) itu, politisasi agama juga bisa baik kalau nilai-nilai mulia agama menjadi prinsip dalam berpolitik, sebagaimana yang dilakukan para pendiri bangsa ini.

"Maka politik menjadi hidup dan bagus karena ada nilai agama," kata mantan Gubernur Musa Tenggara Barat itu.

Masih dalam forum yang sama, intelektual muda Nahdlatul Ulama (NU) Muhammad Cholil Nafis mengatakan apa yang terjadi akhir-akhir ini bukan karena kegagalan NU dan Muhammadiyah dalam membimbing umat, tetapi lebih pada kegagalan orang yang ingin membawa isu liberal.

"Liberal ini melahirkan radikalisme. Yang kita hadapi ini buah dari proses liberalisasi. Jadi, jangan sampai kita menepi menjadi radikalisme. Bagaimana memasyarakatkan moderasi Islam agar orang tidak menepi ke kanan dan ke kiri," ujar Cholil.

Sedangkan Direktur Moya Institute Hery Sucipto menegaskan bahwa negara harus hadir dan tegas melindungi segenap warganya termasuk menindak tegas kelompok yang memanfaatkan agama untuk kepentingan provokasi.

"Negara tidak boleh kalah," tegasnya.

Ia mengatakan munculnya konservatisme dan militansi juga akibat adanya pembiaran terhadap kelompok intoleran yang dibungkus dakwah provokatif, padahal dakwah itu harus santun, tidak boleh mencaci, dan melukai pihak lain.

Selain itu, kata dia, kerumunan massa yang dibungkus kegiatan keagamaan beberapa hari lalu tidak boleh terulang lagi karena berbahaya bagi penanganan COVID-19.

Mengamati dari berbagai pendapat di atas terlihat jelas ada yang setuju dan ada menolak, seperti ada kubu kanan dan kiri. Lebih parahnya lagi salah satu dari pendapat mereka malah justru terlihat sekuler. Bahkan cenderung mencari cari kesalahan dari umat muslim itu sendiri agar tidak terpapar radikalisme. Padahal ada banyak kasus yang lebih urgent untuk segera dituntaskan selain terus menerus menggoreng isu radikalisme ini. Kasus Korupsi, kasus makar di Papua, kasus penghinaan Islam,kasus hutang negara dan berbagai kasus lainnya, apa kabarnya?sudah selesai kah?

Beginilah hidup dalam ruang lingkup Demokrasi liberal. Tujuan utama dari politik Demokrasi tidak lain adalah manfaat dan eksistensi kekuasaan. Perpolitikan yang seharusnya diperjuangkan dan dijalankan bersama demi kesejahteraan rakyat. Berubah menjadi panggung perlombaan untuk berebut kekuasaan. Disadari atau tidak, bahkan parpol nasional pun juga kerap kali memperalat agama untuk merebut kekuasaan.
Dan ini tidak hanya terjadi di negeri yang mayoritas nya muslim saja, hal ini juga dilakukan oleh Presiden AS, Joe Biden yang mengalahkan Donald Trump dengan Hadist untuk memikat hati pemilih Muslim.

Memperalat agama untuk merebut kekuasaan adalah masalah besar, hal yang memalukan dan memilukan, sebab ini lebih dari sebuah penghinaan dan pelecehan. Dengan mudahnya memperjualbelikan ayat-ayat Allah untuk kebathilan. Mempolitisasi agama demi kepentingan kekuasaan adalah haram. Tetapi menggunakan kekuasaan untuk menerapkan syariah secara kaffah hukumnya wajib.

Jangan sampai salah paham dan bahkan menimbulkan islamophobia terhadap Islam. Hingga akhirnya memisahkan agama dari kehidupan. Sebab bicara Islam adalah bicara politik, politik dalam Islam yaitu mengurusi  kehidupan umat dari bangun tidur sampai bangun negara, Islam punya aturan nya dan memiliki solusi yang pasti mengenai berbagai persoalan umat, sebab sang pembuat hukum dan pemegang kedaulatan penuh hanyalah Allah SWT. Dalam Islam Pemimpin yang telah dibaiat adalah sebagai pelayan umat, bukan penghisap darah umat. Dia yang akan memimpin dan melindungi dengan kepemimpinan yang didasarkan ketaqwaan dan keimanan, semata mata hanya untuk meraih ridho Allah bukan demi kepentingan pribadi, dan aturan hukum yang berlaku dan yang dijalankan jelas,bukanlah dari manusia, sang pemilik modal. Atau mereka para antek antek penguasa. Dan inilah yang harus umat pahami saat ini, bahwa selama kita terus terkungkung dalam jeratan demokrasi, antara yang Haq dan yang bathil akan tetap samar. Hukum akan terus melilit pada mereka yang lemah dan longgar pada mereka yang berkuasa. Wallahu a'lam bishowab.


Post a Comment

Previous Post Next Post