UU Cipta Kerja Mengancam Kelestarian Alam


Oleh: Diyani Aqorib S.Si
 (Anggota Revowriter Bekasi)


        Undang-undang (UU) Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker) telah resmi disahkan di rapat paripurna DPR pada hari Senin (5/10). Sejumlah pasal krusial menjadi sorotan. Pasal-pasal kontroversial tersebut terutama terkait masalah ketenagakerjaan. Namun, isu lingkungan hidup dalam aturan sapu jagat itupun tak kalah pelik. Alih-alih menjamin kelestarian alam, beberapa pasal justru bertolak belakang dengan hal tersebut dengan dalih menggenjot investasi. 

        Secara garis besar, UU Cipta Kerja menghapus, mengubah, dan menetapkan aturan baru terkait perizinan berusaha yang diatur dalam Undang-undang nomor 23 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

        Terkait pemberian izin lingkungan kini menjadi kewenangan pemerintah pusat. Hal ini tercantum dalam pasal 24 ayat 1 yang menyebutkan analisis mengenai dampak lingkungan atau Amdal menjadi dasar uji kelayakan lingkungan hidup oleh tim dari lembaga uji kelayakan pemerintah pusat.

        Menurut juru kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Hindun Mulaika, keberadaan amdal yang dilemahkan menjadi ancaman bagi kelestarian alam. Ditambah lagi proses perizinan tidak melibatkan peran atau partisipasi masyarakat. (katadata.co.id, Selasa (6/10)). 

        Pakar hukum lingkungan dari Universitas Gajah Mada (UGM) Totok Dwi Widiantoro menilai UU Cipta Kerja mengeksploitasi sumber daya negara, baik alam dan manusia. Koorporasi hanya diwajibkan memastikan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang, persetujuan lingkungan, persetujuan bangunan gedung dan sertifikat laik fungsi. Menurut Totok, izin lingkungan dan persetujuan lingkungan memiliki perspektif yang berbeda. Izin lingkungan umumnya lebih ketat dan dibuat sebagai dasar pengambilan keputusan dalam kegiatan berusaha. (www.cnnindonesia.com, 06/10/2020)

        Lingkungan merupakan bagian dari integritas kehidupan manusia. Sehingga harus dipandang sebagai salah satu komponen ekosistem yang memiliki nilai untuk dihormati, dihargai, dan tidak disakiti. Integritas ini menyebabkan setiap perilaku manusia dapat berpengaruh terhadap lingkungan disekitarnya.


        Konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dicetuskan oleh internasional pada konferensi pertama PBB dalam bidang Lingkungan Hidup di Stockholm pada tahun 1972. Hal ini dikarenakan adanya ketimpangan sosial dan lingkungan yang terjadi di dalam praktik pembangunan ekonomi (industrialisasi) secara global. Ketidakacuhan terhadap kondisi sosial, lingkungan, ketersediaan sumber daya alam di masa yang akan datang, menjadi isu krusial sehingga harus dirumuskan secara kolektif (bersama) untuk dapat menjadi acuan yang perlu ditaati dalam konsep pembangunan ekonomi suatu negara.

        Indonesia sendiri mulai menerapkan pembangunan berkelanjutan melalui diterapkannya UU No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup yang kemudian hari produknya sekarang dikenal sebagai AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan). Pembangunan berkelanjutan merupakan proses pembangunan yang berprinsip “ memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan kebutuhan generasi masa depan” (Laporan Brundtland, PBB, 1987).

        Di dalam Islam, konsep pembangunan berkelanjutan itu sendiri sebenarnya bukanlah barang yang baru. Jauh sebelum sadarnya masyarakat global terhadap isu sosial dan lingkungan dalam industrialisasi serta diadakannya konferensi pertama PBB dalam bidang Lingkungan Hidup, Alquran pada 1400 tahun yang lalu telah menyerukan kepada umat manusia untuk memanfaatkan kekayaan alam dan juga seruan untuk tidak berbuat kerusakan pada surah Al-Baqarah ayat 60 yang artinya;
"Dan ingatlah ketika Musa memohon air untuk kaumnya, lalu Kami berfirman: Pukullah batu itu dengan tongkatmu. Lalu memancarlah daripadanya dua belas mata air. Sungguh tiap-tiap suku telah mengetahui tempat minumnya (masing-masing). Makan dan minumlah dari rezeki (yang diberikan) Allah, dan janganlah kamu berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan."

        Pertama, ketika Allah menyuruh Musa untuk memukul batu dengan tongkatnya dan kemudian memancarkan air daripadanya, merupakan petunjuk bahwasannya kekayaan alam yang ada di bumi merupakan pemberian Allah SWT yang diturunkan kepada umat manusia untuk dimanfaatkan sebaik-baiknya dalam rangka memenuhi kebutuhannya. Air merupakan simbol dari kekayaan alam yang mana merupakan komponen terpenting dalam siklus kehidupan.

        Kedua, Allah telah membagikan rezeki kepada suku-suku tersebut secara adil diantara mereka agar tidak berseteru antara satu dan lainnya. Hal ini merupakan simbolis dari faktor sosial dalam menciptakan keseimbangan sosial. Kekayaan alam seharusnya dimanfaatkan untuk seluruh umat manusia. Bukan hanya untuk segelintir orang, yang mana kemudian bisa menciptakan kemudharatan bagi umat manusia lainnya.

        Ketiga, merupakan penegasan Allah SWT kepada manusia setelah diberikan karunia kekayaan alam, kemudian untuk menjaga lingkungan sekitar dan tidak membuat kerusakan di muka bumi.

Post a Comment

Previous Post Next Post