Undang-undang Omnibus Law Disahkan, Aspirasi Rakyat Dikesampingkan


Oleh : Apt. Justiani Sianna, S.Si
(Member WCWH dan Revowriter)

Sejak disahkannya undang-undang Omnibus Law pada Senin, tanggal 05 Oktober 2020 oleh DPR RI, di saat itu pula mengundang gelombang aksi penolakan. Para pengunjuk rasa berasal dari berbagai elemen masyarakat seperti para buruh, mahasiswa, pelajar serta organisasi keagamaan dan  hampir seluruh wilayah Indonesia. Bukan tanpa sebab, karena  undang-undang tersebut terkesan disahkan terburu-buru dan sangat merugikan  khususnya para buruh dan rakyat Indonesia pada umumnya.

Dikutip dari media CNN Indonesia,com, 07/10/2020. Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Fadli Zon menilai kepentingan pemerintah lebih mendominasi dibandingkan kepentingan rakyat di Omnibus Law Undang-undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) yang telah disahkan DPR.

Menurutnya, terdapat sejumlah isu yang mengusik rasa keadilan buruh, seperti skema pesangon kepada pekerja yang kena PHK, penghapusan upah minimum kabupaten (UMK) menjadi upah minimum propinsi (UMP), hingga soal hak istirahat panjang, uang penghargaan masa kerja, serta kesempatan untuk bekerja selama lima hari dalam seminggu yang dihapus.

Beberapa point tersebut diatas tentu sangat merugikan para buruh. Bukannya memberikan keuntungan dan kesejahteraan justru mengeksploitasi para buruh dalam dunia kerja. Bahkan dinilai hanya berpihak  pada pemodal dan oligarki. Sehingga wajar ketika masyarakat melaui kepala daerah meminta kepada penguasa untuk membatalkan atau menolak undang-undang Omnibuslaw

Dilansir dari  News.detik.com Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid (HNW) meminta Presiden Joko Widodo mendengarkan penolakan undang-undang (UU) Ciptaker dari sejumlah kalangan. Khususnya para kepala daerah yang meneruskan aspirasi warganya.


HNW menuturkan penolakan para kepala daerah dari beragam latar belakang partai politik tersebut menunjukan bahwa RUU Ciptaker ini ditolak oleh berbagai kalangan, bukan hanya dua fraksi di DPR RI saja.(10/10/2020).


Fakta diatas menunjukkan bahwa dalam sistem demokrasi jika rakyat mengadakan unjuk rasa, negara akan mengawal dan melindungi rakyat agar rakyat bisa berorasi menyampaikan pendapat ataupun opini dengan cara aman dan damai. Tapi yang dijumpai pada kondisi sekarang justru sebaliknya. Rakyat dianggap sebagai musuh negara yang tidak jarang memasang tembok tebal. Sehingga penguasa tidak bisa berdialog dengan rakyat yang berbeda pandangan politik dengan penguasa. 


Bukankah Negara berperan sebagai pemimpin yang mengayomi rakyat baik yang pro maupun yang kontra terhadap kebijakan penguasa. Karena seyogianya rakyat mempunyai kedudukan yang sama. Semua berhak mendapatkan perlakuan yang sama. Berhak atas perlakuan yang adil, berhak atas perlindungan dan berhak mendapatkan pengajaran tanpa terkecuali. 


Tak jarang jika dalam unjuk rasa selalu ada kerusuhan yang terjadi, hal ini berarti ada kegagalan bukan pada pengunjuk rasa tapi justru kegagalan ada pada negara. Bukankah pengunjuk rasa akan menyampaikan aspirasinya terkait kebijakan Negara yang mensahkan Undang-undang Omnibus Law yang dianggap menghianati dan merugikan rakyat. 


Karena sedari awal rancangannya sudah mendapatkan protes keras dari seluruh elemen masyarakat bukannya dihentikan justru  penyusunannya pun seolah dikebut dan disahkan oleh DPR RI sebagai wakil rakyat. Meskipun ada anggota DPR RI yang keberatan atas undang-undang tersebut, namun jika suara mayoritas menyetujui maka suara mayoritas inilah yang akan menjadi keputusan final meskipun dalam keputusan tersebut banyak merugikan rakyat.


Dalam sistem demokrasi sarat akan kepentingan  yang didasarkan pada aturan manusia, bukan pada aturan Sang Pencipta. Jadi wajar saja ketika Undang-undang Omnibus Law tetap disahkan.


Pemerintah seolah mengesampingkan aspirasi rakyat dengan dalih bahwa dengan adanya Undang-undang Omnibus Law ini akan menyelamatkan perekonomian rakyat dan menyiapkan lapangan perkerjaan untuk rakyat.  Pertanyaannya adalah rakyat yang mana yang dimaksud? Bukankah saat ini sudah banyak rakyat yang mengalami PHK massal yang dilakukan oleh pengusaha secara sepihak. 


Dalam sistem  demokrasi menjadi hal yang wajar bagi kapitalis jika turut andil dalam kekuasaan negara. Kekuasaan dalam demokrasi bisa diraih jika memiliki modal yang besar. Dari sinilah terjadi simbiosis mutualisme antara para kapitalis dan penguasa. Alhasil negara yang dihasilkan pun adalah negara korporatokrasi. Sehingga dominasi aturan bukan lagi pada negara tapi para pemodal besar. Dengan demikian keberpihakan negara pada rakyat sangat minim sehingga tak sedikit buruh merasa dizalimi.  Sistem ini sangat berbeda dengan sistem Islam yang sangat memuliakan dan mensejahterakan  buruh.



Sistem Islam Mensejahterahkan Buruh
Dalam sistem Islam yakni Khilafah akan melayani umat bukan melayani pemodal. Aturan yang diterapkan dalam negara berasal dari aturan syari’at  bukan aturan manusia. Semua aturan tentang kehidupan diatur didalamnya, termasuk masalah ketenagakerjaan.  Sehingga pengusaha (pemodal) tidak semena-mena terhadap buruh atau pekerja. 

Dalam Islam masalah ketenagakerjaan sepenuhnya diatur dalam akad kontrak kerja antara pengusaha (pemodal) dan pekerja. Dalam kontrak kerja pun antara pengusaha dan pekerja saling menguntungkan, tidak ada pihak yang menzalimi ataupun dizalimi. Pengusaha diuntungkan karena jasa para pekerja yang melaksanakan pekerjaan tertentu yang dibutuhkan pengusaha. Sebalikmya buruh atau pekerja  diuntungkan karena mendapatkan upah atau jasa dari pengusaha.

Kezaliman pengusaha terhadap pekerja adalah dengan tidak membayar upah pekerja dengan baik, memaksa pekerja bekerja diluar jam kerja yang disepakati, melalukan PHK secara sepihak termasuk tidak memberikan hak pekerja dalam menjalankan ibadah, hak untuk istrahat jika sakit.

Kezaliman pekerja terhadap pengusaha seperti tidak menunaikan pekerjaan sesuai dengan waktu yang ditentukan, merusak investasi atau asset milik pengusaha.

Khilafah menyediakan tenaga ahli dalam menyelesaikan perselisihan yang terjadi antara pekerja (buruh) dan pengusaha (pemodal) sehingga perselisihan antara kedua belah pihak dapat diselesaikan secara netral. 

Dengan demikian persoalan tentang UMK, outsorching, tunjangan kesejahteraan  ataupun masalah phk tidak semena-mena dilakukan oleh pengusaha terhadap para buruh. Oleh karena itu, perdebatan bisa dihindari sehingga tidak terjadi gelombang unjuk rasa seperti saat ini. Para buruh pun terhindar dari kezaliman yang bisa dilakukan oleh pengusaha ataupun investor baik yang berasal dari dalam negeri maupun investor asing.

Dalam khilafah kebutuhan publik seperti biaya sekolah/pendidikan, biaya kesehatan, biaya transportasi umum yang aman dan nyaman serta kebutuhan listrik akan dijamin oleh negara tanpa terkecuali baik muslim maupun nonmuslim. Alhasil apapun pekerjaan rakyat bisa terjamin dan terpenuhi kesejahteraannya.

Dalam sistem Islam terdapat sistem yang bisa mengoreksi atau memuhasabahi penguasa, jika rakyat menemukan peraturan yang menyimpang atau kegiatan-kegiatan yang menyimpang yang dilakukan oleh para pejabat negara. Mereka melakukan muhasabah kepada penguasa melalui majlis umat. Majelis umat dalam sistem Khilafah merupakan kaum muslim yang berasal dari kaum muslim sendiri baik laki-laki ataupun perempuan.

Majelis umat bertugas menjalankan amar ma’ruf nahi mungkar untuk mengoreksi pejabat pemerintahan.  Mereka akan menyampaikan pendapat, masukan, kritik dan saran yang berasal dari rakyat  untuk disampaikan kepada pejabat.

Selain kaum muslim, majelis umat diisi oleh kaum non muslim yang mewakili kaumnya dalam menyampaikan pendapat terkait buruknya penerapan syari’at Islam terhadap mereka serta kezaliman yang dilakukan pemerintah terhadap mereka. Namun, non muslim tidak diperbolehkan mengkritik terkait malasah syari’at karena syari’at islam hanya terpancar dari hukum Islam itu sendiri yang sifatnya praktis dan berasal dari dalil-dalil terperinci. 

Dalam sistem Khilafah terdapat Qadhi Madzalim yang bertugas untuk memeriksa kezaliman dalam bentuk apapun baik para pejabat pemerintahan, berkaitan penyimpangan khalifah terhadap hukum-hukum syari’at, berkaitan dengan komplain rakyat terhadap aturan administrasi yang berhubungan dengan kemaslahatan rakyat ataupun kontrol terhadap kezaliman yang lain yang dilakukan pemerintah. Sehingga, kontrol terhadap pemerintah benar-benar terjamin. 

Demikianlah Sistem Islam dalam mengatur masalah kehidupan tentang ketenagakerjaan yang akan mensejahterakan para buruh karena Negara akan menjaminnya segala pemenuhan kebutuhan. Berbanding terbalik dengan sistem sekuler kapitalis (demokrasi) yang hanya berpihak pada pemodal ataupun investor asing sehingga akan merugikan para buruh. Masihkah ingin bertahan dalam sistem yang kufur ini yang aturannya dibuat oleh manusia? Ataukah  berjuang menegakkan Sistem Islam yang akan menjamin seluruh kebutuhan hidup dan aturan memanusiakan manusia karena bersumber dari Sang Khalik?
Wallahu’alam bishshowab

Post a Comment

Previous Post Next Post