Radikalisme; Masalah Terbesar Generasi Millenial?

                                                                                     Foto oleh: indtimes.com
Oleh: Abida Wadiatun Ilahi
Tak keliru jika ada yang mengatakan hal tersebut seolah menjadi masalah terbesar bagi Negeri di tengah kondisi yang kian memburuk sebagai salah satu dampak dari pandemi Covid-19. Yup, Radikalisme. Bagaimana tidak, dalam kondisi tidak baik-baik saja nya negeri dari segala bidang, teringatlah kita akan penyampain seorang pejabat Negara ketika pengangkatannya yang terang membahas radikalisme. Selain itu, beberapa tahun terakhir hingga tahun-tahun ini pun gencar sosialisasi-sosialisasi atau forum-forum terbentuk demi membahas hal ini berikut tujuannya: deradikalisasi, katanya. Tak terkecuali NTB, bahkan salah satu kampus terbesar di sana berdasarkan penelitian Setara Institut tergololong 10 PTN di Indonesia yang terpapar radikalisme (8/3/19). Sebut saja awal tahun ini, pada februari 2020 Wapres K.H Ma’ruf Amin mlakukan kunjungan selama dua hari di NTB, dengan agenda pertama menuju Universitas Mataram memberi kuliah umum dengan tema “Penangkalan Radikalisme di Kalangan Mahasiswa”. Diperhatikan, rata-rata pembahasan orang-orang penting negeri ini adalah tentang itu-itu saja. Lalu benarkah radikalisme memang permasalahan terbesar negeri umumnya dan millenials khususnya?
  Yuk bahas lagi. Radikalisme akar katanya adalah radikal yang  berasal dari bahasa latin, radix yang berarti akar. Dalam KBBI, radikal diartikan beberapa hal; 1) Secara mendasar (sampai pada hal yang prinsip), 2) amat keras menuntut perubahan (Undang-undang, pemerintahan), 3) Maju dalam berpikir atau bertindak. Adapun radikalisme juga demikian; 1) Paham atau aliran yang radikal dalam politik, 2) paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan social dan politik dengan cara kekerasan, 3) Sikap ekstrem dalam aliran politik (KBBI Daring). Secara pemahaman bahasa, kata radikal pun radikalisme tidak diartikan sebagai sesuatu yang sepenuhnya negative. Namun, belakagan ini istilah tersebut sering diindikasikan pada sesuatu dan kelompok tertentu yang membuat orang-orang tidak jelas terkait makna dari radikalisme tersebut. 
     Pada kunjungan Wapres ke NTB Februari 2020, dalam kuliah umum yang sama beliau sempat menyampaikan radikalisme versi pemerintah, seseorang atau sekelompok tertentu yang memanfaatkan kekerasan untuk mencapai suatu tujuan (Lombok Post, 20/02/20). Fakta dilapangan menunjukkan hal yang tidak sinkron, banyak da’i yang menjadi korban dan distigma penyebar radikalisme, yang mana jelas bahwa para  da’i  itu yang disampaikan adalah Islam itu sendiri. Tidak juga menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan tertentu (berdakwah) bahkan seorang mualaf yang terkenal cerdas, lembut juga santun dalam penyampaiannya dilabeli teradikal posisi kedua. Jadi, ada sesuatu yang miss sebenarnya dalam hal  ini.
     Maraknya deradikalisasi yang katanya sebagai penanggulangan radikalisme ini sudah diupayakan dalam berbagai jenjang termasuk para Mahasiswa yang notabene millennial. Bagaimana tidak, jika pembahasan ini sudah menjadi pembicaraan orang-orang tinggi negeri jelas dianggap permasalahan yang utama bagi negeri. Otomatis bagi millennial juga, terlihat dari gencarnya kuliah-kuliah umum juga webinar yang temanya tidak jauh dari situ. Jika kita mencermati, permasalahan ini sebenarnya bukanlah yang utama bagi millennial. Versi indtimes (20/03/19) di antara masalah mereka adalah sulit mencari pekerjaan, konflik yang melibatkan SARA, kesenjangan social, dan banyaknya berita hoax. Lebih dari itu, pergaulan bebas juga menjadi persoalan mereka.
     Permasalahan-permasalahan tersebut tercipta karena  pada dasarnya negeri kita saat ini memang sedang tidak baik-baik saja, pandemi yang masih bertahta, hutang yang memang sudah ada sejak lama bahkan kian bertambah hingga sekarang, SDA negeri yang terkeruk Asing Aseng dan lain-lain. Ditambah sistem regulasi yang masih bertahan dengan yang ada. Kapitalistik. Sehingga permasalahan-permasalan millenials pun tidak terbendung untuk terjadi. Sistemik, mungkin adalah kata yang tepat menggambarkan permasalahan kita saat ini. Dengan aturan-aturan yang kapitalistik, yang sudah jelas terlihat lemahnya namun tetap seolah menjadi satu-satunya pilihan. Padahal alternative lain sudah tersedia dan sangat memunngkinkan. Bukan ia yang terkenang peristiwa G-30SPKI-nya tapi dia yang mahsyur sejahtera rakyat dibawah aturannya. Ber-abad-abad lamanya  memimpin peradaban dunia, yang aturannya langsung dari Dia Sang Maha. Toleransi berkembang pada batas-batasnya, hingga status Muslim-Nonmuslim tak jadi pembeda. Benarlah, sudah saatnya kita semua melirik pada salah satu alternative ini. Kajilah, buatkan forum-forum yang memungkinkan untuk mendiskusikannya demi kerahmatan bagi negeri bahkan seluruh alam.
       Begitulah, permasalahan saat ini demikian sistematis dan radikalisme bukan permasalahan terbesar. Jika memang ia, tidak kita lihat betul segala kekhawatiran yang banyak terjadi tentang radikalisme ini. Yang ada, kita melihat ulama-ulama dikorbankan dengan alasan ini. Wallaahu a’lam

Post a Comment

Previous Post Next Post