Korupsi Mewabah di Dalam Sistem Demokrasi


Oleh : Rengga Lutfiyanti
Mahasiswi dan Pegiat Literasi

Mengambil kesempatan dalam kesempitan. Mungkin itulah ungkapan yang tepat untuk disematkan kepada para koruptor, karena telah tega mengambil uang rakyat di saat-saat sulit seperti saat ini. 

Beberapa waktu lalu, masyarakat dikejutkan dengan berita korupsi yang menjerat Menteri Sosial, Juliari Batubara. KPK menetapkan Menteri Sosial tersebut sebagai tersangka kasus dugaan suap bansos Covid-19. Diduga total uang yang diterimanya sebesar Rp 17 miliyar. (detik.com, 6/12/2020)

Kasus semacam ini bukanlah yang pertama kali. Karena sebelumnya juga ada kasus korupsi terkait dana bantuan bencana. Seperti yang pernah dilakukan oleh mantan Bupati Nias Binahati Benedictus Baeha. Benedictus dijerat dalam kasus dana bantuan bencana tsunami Nias.

Kemudian anggota DPRD Mataram Fraksi Golkar Muhir dijerat dalam kasus korupsi dana bantuan gempa bumi Lombok, serta Bendahara Pembantu Program Rekonstruksi dan Rehabilitasi Pascabencana BNPBD Mojokerto Joko Sukartika yang terjerat korupsi dana rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana. (liputan6.com, 20/5/2020)

Itu hanyalah sebagian kecil contoh kasus korupsi yang pernah terjadi di negeri ini. Terutama yang dilakukan oleh para pejabat. Sebab masih banyak kasus-kasus korupsi lain yang pernah terjadi. Sehingga tidak heran, jika indeks korupsi Indonesia pada tahun 2019 berada pada peringkat ke empat Asia Tenggara. (databoks.katadata.co.id, 23/01/2020)

Tentu itu bukanlah sebuah prestasi yang patut untuk diapresiasi. Adanya kasus korupsi yang dilakukan oleh Menteri Sosial tentu saja akan menambah daftar kelam kasus korupsi di Indonesia. Lantas, mengapa hal demikian masih sering dan terus saja terjadi? Seolah kasus korupsi tidak pernah terselesaikan, malah kasus korupsi semakin mewabah. 

Ternyata, penyebab kasus korupsi masih terus eksis hingga saat ini, tidak lain karena sistem yang diterapkan. Yaitu sistem politik demokrasi. Bukan lagi rahasia umum, jika kekuasaan dalam sistem demokrasi berbiaya tinggi. Sehingga, otomatis calon penguasa membutuhkan suntikan dana dari para pemilik modal. Agar mereka bisa mendapatkan kekuasaan yang diinginkan.

Maka tidak heran, jika setelah mereka berkuasa, mereka cenderung akan melakukan tindakan korupsi. Hal ini, dilakukan sebagai upaya pengembalian modal yang telah mereka keluarkan. Sistem demokrasi yang berdiri di atas asas sekulerisme, telah menjauhkan peran agama dalam kehidupan. 

Alhasil, aturan yang berlaku pun adalah aturan buatan manusia. Hukum yang dibuat akan sangat subyektif. Tentu saja hukum tersebut akan membawa kepentingan para pembuatnya. Ketika manusia diberi hak sebagai pembuat hukum (legislator), maka subyektivitas dan konflik kepentingan tidak akan bisa dilepaskan. 

Maka wajar saja, jika hukum dalam sistem demokrasi sering berubah-ubah sesuai dengan kepentingan pembuatnya. Bahkan tidak jarang, hukum menjadi seperti pisau dapur yang tajam ke bawah dan tumpul ke atas. 

Jadi sebenarnya, adanya tindakan korupsi bukan terletak pada problem individu. Sebagaimana yang dipahami oleh sebagian besar masyarakat selama ini. Tetapi, disebabkan oleh sistem yang berkuasa saat ini yaitu sistem demokrasi. 

Hal semacam ini tidak akan terjadi dalam sistem Islam. Karena Islam memiliki jurus jitu untuk meminimalisir bahkan mengakhiri kasus korupsi. Sistem pemerintahan Islam dibangun dari akidah Islam. Konsekuensinya kedaulatan hukum hanya berada di tangan Allah swt.

Sebagaimana firman Allah swt. dalam QS. Yusuf : 40, yang artinya : "...Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah.."

Islam menjadikan Al-Qur'an dan hadits sebagai rujukan dalam membuat hukum atau peraturan. Hukum Allah swt. tidak bisa diperjual belikan dan tidak bisa direvisi. Apalagi diotak-atik sesuai kepentingan manusia. Sebagaimana yang terjadi dalam sistem demokrasi. 

Untuk mengatasi kecurangan yang mungkin dilakukan oleh pejabat atau pegawai negara, dibuatlah seperangkat aturan untuk pencegahan. Aturan-aturan tersebut antara lain :

1. Adanya Badan Pengawas/Pemeriksa Keuangan. Dalam sebuah kitab Al Amwal fi Daulah Islam karya Sheikh Abdul Qodim Zallum,  beliau menuliskan bahwa untuk mengetahui apakah pejabat instansi pemerintah melakukan kecurangan atau tidak, maka harus ada Badan Pengawas/Pemeriksa Keuangan. 

2. Gaji yang cukup untuk memenuhi kebutuhan primer, sekunder, dan tersier. Sementara untuk kebutuhan kolektif seperti pendidikan, kesehatan, jalan dan birokrasi, akan digratiskan oleh pemerintah. Kebutuhan pokok seperti sandang, pangan, dan papan dapat diperoleh dengan harga yang murah. (Abdurrahman Al Maliki, Politik Ekonomi Islam, Bangil : Al Izzah, 2001)

3. Ketakwaan Individu dalam pengangkatan pejabat atau pegawai negara. Selain syarat profesionalitas, negara juga menetapkan syarat takwa sebagai ketentuan. Ketakwaan individu juga akan mencegah seorang muslim untuk berbuat curang. Ditambah keimanan yang kokoh akan menjadikan pejabat selalu merasa diawasi oleh Allah swt dalam melaksanakan tugasnya. 

4. Amanah. Dalam sistem Islam pejabat atau pegawai negara wajib memenuhi syarat amanah. Yaitu wajib melaksanakan seluruh tugasnya yang menjadi tanggung jawabnya.

5. Penerapan aturan haramnya korupsi dan sanksi tegas bagi pelakunya. Korupsi dalam Islam disebut dengan perbuatan khianat dan pelakunya disebut khaain. Khaain merupakan tindakan seseorang yang menggelapkan harta yang memang harta tersebut diamanatkan kepadanya. (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul Uqubat, hal 31). Oleh karena itu, sanksi bagi pelakunya bukan potong tangan sebagaimana hukuman bagi pencuri. Hukuman bagi pelaku khaain adalah sanksi ta'zir. Yaitu sanksi dan kadarnya ditentukan oleh hakim. Berat ringannya sanksi ta'zir tergantung dengan berat ringannya kejahatan yang dilakukan.

Itulah solusi yang diberikan oleh Islam dalam mengatasi kasus Korupsi. Sistem Islam adalah sistem yang sempurna. Tidak ada problem yang tidak bisa diselesaikan oleh Islam. Islam selalu memiliki cara untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi oleh umat.

Wallahu a'lam bishawwab.

Post a Comment

Previous Post Next Post