Omnibus Law: Konflik Lahan dan Kerusakan Lingkungan


oleh: Alfita (Komunitas Annisaa Ganesha)

Dirilisnya Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja (UU OL-CK)  telah menuai banyak kritik dan kecaman dari rakyat Indonesia. Lebih dari dua pekan terjadi demonstrasi besar-besaran di ibukota negara dan di berbagai kota-kota besar yang didominasi oleh kaum buruh dan mahasiswa. Pasalnya dalam undang-undang ini terdapat banyak penyimpangan yang terjadi di berbagai aspek, selain terenggutnya hak-hak buruh dan pekerja, penyimpangan Omnibus Law ini juga terjadi pada aspek konflik pertanahan (agraria) dan kerusakan lingkungan.

Dilansir dari kompas.com (12/08/2020), Sekretaris Jenderal KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria), Dewi Sartika mengatakan UU OL-CK akan memperparah konflik agraria, ketimpangan, perampasan, dan pengurusan tanah masyarakat. Hal ini terkait dengan Pasal 121 UU OL-CK yang mengubah Pasal 8 dan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Dalam pasal ini terjadi penambahan dalam penguasaan pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN, dan BUMD atas kawasan industri minyak dan gas, kawasan ekonomi khusus, kawasan industri, dan kawasan pariwisata. Hal ini akan memudahkan proses alih fungsi lahan sesuai dengan kebutuhan investor. Karena selama ini, yang menjadi salah satu hambatan mereka untuk pengembangan industri adalah susahnya pembebasan lahan yang dimiliki oleh penduduk. Keberadaan undang-undang sapu jagat ini, akan membuat rakyat mudah kehilangan lahan pertanian, akibat keinginan penguasa untuk membuka luas investasi, tanpa mempertimbangkan kerugian dan hak masyarakat.

Dalam aspek lain, OL-CK akan meningkatkan atau mempercepat kerusakan lahan karena uji kelayakan industri terhadap lingkungan menjadi lebih longgar, serta peran pendapat masyarakat semakin berkurang. Hariadi Kartodihardjo, Guru Besar Kebijakan Kehutanan Institut Pertanian Bogor, mengatakan bahwa berdasarkan  data Kantor Staf Presiden, hingga 12 Juli 2019, jumlah konflik lahan yang terjadi didominasi 77% berada di area lahan kelapa sawit. Selain pelonggaran aspek AMDAL, Undang-undang ini juga memfasilitasi para perusak lingkungan dengan dihapusnya pasal-pasal terkait sanksi pidana untuk pelanggaran lingkungan.

Apa yang dilakukan penguasa dengan mengesahkan UU Omnibus Law ini semakin jelas menunjukan bahwa yang menjadi korban tidak hanya rakyat, tetapi juga lingkungan. Semata demi kepentingan para investor, para pemilik modal. Inilah wajah kapitalisme di negeri ini, membela habis-habisan kepentingan kaum atas (baca: pemilik uang), tanpa mempedulikan penderitaan rakyat yang berada di bawah.

Harapan mempunyai penguasa yang mengayomi dan melindungi masyarakat, hanya akan menjadi mimpi di siang bolong, selama sistem yang diterapkan bukan sistem yang diciptakan oleh Pencipta manusia, yaitu Islam. Hari ini, standar yang digunakan pemerintah dalam membuat kebijakan bukanlah dosa, pahala, surga, dan neraka. Tetapi, standar yang digunakan rezim saat ini adalah meraih untung sebesar-besarnya sebelum turun masa jabatannya. Naudzubillah...


Post a Comment

Previous Post Next Post