Nikah muda, Jadi Masalah?


By : Qisti Pristiwani
Mahasiswi UMN AW

Pernikahan di masa pandemi menjadi topik hangat dibicarakan. Pasalnya, pernikahan ini dilakukan oleh pasangan muda yang berusia dibawah umur menurut undang-undang. Sehingga, mengundang reaksi negatif dari berbagai pihak.  Sebagaimana dikutip dari Sumutpos.co, angka pernikahan usia dini terus meningkat selama masa pandemi Covid-19. Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), Arist Merdeka Sirait bahkan mengkritik Pengadilan Agama Medan atas kasus 30 pengajuan dispensasi usia menikah (menikah di bawah usia 19 tahun). Pengajuan itu harus ditolak (SUMUTPOS.CO 08/10/2020). Sudah tepatkah kritikan ini?

Menyaksikan kondisi muda mudi muslim hari ini tumbuh dan berkembang dalam buaian sistem kapitalis-liberalis, tak heran bila banyak yang terperosok pada jurang kemaksiatan. Sebab, kehidupan mereka dihiasi pernak-pernik sekuleris-liberalis yang menghilangkan jati diri mereka sebagai seorang muslim. Maka, perilaku yang terbentuk sudah pasti tak sesuai norma agama yang seharusnya menjadi tolak ukur perbuatan. Kebebasan pribadi dan berekspresi sah-sah saja diumbar pada khalayak umum dan menjadi konsumsi publik. Baik perempuan maupun laki-laki. Walhasil, terjadilah berbagai problematika generasi seperti hari ini ; pergaulan bebas, sex bebas, pacaran, hamil di luar nikah, aborsi, perceraian, pembunuhan pasangan dll. Mengapa ide sekuleris-liberalis ini begitu cepat merasuki kaula muda?

Penyebaran virus sekuleris-liberalis ini begitu cepat karena tak ada kontrol negara dalam menjaga generasi. Negara membiarkan penayangan film-film yang bernuansa syahwat ditayangkan pada televisi. Negara begitu mengapresiasi produksi per-film-an yang tak seharusnya dikonsumsi muda mudi negri, seperti dua garis biru, dilan, dari jendela SMP dan lainnya dengan dalih sebagai sex education. Padahal, isi dari tayangan tersebut malah mendidik generasi untuk mengikuti pergaulan menyimpang yang tentu kembali memunculkan masalah. Selain itu, tempat-tempat wisata dan hiburan juga bebas dimasuki pasangan non-mahrom. Tak ada aturan ketat yang diberlakukan. Hal ini mengakibatkan perzinahan terus meningkat di kalangan muda mudi. 

Disamping itu, pengaruh media sosial terhadap perilaku generasi juga tak kalah penting. Kurangnya pengawasan terhadap konten-konten media massa membuat siapa saja bisa mengakses apa saja, meng-upload apa saja termasuk pornografi dan pornoaksi. Terlebih lagi di masa pandemi ini, akses situs pornografi ini meningkat tajam. Inilah bentuk negara yang menjadikan asas kapitalis-liberalis sebagai sistem dalam mengatur sosialitas. Negara malah menjamin bahkan memfasilitasi kebebasan pribadi dan berekspresi tersebut. Apakah negara mendapat keuntungan? Jelas. Inilah asas dari kapitalisme-sekuleris yang sedang diterapkan. Selagi masih ada keuntungan materi bagi negara, maka siapapun boleh memproduksi apapun. Bagaimana mungkin generasi muda hari ini mampu membendung syahwat mereka sedang kehidupan mereka terus disuguhi tontonan pendorong syahwat tiap-tiap harinya?

Nikah dini dalam sistem kapitalis-sekuleris hari ini dipatokan bila menikah pada usia di bawah umur 19 tahun bagi perempuan dan laki-laki ( Revisi UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 bab II, pasal 7 ayat 1). Bila melanggar UU ini bisa dipidana. Alasan kekhawatiran secara umum bila pernikahan dini ini terjadi yakni, munculnya problem pada pasangan, seperti ketidaksiapan mental pasangan, merusak masa depan, terganggunya psikologi, psikis, fisik dan lainnya. Lantas, mengapa negara tak memberikan edukasi yang benar tentang pernikahan bagi generasi muda? Mengapa negara tak juga menjaga generasi dari hal-hal yang mendorong bangkitnya syahwat tersebut? Anehnya, negara malah melarang adanya pernikahan dini. Lalu, apa solusi yang diberikan negara untuk menuntaskan problema generasi muda hari ini?
  
Beginilah wujud sistem kapitalisme-liberalis dalam menyelesaikan persoalan. Tak menuntaskan problematika secara integral. Terlebih lagi tentang pernikahan ini. Negara mempersulit warganya menikah dengan menetapkan undang-undang, namun memberi solusi tak solutif sehingga persoalan yang ada bukan berkurang, tapi malah bertambah memunculkan problematika baru. Begitu seterusnya. Tentu hal ini tak akan menciptakan ketentraman hidup.

Hal ini akan berbeda bila sistem negara yang diterapkan adalah sistem Islam kaffah dibawah institusi Islam, Khilafah Islamiyyah. Islam sebagai agama yang sempurna dan paripurna mengatur tata kehidupan begitu rinci sedari bangun tidur hingga bangun negara. Tak terkecuali pernikahan. Pernikahan merupakan akad yang bernilai ibadah. Termasuk sunnah Rasulullah saw. Karenanya, Islam memandang bahwa tidak ada batas minimal usia pernikahan. Apabila seseorang telah berakal dan baligh, maka sudah memenuhi syarat sah menikah. Islam juga melarang seseorang membujang seumur hidup. Menikah lebih baik untuk menjaga diri dari pandangan dan hawa nafsu syahwat yang salah. Karena itu, Islam sangat menganjurkan untuk memudahkan pernikahan.

Negara khilafah tetap membekali ilmu bagi tiap-tiap warganya dengan memberikan pendidikan murah berkualitas, bahkan gratis untuk mencetak insan berkepribadian Islami dan ahli dalam sains dan teknologi. Hemat kata, generasi muslim ini mampu menyeleksi tiap-tiap perbuatannya berdasarakan halal-haram hukum Islam. Sehingga, tak perlu khawatir akan kesiapan mental, psikologi, psikis, fisik dan kekhawatiran lainnya bila seorang remaja menikah. Disamping itu, negara mengontrol penuh apa yang dikonsumsi khalayak umum berdasarkan hukum Islam. Contohnya, Islam melarang pemajangan gambar-gambar wanita atau apapun yang mampu membangkitkan syahwat. Tentu hal ini akan menjaga akal dan jiwa generasi. Wallahua’lam bisshowab.

Post a Comment

Previous Post Next Post