UU Cipta Kerja: Sulut Aksi Mahasiswa

Sumber foto: https://nasional.tempo.co (11/10/2020)
Oleh: Sonia Soraya, S.Si., M.Pd
(Praktisi Pendidikan)
 
Babak baru nasib pekerja buruh di Indonesia dimulai. Sejak ditetapkannya Omnibus Law: UU Cipta Kerja. Sebenarnya RUU Omnibus Law: UU Cipta Kerja ini menuai banyak penolakan, baik dari elemen perguruan tinggi, ulama, mahasiswa maupun masyarakat,  termasuk juga dari sejumlah anggota DPR RI.  Namun rapat paripurna penetapan Omnibus Law: UU Cipta Kerja tetap dilaksanakan dengan hanya dihadiri 318 anggota DPR, selebihnya  257 orang anggota DPR RI mangkir. Celakanya  Omnibus Law: UU Cipta Kerja  tetap saja disahkan pada tanggal 5 Oktober 2020 (Tirto.id., 7 Oktober 2020). 
UU Cipta kerja ini sungguh merugikan bagi masyarakat maupun negara. Dan yang paling merasakan dampaknya saat ini adalah kaum buruh. Pesangon tanpa kepastian, perluasan status kontrak dan outsourcing, semakin mudahnya perusahaan melakukan PHK (Pemutusan Hubungan Kerja), penghapusan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dan upah sektoral (UMSK), serta aturan pengupahan berdasarkan jam kerja, peningkatan waktu kerja lembur yang dianggap sebagai bentuk eksploitasi pada pekerja, hingga hilangnya jaminan kesehatan dan pensiun, ketentuan cuti, dan sejumlah pasal lain yang mengabaikan hak pekerja, lingkungan hidup, dan partisipasi publik sebagai check and balance bagi pemerintah, mempermudah tenaga kerja asing termasuk buruh kasar untuk masuk dan bekerja merupakan klausul-klausul yang merugikan kepentingan buruh. Ditambah lagi penghapusan sanksi pidana bagi perusahaan yang melanggar aturan.
Aksi mahasiswa terkait omnibus law masih berlangsung hingga saat ini. Di Gresik Jawa Timur, aksi demo ini juga berbuntut pada pencidukan 3 mahasiswa yang membawa poster bertuliskan alat kelamin. Aksi demo ini di beberapa wilayah juga dibumbui dengan aksi perusakan dan pembakaran di sejumlah fasilitas umum termasuk 8 halte trans jakarta (cnbcindonesia.com, 8/10/2020). Tidak mengherankan jika pemerintah mengklaim mengetahui pihak-pihak yang mensponsori aksi demo tersebut. Sebagaimana disampaikan Airlangga Hartarto selaku Menteri Koordinator bidang Perekonomian  dalam wawancaranya dengan CNBC Indonesia TV (Finance detik.com, 8/10/2020). Mengingat aksi-aksi tersebut cederung anarkis dan kurang menjunjung tinggi nilai-nilai moralitas. 
Disisi lain, terdapat sejumlah ancaman dari beberapa perguruan tinggi maupun instansi pendidikan terkait bagi siswa atau mahasiswa yang terlibat dalam demo. Termasuk juga ancaman tertutupnya kesempatan kerja. Fakta ini jelas membungkam hak untuk berpendapat sekaligus memberangus posisi mahasiswa sebagai agen perubahan bangsa. Belum lagi tugas-tugas mahasiswa dan siswa yang menumpuk menjadikan mereka semakin kerdil potensinya untuk memikirkan masalah umat di negeri yang menerapkan sistem kapitalis ini. 
Demonstrasi sebagai salah satu bentuk aktifitas mengoreksi penguasa, sebenarnya tidak dilarang dalam Islam. Namun dalam pelaksanaannya harus dilakukan secara makruf dan tidak merusak. Disisi lain, fisik yang kuat, kemauan yang kuat, cita-cita tinggi dan potensi akal yang besar menjadikan pemuda memiliki potensi luar biasa untuk melakukan perubahan. Potensi pemuda yang luar biasa ini harus diarahkan untuk perjuangan menuju perubahan hakiki. Yaitu perubahan menuju kebangkitan Islam. Sosok pemuda kebanggaan Islam salah satunya adalah Sultan Muhammad al-Fatih. Seorang pemuda yang mampu menaklukkan konstantinopel Romawi Timur pada usia 25 tahun. Sebagai orang tua, Sultan Murad II mendidik putranya dengan sangat baik untuk dijadikan seorang pemimpin yang baik dan tangguh. Muhammad al-Fatih telah hafal Al-Quran 30 Juz, mempelajari hadits-hadits, ilmu fiqih, matematika, ilmu falaq dan strategi perang sejak kecil. Tidak mengherankan jika akhirnya dia menjadi sosok pemuda legendaris pembawa perubahan dalam koridor Akidah dan syariat Islam (news.detik.com, 19/12/2020). Wallahu A’lam Bis Showab.

Post a Comment

Previous Post Next Post