Omnibus Law Cipta Kerja Diributkan, Kenapa Tidak Mencoba Beralih pada Sistem Ekonomi Islam?


Oleh: Gemi Yaumaghda
 (Member Komunitas Revowriter)

Kemunculan Rancangan Undang-undang (RUU) Omnibus law cipta kerja hingga pengesahannya baru-baru ini selalu menuai protes dan keributan di kalangan masyarakat.

Kata omnibus  diambil dari bahasa latin yang berarti segalanya atau "for everything".  Bardasarkan Kamus Hukum Merriam-Webster, istilah omnibus law berasal dari omnibus bill, yaitu UU yang mencakup berbagai isu atau topik. Konsep ini pertama kali dibahas pada tahun 1840 di Amerika Serikat. Ada sekitar 9 negara lain yang menerapkan. Contohnya Inggris, Australia, Jerman, Turki, Filipina, Kamboja, Vietnam, Malaysia, dan Singapura. Implementasinya lebih mengarah pada tradisi Anglo-Saxon Common Law  yang merupakan produk pemikiran barat. 

Indonesia merasa perlu mengikuti konsep omnibus law  karena banyak menunjukkan keberhasilan dalam penerapannya di negara-negara tersebut. Banyaknya undang-undang yang mengatur selama ini dinilai mempersulit dan menghambat pertumbuhan ekonomi. Sehingga presiden Joko Widodo menginginkan konsep ini dijalankan.

Dalam hal ini Mahfud MD turut  meyakinkan bahwa konsep omnibus law cipta kerja  akan menggenjot pertumbuhan ekonomi (detik.com, 22/1/20). Lalu apakah konsep ini akan mampu menggenjot pertumbuhan ekonomi dan dapat menyejahterakan rakyat?

Pertumbuhan ekonomi memang sering menjadi perhatian yang besar dalam sistem ekonomi Kapitalis. Namun, justru sering mengabaikan aspek distribusi dan kesejahteraan rakyat. Kaberpihakannya begitu besar kepada para konglomerat. Sedangkan ekonomi kecil dan menengah dianggap akan sulit mencapainya.

Sistem ekonomi kapitalis tidak memperhatikan apakah pertumbuhan ekonomi yang dicapai itu real. Faktanya pertumbuhan ekonomi 85 persen ternyata ditopang oleh sektor non-real. Inilah penyebab ambruknya ekonomi negara. 

Padahal, persoalan ekonomi yang sebenarnya adalah rusaknya distribusi kekayaan di tengah-tengah masyarakat. Sehingga, menurut sistem ekonomi Islam, haruslah dengan cara memperbaiki distribusi kekayaan kepada masyarakat dengan tidak mengabaikan aspek produksi dan pertumbuhannya.

Sistem Kapitalisme hanya mengandalkan mekanisme pasar sebagai satu-satunya mekanisme distribusi kekayaan. Sehingga mengakibatkan kemunculan sekelompok kecil orang yang menguasai sebagian besar aset ekonomi. Hal ini justru membuat distribusi kekayaan menjadi buruk. Tak mampu memenuhi kebutuhan tiap-tiap orang.

Islam memang tidak mengharuskan persamaan dalam kepemilikan kekayaan, namun juga tidak membiarkan buruknya distribusi kekayaan. Islam memandang individu sebagai manusia yang harus dipenuhi kebutuhan-kebutuhan primer/dasarnya secara menyeluruh. 

Secara umum, sistem ekonomi Islam menetapkan dua mekanisme distribusi kekayaan:

1. Mekanisme pasar.

Mekanisme ini dihasilkan dari proses tukar-menukar dari para pemilik barang dan jasa. Allah SWT merangkannya dalam QS. An-Nisa ayat 29.

ÙŠَا Ø£َÙŠُّÙ‡َا الَّØ°ِÙŠْÙ†َ آمَÙ†ُÙˆْا Ù„َا تَØ£ْÙƒُÙ„ُÙˆْا Ø£َÙ…ْÙˆَالَÙƒُÙ…ْ بَÙŠْÙ†َÙƒُÙ…ْ بِالْبَاطِÙ„ِ Ø¥ِÙ„َّا Ø£َÙ†ْ تَÙƒُÙˆْÙ†َ تِجَارَØ©ً عَÙ†ْ تَرَاضٍ Ù…ِÙ†ْÙƒُÙ…ْ

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu."

Berbagai hukum mengatur mekanisme ini, tindakan-tindakan yang dapat mengakibatkan deviasi harga dan merugikan para pelaku jual-beli dilarang. Contohnya: penipuan, penimbunan barang, dan lain-lain.

2. Mekanisme Non Pasar

Mekanisme ini tidak dihasilkan dari transaksi pertukaran barang dan jasa. Mekanisme itu berupa aliran barang dan jasa dari satu pihak kepada pihak lain tanpa meminta timbal balik. Mekanisme ini dilakukan kepada orang-orang lemah, miskin dan kekurangan. Contohnya, zakat, infak, sedekah, pembagian harta waris, dan lain sebagainya. Bahkan negara pun melakukan mekanisme nonpasar ini berupa pemberian tanah kepada warganya. Jadi mekanisme pasar bukanlah satu-satunya mekanisme dalam distribusi kekayaan. Sehingga Islam menjamin terpenuhinya kebutuhan primer setiap warganya.

Negara sangat berperan dalam penataan distribusi kekayaaan dimulai dari penetapan hukum tentang kepemilikan.  Harta milik umum tidak boleh dimiliki oleh individu tertentu tapi boleh dimanfaatkan oleh setiap individu. Sehingga tidak mengakibatkan penumpukan kekayaan pada segelintir orang. Negara akan memastikan terpenuhinya seluruh kebutuhan dasar bagi rakyatnya dan tidak tinggal diam dalam  menciptakan lapangan pekerjaan. Hal ini berangkat dari hadis riwayat Bukhari dan Muslim, Rasulullah saw bersabda, “Imam/Khalifah adalah pemelihara urusan rakyat. Ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap urusan rakyatnya.”

Jika politik ekonomi Islam diterapkan dalam suatu negara secara konsisten, maka permasalahan mengenai lebarnya kesenjangan ekonomi antar individu rakyat dapat diatasi. Melalui penerapan hukum-hukum Islam dengan totalitas, permasalahan tersebut dapat diantisipasi sejak awal serta keadilan sosio-ekonomi dapat ditegakkan. Maka akan terwujud kesejahteraan rakyat yang didambakan.

Nyatalah bahwa hanya sistem ekonomi Islam yang mampu memberikan solusi bagi buruknya kesejahteraan masyarakat. Namun, keunggulannya hanya akan terealisasi secara sempurna jika diterapkan oleh Daulah Khilafah Islamiyah.

Wallahu a’lam bish shawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post