Ideologi Yang Kuat Akan memusnahkan Liberalisasi Ekonomi


Oleh : Yanti Mursidah Lubis 
(Ibu Rumah Tangga dan Aktivis Dakwah)

Menteri Perdagangan Republik Indonesia (Mendag RI) Agus Suparmanto menandatangani Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional atau Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) di Istana Bogor, Jawa Barat, Minggu (15/10/2020). Perjanjian kerja sama tersebut dilakukan sebagai puncak Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) RCEP ke empat yang menjadi bagian dari rangkaian KTT ASEAN ke-37. Agus mengatakan, penandatanganan RCEP merupakan pencapaian tersendiri bagi Indonesia di kancah perdagangan internasional.

Bagi negara-negara ASEAN, fakta tersebut membuka peluang besar untuk memulihkan ekonomi menyusul resesi panjang akibat pandemi corona. Sementara untuk Cina, perjanjian ini bisa menjadi mekanisme efektif untuk mendikte aktivitas perdagangan di Asia Pasifik, yang mengalami vakum setelah Presiden Donald Trump membatalkan keterlibatan AS dalam bui perjanjian dagang Kemitraan Trans-Pasifik (TPP). Sebab itu RCEP dinilai memberikan keunggulan bagi ambisi geopolitik Cina.

Terlebih lagi, negara-negara ASEAN mendapat iming-iming prioritas utama pembagian vaksin dari Cina. Hal ini menunjukkan bahwa proses penyelesaian konflik di Laut Cina Selatan semakin mengarah pada peta jalan damai yang digagas Beijing, yakni melalui kemitraan dagang. RCEP dianggap bisa membantu menyelamatkan ekonomi dengan lebih cepat.

Diantara 3 hal isi pidato yang disampaikan oleh Presiden mengenai sikap Indonersia terhadap perjanjian itu yakni:
Menyinggung soal stabilitas dan perdamaian di kawasan Indo-Pasifik yang menurut pandangannya belakangan ini diwarnai dengan ketidakpastian, termasuk rivalitas dan ketegangan di Laut Cina Selatan. Presiden berharap agar kemitraan antara ASEAN dan Cina ke depannya dapat mencapai lebih banyak kemajuan bersama melalui kerja sama yang terjalin kedua belah pihak.

Disini bisa kita lihat ternyata dibalik berbagai perjanjian selalu ada aktor yang memainkan peran yaitu negara maju. Perjanjian ini pun menjadi rejeki nomplok bagi Cina dalam memperkuat posisi china sebagai mitra ekonomi dengan asia.

Sikap Indonesia ini menunjukkan bahwa Indonesia dan negara-negara ASEAN memiliki posisi yang lemah di kawasan. ASEAN selalu terombang-ambing di antara dua kekuatan negara besar yaitu AS dan Cina. Padahal seharusnya ASEAN yang memiliki kekuatan ekonomi besar mampu menjadi kekuatan yang independen, tidak dihegemoni asing.

Jika ASEAN mau bersatu secara real maka akan terwujud kekuatan yang menggentarkan dunia, apalagi jika dipimpin oleh ideologi yang kuat. Indonesia bisa mengambil posisi sebagai pemimpin negara-negara ASEAN untuk mewujudkan kekuatan regional ini. Sayang sekali, kesempatan ini diabaikan oleh Indonesia.

Pasca meratifikasi kesepakatan dagang RCEP, Cina akan makin mudah menguasai ekonomi ASEAN. Liberalisasi ekonomi akan makin kuat karena adanya penghapusan hambatan perdagangan antar negara. Produk Cina akan makin menguasai pasar ASEAN.

Slogan “Cintailah Produk-produk Indonesia” hanya akan menjadi slogan kosong karena realitasnya pasar dibanjiri produk Made in China. Tinggalah pengusaha dalam negeri yang gigit jari karena menjadi tamu di negeri sendiri. 

Ini semua tak lepas dari sistem yang diterapkan di dunia ini, yaitu sistem Kapitalisme-Liberalisme yang hanya mementingkan  keuntungan dan keuntungan semata. Dan tidak ada solusi tuntas dari berbagai masalah yang ada di dunia ini kecuali dengan mengganti sistem negara dengan sistem Islam dibawah naungan Daulah Khilafah Islamiyah. 

Wallohu'alam bisshowab.

Post a Comment

Previous Post Next Post