Mencari Jejak Adil di Lingkaran Kebijakan Penguasa


Oleh: Nur Laily (Aktivis Muslimah)

Pandemi Virus Corona masih belum menemui tanda-tanda akan segera berakhir, justru korban yang berjatuhan semakin meningkat setiap harinya. Dikutip dari media Bisnis.com, Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Hamdan Zoelva menyampaikan keprihatinannya terkait banyaknya jumlah calon kepala daerah dan anggota penyelenggara pemilu yang terpapar Covid-19 selama pelaksanaan tahapan Pilkada serentak 2020.

"Prihatin 70 orang calon kepala daerah terinfeksi Covid-19, 4 orang diantaranya meninggal dunia," cuitnya melalui akun media sosial twitter @hamdanzoelva, Jumat (27/11/2020).

Tidak hanya calon kepala daerah saja yang terinfeksi Covid-19, tetapi Hamdan juga menyoroti banyaknya anggota penyelenggara pemilu yang juga terinfeksi virus Corona (Covid-19).

"100 penyelenggara termasuk Ketua KPU RI terinfeksi [Covid-19]. Betapa besar pengorbanan untuk demokrasi," ujarnya.

Yang menjadi pertanyaan, Apakah pemerintah masih nekat untuk mengadakan pilkada tahun ini? Apakah aman tetep pilkada di tengah pandemi ini? Apakah pemerintah tidak memikirkan nyawa rakyatnya?

Dilansir dari Waspada.co.id bahwa Lembaga Indikator Politik Indonesia merilis survei terkait penyelenggaraan Pilkada 2020 di masa pandemi Covid-19. Hasilnya, mayoritas responden setuju jika pesta demokrasi tersebut ditunda. Survei tersebut dilakukan pada 24 September hingga 30 September 2020 dengan mengandalkan panggilan telepon karena pandemi Covid-19.

Metode yang digunakan adalah simple random sampling dengan 1.200 responden yang dipilih secara acak berdasarkan data survei tatap muka langsung sebelumnya pada rentang Maret 2018 hingga Maret 2020.

Adapun margin of error sekitar 12.9 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen. Sampel berasal dari seluruh provinsi di Indonesia yang terdistribusi secara proporsional. (liputan6/ags/data3)

Faktanya, sebagian masyarakat tidak setuju jika masih diadakan pilkada di tengah pandemi. Apakah masyarakat harus mempertaruhkan nyawa demi ikut pilkada di saat pandemi Virus Corona? Seyogyanya, pemerintah seharusnya fokus untuk menyelesaikan dan menyudahi pandemi Virus Corona ini agar tidak banyak korban yang terinfeksi. Hingga kini, laju penyebaran virus corona pun terus naik dan semakin mengkhawatirkan.

Kasus pilkada ini membuat gambaran di benak masyarakat bahwa kebijakan negara ternyata hanya condong memikirkan kursi kekuasaan yang didanai oleh para kapitalis dan abai terhadap keselamatan rakyat. Tentu hal ini bertolak belakang dengan paradigma sistem Islam. Dalam sistem Islam, kebijakan yang diambil oleh pemimpin negara harus adil, sesuai dengan al qur'an dan as sunnah dan tidak boleh mendzalimi rakyat. Pemimpin dalam Islam berarti umara yang sering disebut juga dengan ulul amri.

Seperti yang tertera dalam QS. An-Nisa ayat 5: 
“Hai orang-orang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri diantara kamu”.

Dalam ayat tersebut dikatakan bahwa ulil amri, umara atau penguasa adalah orang yang mendapat amanah untuk mengurus urusan orang lain. Dengan kata lain, pemimpin itu adalah orang yang mendapat amanah untuk mengurus urusan rakyat. Jika ada pemimpin yang tidak mau mengurus kepentingan rakyat, maka ia bukanlah pemimpin (yang sesungguhnya).

Pemimpin sering juga disebut khadimul ummah (pelayan umat). Menurut istilah itu, seorang pemimpin harus menempatkan diri pada posisi sebagai pelayan masyarakat, bukan minta dilayani. Dengan demikian, hakikat pemimpin sejati adalah seorang pemimpin yang sanggup dan bersedia menjalankan amanat Allah SWT untuk mengurus dan melayani umat/masyarakat.

Al-Quran dan Hadits sebagai pedoman hidup umat Islam pun sudah mengatur sejak awal bagaimana seharusnya kita memilih dan menjadi seorang pemimpin. Ada dua hal yang harus dipahami tentang hakikat kepemimpinan. Pertama, kepemimpinan dalam pandangan Al-Quran bukan sekedar kontrak sosial antara sang pemimpin dengan masyarakatnya, tetapi merupakan ikatan perjanjian antara dia dengan Allah SWT.

Kepemimpinan adalah amanah, titipan Allah SWT, bukan sesuatu yang diminta apalagi dikejar dan diperebutkan. Sebab kepemimpinan melahirkan kekuasaan dan wewenang yang gunanya semata-mata untuk memudahkan dalam menjalankan tanggung jawab melayani rakyat. Semakin tinggi kekuasaan seseorang, hendaknya semakin meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Bukan sebaliknya, digunakan sebagai peluang untuk memperkaya diri, bertindak zalim dan sewenang-wenang. Balasan dan upah seorang pemimpin sesungguhnya hanya dari Allah SWT di akhirat kelak, bukan kekayaan dan kemewahan di dunia.

Kedua, kepemimpinan menuntut keadilan. Keadilan adalah lawan dari penganiayaan, penindasan dan pilih kasih. Keadilan harus dirasakan oleh semua pihak dan golongan. Diantara bentuknya adalah dengan mengambil keputusan yang adil.

Jabatan kepemimpinan sesungguhnya adalah titipan rakyat dan amanah dari Allah. Maka, sudah seharusnya pemimpin negeri ini mengambil pelajaran dari Umar bin Khattab, sang Amirul mukminin berkata, "Wahai masyarakat sekalian, aku diangkat mengepalai kalian. Dan aku bukanlah yang terbaik diantara kalian. Jika aku membuat kebaikan, maka dukunglah aku. Jika aku membuat kejelekan, maka luruskanlah aku. Kebenaran itu suatu amanat. Kebohongan itu suatu khianat. Yang terlemah diantara kalian aku anggap yang terkuat sampai aku mengambil dan memulangkan haknya. Yang terkuat diantara kalian aku anggap yang terlemah sampai aku mengambil hak si lemah dari tangannya. Patuhilah aku selama aku mematuhi Allah dan Rasul-Nya. Bila aku mendurhakai Allah dan Rasul-Nya tidak ada kewajiban patuh kepadaku."

Wallahu'alam bi shawab. 

Post a Comment

Previous Post Next Post