Ketika Harta Korupsi Lebih Berharga dari Harga Diri



Oleh: Erni Yuwana (Aktivis Muslimah)

Korupsi masih membudaya dan abadi di tubuh Indonesia. Lumrah. Lazim. Biasa. Tak berkesudahan. Rakyat Indonesia sudah terbiasa tersenyum kecut, mengelus dada, mengurut kening yang berkerut ketika mendengar kabar tindak korupsi petinggi negeri.

Ah, bukan kah ada wacana umum di negeri ini jika pada zaman orde Lama, korupsi dilakukan di bawah meja. Di zaman Orde Baru, korupsi dilakukan di atas meja. Hingga era reformasi zaman terkini dan termodern, justeru semua yang berada di bawah meja, di atas meja, bahkan termasuk mejanya pun turut dikorupsi. Miris.

Di lansir dari media online CNN Indonesia (07/12/2020) bahwa, Menteri Sosial Juliari P. Batubara telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait kasus dugaan korupsi pengadaan bantuan sosial (bansos) penanganan Covid-19. Status tersangka Juliari ini turut menjerat pejabat Kemensos dan sejumlah pihak yang menjadi pemberi suap.

Petinggi negeri seolah telah putus Urat malunya. Nurani para pejabat pun mati rasa. Harga diri mereka lumpuh di mata rakyat. Celakanya, mereka masih mampu tertawa lebar dan berbangga diri. Mentalitas pejabat negeri sebagai sosok pemangku kebijakan dipertanyakan anak bangsa. Bagaimana mungkin elit pejabat dan politisi negeri bermoral bejat, sedangkan dari keputusan mereka lah hajat hidup rakyat dipertaruhkan. Bahkan mereka tak mampu lagi menilai salah dan benar, juga baik dan buruk. Hingga label status koruptor pun menjadi status kekinian. Ya, korupsi bukan lagi dianggap sebagai status kejahatan, rendahan dan hina yang mampu melukai harga diri.

Menurut survei PERC tahun 2010 (Political & Economic Risk Consultancy), Indonesia dinobatkan menjadi Negara paling korup se Asia-Pasifik. Indonesia layak menyandang surga korupsi karena sikap ramahnya terhadap para koruptor. Pelaku tindak kejahatan korupsi yang tertangkap di negeri ini hanya mendapat sanksi sangat ringan. Bahkan banyak koruptor kelas kakap yang melenggang bebas berkeliaran di luar negeri. Apakah bangsa ini sudah kehilangan tekad untuk mengadili dan menyudahi kejahatan korupsi? Atau mungkinkah negeri ini sudah menjadi sarang koruptor hingga layak dipertahankan?

Indonesia bersih dan bebas korupsi hanya mimpi di sistem kapitalis ini. Kekuasan hanya diukur dengan harta, yakni mendatangkan untung pantang rugi. Jabatan hanyalah alat untuk mendapatkan harta sebanyak-banyaknya, walaupun harus menggadaikan nurani dan harga diri. Mustahil mewujudkan Indonesia bersih dari koruptor jika negeri ini masih menggenggam sistem kapitalis.

Untuk menuju Indonesia yang bersih dan bebas korupsi, satu-satunya solusi adalah dengan menerapkan syariah Islam. Dalam sistem Islam, negara akan memberikan pembinaan ketakwaan untuk mendorong kaum muslimin untuk senantiasa taat pada Allah dan Rasulnya. Jabatan adalah amanah dari Allah sebagai pelayan rakyat. Jabatan bukan bisnis. Bukan pula perkara untung dan rugi. Keimanan dan ketaqwaan dalam dada umat lah yang otomatis menjadi langkah  preventif (pencegahan) tindak kejahatan korupsi.

Selain pembinaan ketaqwaan yang luar biasa, negara dalam sistem Islam juga memberlakukan seperangkat hukum pidana yang keras lagi tegas. Sanksi ini bertujuan untuk menimbulkan efek jera bagi pelaku Sistem sanksi ini berupa ta’zir yang kadarnya hukumannya tergantung khalifah. Bahkan sangat memungkinkan jika hukum bunuh menjadi sanksi dari kasus korupsi kelas kakap. Luar biasanya, sanksi ini berfungsi sebagai penebus dosa (al-jawabir), sehingga mendorong para pelakunya untuk bertobat dan menyerahkan diri. Hal inilah yang tidak pernah dimiliki oleh sistem kapitalis kini.

Sistem Islam juga sangat memperhatikan kesejahteraan para pegawai negara dengan penggajian yang layak. Rasulullah SAW bersabda: “Siapapun yang menjadi pegawai kami hendaklah mengambil seorang istri, jika tidak memiliki pelayan , hendaklah mengambil seorang pelayan, jika tidak mempunyai tempat tinggal hendaknya mengambil rumah. (HR. Abu Dawud). Dengan terpenuhinya segala kebutuhan mereka, hal ini mampu menekan terjadinya tindak kejahatan korupsi.

Kemudian, negara juga melakukan perhitungan harta kekayaan para pegawai untuk menghindari pembengkakan harta karena adanya tindakan korupsi, pungli, dan lain sebagainya. Pada masa kekhilafahan Umar Bin khatab, perhitungan harta pejabat negara rutin dilakukan.

Pemberantasan korupsi butuh penerapan sistem Islam secara menyeluruh, tidak sebagian-bagian, demi sempurnanya kemaslahatan umat. Karenanya, Indonesia wajib menerapkan sistem Islam kaffah di bawah naungan Khilafah rasyidah agar terwujud Indonesia bersih dan sejahtera. Wallahu a’lam bi ash-shawab


Post a Comment

Previous Post Next Post