UU Cipta Kerja Digugat, Suara Rakyat Kembali Tak Didengar


Oleh : Azizah Nur Hidayah
(Homeschooler dan Member Akademi Menulis Kreatif)

Pengesahan UU Omnibus Law Cipta Kerja menuai polemik publik. Berbagai aksi penolakan hingga hari ini masih memanas di berbagai daerah di Indonesia. Mulai dari serikat buruh, berbagai ormas dan organisasi, hingga para akademisi, bersama-sama menggugat UU Ciptaker yang diputuskan oleh pemerintah ini. Upaya melalui aksi jalanan (demo), menyebarkan opini umum berupa penolakan di media sosial, sampai pengajuan gugatan ke Mahkamah Konstitusi, semuanya dilakukan untuk menghentikan undang-undang mengerikan ini.

Koordinator Pusat Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI), Remy Hastian menyatakan, tujuan dari aksi yang dilakukan oleh para mahasiswa adalah guna mendesak Presiden Joko Widodo untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undangan (Perppu) untuk membatalkan Omnibus Law UU Cipta Kerja.

"Secara narasi, kita sepakat menolak dan mengusahakan alternatif lain seperti judicial review dan mendesak presiden untuk mengeluarkan perppu," kata Remy Hastian, Kamis (8/10/2020). (suara.com, 08/10/2020)

Kerasnya gelombang penolakan dari publik, nyatanya tak membuat pemerintah bergerak menangani dan menanggapi aspirasi masyarakat. Suara penolakan yang bergema di berbagai wilayah di Indonesia tak didengar. Aksi besar-besaran yang dilakukan berhari-hari seolah tak terlihat. Mengambil jalur hukum pun tak semudah membalikkan tangan bagi rakyat.

Indonesia menyatakan diri sebagai negeri demokrasi, dengan semboyan populernya, dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Tapi nyatanya, pemerintah demokrasi tak pernah melirik rakyat sedikit pun. Suara rakyat terbungkam, kesengsaraannya tak dilihat, lalu demokrasi hari ini berpihak pada rakyat yang mana? Apakah semboyannya tak berlaku bagi rakyat kecil? Jika demikian, rakyat mana yang berada di bawah keberpihakan demokrasi?

Suara yang didengar katanya suara dari mayoritas. Tapi hari ini, ketika mayoritas publik bersuara lantang, tak ada yang mendengar. Alih-alih suara mayoritas yang didengar dan diambil, faktanya suara orang-orang parlemen sajalah yang didengar. Keputusan bukan bergantung pada suara publik, melainkan suara dari wakil rakyat yang duduk di kursi-kursi parlemen. 

Wajar akhirnya jika suara rakyat hari ini tak didengar meski lantang bergema di penjuru bumi pertiwi. Sebab keputusan hukum dan berbagai kebijakan lain hanya akan diputuskan berdasarkan suara dari para penguasa. Tak heran bila hari ini dapat dirasakan, bagaimana kebijakan dan hukum-hukum yang berlaku hanya menguntungkan para penguasa. Sedang rakyat terus dirugikan dengan berbagai kebijakan yang ada.

Kian hari kian mencekik, rakyat benar-benar telah ditipu oleh demokrasi. Terabaikannya penderitaan rakyat oleh sistem demokrasi telah membuktikan ketidaklayakan demokrasi sebagai sistem pengatur kehidupan. Jika demokrasi dipertahankan, maka rakyat akan terus-menerus menderita dan dirugikan. Kehidupan rakyat akan sengsara selama demokrasi diterapkan sebagai sistem pengatur kehidupan. Suara rintihannya akan terus terpendam dan tak didengar.

Inilah yang terjadi ketika manusia diberi kewenangan dalam membuat dan memutuskan suatu hukum. Hukum yang dibuat disesuaikan dengan manfaat yang ingin diperolehnya. Demokrasi yang melahirkan oligarki menjadikan sekelompok orang tertentu memutuskan suatu hukum bagi orang banyak. Pemerintah demokrasi hanya akan memperhatikan keinginan kaum elite. Dimana merekalah yang mensukseskan para penguasa berada di kursinya hari ini. Sehingga wajar jika untuk kesekian kalinya rakyat menjadi korban. Sebab fokus pemerintah adalah para elite yang memuluskan jalan kekuasaannya.

Undang-undang dan hukum zalim yang hari ini diterapkan dalam sistem rusak demokrasi tidak akan ditemui dalam naungan sistem Islam. Di dalam Islam, kedaulatan berada di tangan Allah berupa hukum syara’. Segala keputusan hukum, penyaluran aspirasi hamba (rakyat), syara’lah yang menangani dan mengendalikannya. Koridor syara’ adalah patokannya, bukan hawa nafsu manusia. Sebab apa-apa yang datang dari hawa nafsu manusia dan mengabaikan hukum Allah, hanya akan membawa kesengsaraan, bukan kesejahteraan.

Juga, bila hawa nafsu manusia yang dijadikan patokan memutuskan suatu hukum, pasti keputusan tersebut hanya akan menguntungkan dirinya dan orang-orang yang sejalan dengan hawa nafsunya. Kebijakan yang akan diambil pun akan bersifat egois, mementingkan kepentingannya sendiri. Maka dari itu, hawa nafsu tidak diperbolehkan menjadi pengendali dan penentu atas sesuatu. Melainkan syari’at Allah sajalah yang wajib dijadikan dasar dalam beraktivitas dan menentukan suatu hukum.

Begitu pula dengan penyaluran aspirasi rakyat. Aspirasi yang dikemukakan akan dikendalikan dan dikontrol berdasarkan syara’. Dimana keta’atan kepada Allah dan ketundukan atas segala perintah dan larangan-Nya menjadi dasar pengendali aspirasi. Oleh karena itulah, dalam sistem Islam tidak diperkenankan untuk mengambil kebijakan berdasarkan suara segelintir orang atas dasar kepentingan pribadi. Tetapi kepentingan rakyatlah yang utama. Sebab, politik di dalam Islam merupakan pengurusan segala urusan dan kebutuhan rakyat.

Sistem Islam juga mewajibkan amar ma’ruf nahi munkar. Dimana satu sama lain saling mengajak pada kebaikan, dan mengingatkan ketika keburukan terjadi. 
Demikian juga dengan pemerintah dalam negara Islam. Rakyat melakukan aktivitas muhasabah atau mengoreksi pemerintah merupakan aktivitas yang wajib dan lazim dilakukan. 

Rakyat akan memantau penerapan hukum Islam oleh negara. Rakyat jugalah yang mengoreksi kebijakan-kebijakan dari penguasa apabila melanggar syari’at. Penguasa pun harus menerima muhasabah yang disuarakan oleh rakyat. Dengan demikian, tidak akan ada kezaliman dan pelanggaran hukum Allah yang dilakukan oleh penguasa atau pemerintah dalam Daulah Islam.

Dari sini jelas digambarkan, bagaimana hubungan rakyat dan penguasa di dalam Islam. Dimana aktivitas amar ma’ruf nahi munkar diterapkan. Aspirasi rakyat ditampung dan tersalurkan kepada pemerintah dengan baik. Sebab ada aktivitas muhasabah kebijakan pemerintah.

Terbukti, hanya sistem Islamlah yang mampu menampung dan menyalurkan aspirasi rakyat. Tak akan ada lagi suara rakyat yang terbungkam. Penderitaan rakyat atas kebijakan pemerintah yang tak nampak. Serta berbagai rintihan terpendam atas kesengsaraan hidup yang rakyat rasakan. Dengan ditegakkan dan diterapkannya seluruh hukum Islam dalam institusi negara, keadilan dan kesejahteraan rakyat dapat diraih atas izin Allah. InsyaAllah.

“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin?” (TQS. Al-Maidah [5]: 50).

Wallahu a'lam bishshsawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post