Perempuan dalam Pusaran Politik Praktis


Nama penulis : Ruri R
Aktifitas : Ibu Rumah Tangga
 

          Menghitung hari, itulah suatu ungkapan yang pas untuk menunggu waktu tiba pemilihan kepala daerah (Pilkada) khususnya di Kabupaten Bandung. Sebagaimana dilansir laman Jabarnews.com (03/11/2020) Pilkada di Kabupaten Bandung didominasi perempuan. Dari tiga  pasangan calon kepala daerah, dua pasangan adalah perempuan  yaitu Nia-Usman, Yena-Atep, sedangkan yang laki-laki yaitu Dadang-Syahrul.

          Melajunya beberapa kandidat perempuan di kancah pilkada Kabupaten Bandung,  tak urung mengundang reaksi pengamat politik Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Asep Warlan.  Beliau bahkan meragukan posisi perempuan dalam jabatan tersebut. Menurutnya Kabupaten Bandung sangat mustahil dipimpin oleh seorang perempuan, karena Kabupaten Bandung memiliki luas wilayah dan kawasan industri yang  dapat menimbulkan polemik dan banyak tantangannya. Oleh karena itu laki-laki lebih pantas untuk duduk sebagai kepala daerah di Kabupaten Bandung. Bukan berarti perempuan tidak diperhitungkan, namun  tradisi di Kabupaten Bandung bahwa pemimpin di pegang oleh laki-laki. Tetapi bukanlah hal yang mustahil juga bahwa perempuan membuka peluang untuk menjadi kepala daerah pertama di kabupaten Bandung. Dalam kontestasi politik konsolidasi dan usaha untuk mencari dukungan, tidak akan menutup kemungkinan bahwa paslon perempuan di kabupaten Bandung bisa menang dan memimpin.

         Saat ini memang sedang trend banyak perempuan yang terjun ke dalam aktivitas politik. Beberapa paslon diusung partai besar diantaranya Golkar dan PDIP untuk maju ke ranah politik. Mereka mencalonkan dirinya dalam pilkada karena mereka merasa mampu , memiliki modal berupa kinerja yang tinggi, pendidikan yang memadai dan materi yang menunjang. Dorongan juga muncul dari arus kesetaraan gender dalam  sistem demokrasi kapitalisme saat ini yang semakin gencar. Kesetaraan gender bak angin segar yang menjadi penyemangat kaum hawa terjun ke dunia politik praktis. Ide kesetaraan gender mengampanyekan  bahwa kedudukan kaum perempuan  bisa sejajar dengan kaum laki-laki. Ini merupakan rayuan maut yang lahir dari paham feminis yang telah membutakan mata masyarakat terlebih kaum perempuan tentang paham tersebut. Padahal begitu jelas feminisme akan menimbulkan madharat baik dimasa sekarang maupun di kemudian hari. Pasalnya output pilkada akan melahirkan pejabat yang merupakan bagian dari pemerintahan, dimana perempuan rentan masuk area ini.  Perempuan dituntut bekerja keras yang menuntut mengorbankan waktu, tenaga dan fikiran dalam rangka  mengeluarkan kebijakan atau perundang-undangan.

           Paham ini jelas berbeda dengan Islam.  Islam sangat memuliakan dan menjaga kaum perempuan.  Peran utama perempuan yaitu sebagai manager rumah tangga sekaligus pendidik bagi generasinya dalam pembangunan peradaban. Selain itu perempuan wajib untuk berperan aktif di dalam kehidupan politik masyarakat yakni, menyeru kepada kebaikan dan mencegah kejahatan, dan mengawasi penguasa agar  bertanggung jawab atas amanah yang diembannya sebagai pemimpin.  Dalam Islam aktivitas perempuan secara umum tidak jauh berbeda dengan kaum laki-laki, namun ada aktivitas tertentu yang dimana wanita dibatasi, bahkan dilarang, salah satunya wilayah hukaam (penguasa).  Sebagaimana sabda Nabi saw:

“Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang urusannya diserahkan kepada   wanita.” (HR al-Bukhari).

Disamping itu  Islam sangat adil, Islam tetap memberikan ruang untuk mereka (perempuan) di ranah publik sesuai dengan syariah. Perempuan dibolehkan menduduki jabatan selama tidak termasuk  dalam kategori penguasa.  Perempuan bisa menjadi pegawai dan pimpinan swasta maupun kategori penguasa lembaga pemerintahan antara lain sebagai kepala baitulmal, anggota Majelis Wilayah, anggota Majelis Umat, hakim yang menyelesaikan perselisihan antar rakyat, hakim yang langsung menyelesaikan pengurangan atas hak-hak rakyat. Kebolehan ini juga berlaku pada jabatan kepala departemen kesehatan, departemen pendidikan, departemen perindustrian, departemen perdagangan; rektor perguruan tinggi, kepala rumah sakit, direktur perusahaan; dan lain-lain. Prinsipnya, semua posisi kepemimpinan di luar kategori penguasa bisa dijabat oleh perempuan.

      

              Dalam pandangan Islam laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk meraih kebaikan dalam peran yang dijalankan masing-masing. Hal ini ditegaskan Allah SWT dalam firman Nya: “……dan bagi orang laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi para perempuan pun ada bagian dari apa yang mereka usahakan.” (TQS An-Nisaa’ [4]:

            Dengan demikian hanya sistem Islam saja yang mampu menjaga kemuliaan perempuan.  Perempuan boleh berkiprah dalam kancah politik sesuai dengan tuntunan syariat bahkan bisa berkontribusi besar  dalam mewujudkan peradaban gemilang tanpa mengabaikan tugas utamanya sebagai ummu rabbatul bait dan pengemban risalah Rasul Saw.

Wallahu'alam bi-ash shawab

Post a Comment

Previous Post Next Post