Pilkada Melenggang, Corona Menghadang


Oleh : Sartinah
Relawan Media

Pilkada serentak 9 Desember 2020 lalu bertepatan dengan peringatan hari antikorupsi sedunia. Meski sempat ditunda, pemerintah akhirnya mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2020, sebagai payung hukum agar tahapan pelaksanaan pilkada dilanjutkan kembali.

Pilkada kali ini jelas tak biasa. Sebab dilakukan di tengah gempuran pandemi Covid-19. Sebagaimana diketahui, sekira sembilan bulan yang lalu, seluruh dunia tengah bergelut melawan pandemi Covid-19, termasuk negeri ini. Bahkan hingga detik-detik menjelang pilkada, pandemi ini belum menunjukkan tanda-tanda melandai.

Hingga kini kasus terkonfirmasi Covid-19 terus mengalami tren kenaikan. Secara global sebarannya telah mencapai 220 negara, dengan kasus terkonfirmasi sebanyak 61.869.330 orang dan 1.448.896 orang meninggal dunia. Sedangkan di Indonesia sendiri jumlah kasus terkonfirmasi sebanyak 534.266 orang, sembuh 445.793 orang, dan 16.815 orang meninggal. (covid19.go.id, 29/11/2020)

Meski kasus Covid-19 terus meningkat, nyatanya tak mengurungkan gelaran pilkada serentak tahun ini. Terkait pelaksanaan pilkada di tengah pandemi, pemerintah dan DPR memiliki pertimbangan bahwa pandemi Covid-19 tidak bisa diprediksi kapan akan berakhir. Sementara kebutuhan untuk mengisi jabatan kepala daerah sudah sangat mendesak.

Demi menekan angka penyebaran Covid-19 di tengah pelaksanaan pilkada, pemerintah terus mengampanyekan protokol kesehatan. Penggunaan masker, hand sanitizer, menjaga jarak, dan mencuci tangan adalah aktivitas yang wajib dilakukan di tempat umum. Sayangnya, meski prokes ketat sudah dijalankan, kurva penyebarannya tetap saja tinggi.

Serangan virus corona pun tak memandang usia, pangkat, maupun jabatan. Dari pejabat hingga rakyat jelata serta dari pusat hingga daerah semua terinfeksi Covid-19. Pun, para penyelenggara pemilu turut terpapar virus mematikan tersebut. Dari Komisioner KPU dan Bawaslu RI maupun Komisioner KPU/Bawaslu Kabupaten/Kota ada di antara mereka yang dinyatakan positif Covid-19. 

Tak berhenti sampai di sini. Saat pendaftaran bakal pasangan calon (bapaslon) pun memantik kekhawatiran. Bagaimana tidak, mayoritas bapaslon di semua daerah melakukan arak-arakan dan tidak menerapkan physical distancing.

Kekhawatiran pun berubah jadi kenyataan. Seperti dilansir tempo.co (16/11/2020), KPU mencatat terdapat 60 bakal calon kepala daerah di Pilkada 2020 yang dinyatakan positif Covid-19. Selain itu, berdasarkan data Badan Pengawas Pemilu, terdapat 243 pelanggaran protokol kesehatan yang dilakukan bakal pasangan calon ketika mendaftar ke KPU. 

Di sisi lain, rendahnya kesadaran masyarakat menjaga protokol kesehatan turut menyumbang semakin meningkatnya penyebaran Covid-19. Kurangnya pemahaman tentang bahaya Covid-19 akhirnya membuat masyarakat tak acuh terhadap protokol kesehatan. 

Maka tak heran, meski wabah masih mengintai, masyarakat tetap melakukan aktivitas normal seolah tidak ada wabah. Berkerumun tanpa menjaga jarak, tidak memakai masker, dan pelanggaran lainnya yang tetap dilakukan.

Pilkada Mahal ala Demokrasi

Pemilu maupun pilkada adalah hajatan rakyat yang rutin dilakukan setiap lima tahun sekali. Pesta demokrasi tersebut tentu saja menimbulkan banyak kerumunan. Ada penyelenggara, peserta, pemilih, maupun aparat keamanan. Kondisi ini justru semakin memunculkan potensi penularan virus corona. 

Hajatan lima tahunan dalam sistem demokrasi sangatlah mahal. Tak heran, jutaan bahkan miliaran rupiah dana harus dikeluarkan demi penyelenggarakan pemilu maupun pilkada. Meski dana yang dikeluarkan terbilang fantastis, nyatanya produk pemilihan tersebut tidak menjamin bahwa para pejabat yang dilahirkan akan menjalankan amanahnya dengan baik.

Hal ini terbukti di sepanjang tahun 2005 hingga 2019 saja, atau sejak kepala daerah dipilih secara langsung melalui mekanisme pilkada, sebanyak 300 kepala daerah terjerat kasus korupsi. Dari jumlah tersebut, 128 kasus di antaranya ditangani KPK. (kompas.com, 7/8/2020). Sementara ICW sendiri mengatakan, ada 294 kepala daerah yang terjerat kasus korupsi. (bengkuluinteraktif, 30/11/2020)

Demikianlah, selain berbiaya mahal dan cenderung melahirkan para pejabat korup, sistem demokrasi acap kali memerlukan banyak tumbal. Mirisnya lagi, rakyatlah yang selalu dikorbankan. Tak jarang nyawa pun melayang demi duduknya pejabat maupun penguasa di kursi panas kekuasaan.

Islam Solusi Sengkarutnya Negeri

Memilih pemimpin dan kepala daerah demi melayani kepentingan rakyat memang diperlukan. Namun menjaga keselamatan nyawa di tengah pandemi, bukankah seharusnya lebih diutamakan? Namun nasi sudah menjadi bubur. Pilkada pun tetap melenggang di tengah banyaknya rakyat yang terinfeksi Covid-19.

Padahal, penguasa sejati adalah mereka yang mampu menjadikan keselamatan rakyat sebagai prioritas utama dibanding apa pun. Sebab, tanpa nyawa apalah artinya kekuasaan. Namun, penguasa yang benar-benar memedulikan keselamatan rakyat hanya lahir dari sistem Islam.

Sebagaimana yang pernah ditunjukkan oleh Khalifah Umar bin Khattab ketika mengambil keputusan di tengah wabah demi menyelamatkan rakyatnya.

Dalam mengambil keputusan, khalifah Umar tidak menyelesaikannya sendiri. Namun beliau berkonsultasi dan bermusyawarah dengan ahlinya. Hal ini dilakukan untuk menyelamatkan kaum muslim dan manusia secara umum agar tidak dibinasakan oleh wabah penyakit. Satu yang pasti, para khalifah (pemimpin) Islam saat itu tidak pernah menyepelekan masalah sekecil apa pun.

Para penguasa Islam sangat menjaga dan memuliakan nyawa manusia, termasuk menjaganya dari wabah penyakit. Saat wabah menyerang, khalifah memetakan antara orang yang terinfeksi dan yang bebas dari wabah.

Sebagaimana sabda Rasulullah saw., "Jika kalian berada di suatu tempat (yang terserang wabah), maka janganlah kalian keluar darinya. Apabila kalian mendengar wabah itu di suatu tempat, maka janganlah kalian mendatanginya." (HR. Bukhari dan Muslim)

Di sisi lain, Islam memiliki mekanisme yang mudah dan murah dalam memilih penguasa maupun kepala daerah. Mekanisme tersebut meniscayakan negara bisa menghemat dan menekan anggaran.

Seorang khalifah (pemimpin) dipilih dengan satu metode baku, yakni baiat. Sedangkan pemilihannya tidak mesti dilakukan secara langsung sebagaimana yang terjadi saat ini. Bentuk dukungannya bisa melalui perwakilan, yakni rakyat memilih seorang wakilnya sebagai calon khalifah yang telah memenuhi syarat in'iqad yaitu, muslim, laki-laki, dewasa, merdeka, berakal, adil, dan mampu.

Saatnya Islam menjadi alternatif untuk menyelesaikan sengkarutnya negeri ini tersebab penerapan sistem demokrasi. Dengan penerapan Islam secara kafah dalam semua aspek kehidupan, keberkahan akan melingkupi manusia sebagaimana janji Allah Swt.

Wallahu a'lam bishshawab

Post a Comment

Previous Post Next Post