UU Cipta Kerja: Konflik Abadi Buruh dan Pengusaha


Kurnia Wardani 
Founder Komunitas Muslimah Peduli Generasi

 Gelombang unjuk rasa menolak disahkannya undang-undang cipta kerja masih terus berlangsung meski intensitasnya makin surut. Para pengunjuk rasa menilai UU Cipta Kerja sama sekali tidak berpihak pada buruh dan rakyat kecil. Dengan dalih menarik investasi masuk Indonesia, upah buruh makin ditekan dengan penghapusan upah minimum dan pembayarannya didasarkan pada satuan waktu (per jam. Selain itu, sanksi pidana bagi pengusaha yang membayar upah di bawah upah minimum dihilangkan, tidak ada denda bagi pengusaha yang terlambat membayar upah, pekerja yang di PHK karena mendapatkan surat peringatan ketiga tidak lagi mendapatkan pesangon, dan beberapa pasal kontroversial lainnya. Jika undang-undang ini tetap diberlakukan, maka jurang kemiskinan antara buruh dan para pemilik modal akan semakin menganga lebar.

Sebenarnya konflik antara buruh dan para kapital merupakan lagu lama yang selalu berulang karena demikianlah iramanya di dalam sistem ekonomi kapitalisme. Sejak kelahirannya di masa revolusi industri hingga detik ini, perseteruan buruh dan pengusaha telah menjadi konflik abadi. 

Konflik abadi antara pengusaha dan buruh ini menunjukkan kegagalan sistem ekonomi kapitalisme dalam menjamin kesejahteraan buruh. Tanpa adanya buruh, para kapital tidak akan mampu menggerakkan tuas-tuas kapitalnya dalam bidang usaha apa pun. Kondisi ini menjadikan buruh dipandang sebatas salah satu komponen produksi. Berbeda dengan mesin produksi yang merupakan benda mati, keberadaan buruh yang membutuhkan biaya hidup ini cukup menguras keuntungan yang seharusnya didapat para kapital. Oleh karena itu, para pemilik modal akan menekan semaksimal mungkin upah yang harus dikeluarkan untuk buruh.

Padahal buruh adalah jenis manusia yang sama dengan para pengusaha. Mereka memiliki kebutuhan dasar yang harus dipenuhi, punya istri, dan anak-anak yang harus dicukupi juga kebutuhannya. Tidak heran jika tuntutan pemberian upah layak selalu mereka suarakan. Sebaliknya, para pengusaha menutup mata dan telinga atas tuntutan buruh. 

Konflik abadi ini sebenarnya bisa diselesaikan jika saja penguasa hadir melerai dan mampu bersikap objektif dengan menelaah akar masalahnya. Fakta di lapangan tidaklah demikian karena negara telah menjelma menjadi korporatokrasi. Secara kasat mata kebijakan-kebijakan yang diambil lebih memihak perusahaan-perusahaan besar dari pada rakyatnya. Petinggi pemerintah ada untuk mengabdi pada kepentingan pengusaha korporasi, bukan lagi sebagaimana janji-janji terucap semasa kampanye bahwa mereka dipilih untuk rakyat. Akhirnya, rakyatlah yang menjadi korban. Mereka harus puas menjadi buruh dengan upah minim. 

Solusi atas Konflik Buruh dan Pengusaha
Problem antara buruh dan pengusaha ini tidak pernah terjadi dalam sejarah panjang lintasan peradaban Islam. Seluruh benih persengketaan buruh dan pengusaha tidak bisa tumbuh karena sistem Islam yang fixed. Bagaimana tidak fixed, jika sumber aturan yang digunakan berdasarkan teladan dari Rasulullah saw. 

Sistem ekonomi Islam memiliki dua aspek tatanan regulasi soal perburuhan. Pertama aspek mikro yang terkait dengan kontrak kerja antara buruh dan pengusaha. Di sini akan terjawab bahwa bukan semata kesepakatan besaran upah, tetapi juga masalah kepastian kerja (PHK) dan besaran pesangon. Penentuan upah buruh merupakan kesepakatan antara buruh dengan pengusaha. Patokannya adalah manfaat tenaga yang diberikan buruh pada perusahaan dan standar kelayakan hidup pada masa itu.

Kedua aspek makro meliputi hak setiap orang termasuk buruh untuk hidup sejahtera. Pemenuhan kebutuhan sandang, papan, dan pangan menjadi tanggung jawab individu baik dipenuhi langsung melalui ayah, wali, dan ahli waris. Sedangkan biaya kebutuhan pendidikan, layanan kesehatan, dan keamanan menjadi tanggung jawab negara untuk menyediakannya bagi setiap warga negaranya. Jadi, dalam sistem ekonomi Islam, negara mampu memerankan dirinya sebagai penanggung jawab terpenuhinya kesejahteraan rakyat. 
Dengan semua mekanisme ini, konflik antara buruh dan pengusaha tidak akan terjadi. Masing-masing pihak memerankan diri sesuai porsinya. Buruh akan semaksimal mungkin memberikan manfaat tenaganya bagi perusahaan. Pengusaha akan membayar sesuai kontrak kerja bahkan sebelum kering keringat buruh seperti dalam salah satu hadits. Sedangkan negara akan menyediakan SDM unggul dan memenuhi layangan publik dengan biaya murah bahkan gratis: kebutuhan pendidikan, kesehatan, dan transaportasi, dan sektor publik lainnya. Eksploitasi pengusaha atas tenaga buruh tidak akan pernah terjadi.

Post a Comment

Previous Post Next Post