Nekat Sahkan UU Ciptaker Saat Pendemi, DPR Khianati Rakyat


Oleh: Rahmi Surainah, M.Pd, 
alumni Pascasarjana Unlam

Rapat Paripurna DPR RI yang digelar Senin (5/10) ini di Kompleks DPR secara resmi mengesahkan Omnibus Law Rancangan Undang Undang (RUU) Cipta Kerja menjadi Undang Undang. Sementara itu di depan Kompleks DPR aparat keamanan berjaga-jaga mengantisipasi demonstrasi elemen buruh dan masyarakat sipil. (Waspada.co.id,6/10/2020)

Pimpinan DPR dinilai sewenang-wenang. Hal ini diungkapkan Anggota Fraksi Partai Demokrat Benny K Harman. Menurutnya, pengambilan keputusan tingkat II pada RUU Cipta Kerja harus dilakukan dengan musyawarah mufakat. Namun masih ada dua fraksi yang menolak, yakni Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). (Seuramoeaceh.co, 6/10/2020)

Sepanjang pembahasannya RUU Ciptaker memang mendapat banyak penolakan dari masyarakat sipil. Namun, DPR sahkan RUU Ciptaker tanpa memperhatikan aspirasi penolakan publik. DPR dinilai khianati rakyat, nekat demi kepentingan kaum kapitalis, Investasi asing dan aseng.

Pengkhianatan DPR dan pemerintah secara sistematis memenangkan kaum kapitalis terjadi dalam sistem demokrasi yang katanya dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Buktinya aspirasi rakyat tidak di dengar. Demo penolakan pun terjadi di berbagai daerah meski sudah disahkan.

RUU Omnibus Law Ciptaker diharapkan akan meningkatkan perekonomian melalui kemudahan berinvestasi. Regulasi dipermudah agar menarik investor. Akhirnya, para investor akan lebih mudah "menjajah" SDM dan SDA Indonesia dengan mudah dan murah.

Disahkan UU Ciptaker yang tidak memihak rakyat akibat penerapan sistem kapitalisme yang berkutat pada keuntungan dan menghilangkan pengaturan Al-Khaliq. Inilah yang terjadi dalam negara demokrasi, UU dibuat manusia berdasarkan hawa nafsu dan kepentingan penguasa serta korporasi. 

Dalam sistem kapitalis semua dilaksanakan berdasarkan asas manfaat, termaksud dalam pengurusan ketenagakerjaan. Dalam sistem ini pengusaha dan penguasa senantiasa memberikan upah seminim-minimnya dan memaksimalkan tenaga semaksimalnya. Begitupun dengan pembagian waktu, sehingga tidak ada keseimbangan antara upah, tenaga, dan waktu yang diberikan perusahaan kepada pekerjanya. Sungguh ironis nasib para pekerja semua dieksploitasi akibat sistem demokrasi.

Hal ini tentu sangat berbeda dalam sistem Islam dalam Khilafah. Islam mampu menyelesaikan segala permasalahan baik itu persoalan buruh terkait kontrak kerja dan pengusaha maupun transaksi ijarah. Islam membolehkan seseorang untuk mengontrak tenaga atau jasa para pekerja atau buruh yang bekerja untuk dirinya. 

Transaksi ijarah harus berupa transaksi yang jelas, tanpa ada penyebutan waktu pada beberapa pekerjaan bisa menyebabkan ketidakjelasan. Jika pekerjaan tersebut sudah tidak jelas maka hukumnya tidak sah. Apabila transaksi ijarah dilakukan untuk jangka waktu satu bulan atau satu tahun maka tidak boleh salah satu dari kedua belah pihak membubarkannya, kecuali apabila waktunya telah habis.

Syariah Islam menganggap pekerja (ajir) adalah setiap orang yang bekerja dengan gaji (upah) tertentu, baik yang memperkerjakan (musta'jir)-nya pribadi, jamaah, maupun negara. Karena itu pekerja mencakup orang yang bekerja dalam bidang kerja apa pun yang ada dalam pemerintahan Islam, tanpa membedakan apakah pegawai negara maupun pekerja lain. 

Selain mengatur masalah waktu, Islam pun mengatur masalah upah. Upah dalam Islam disebut ujrah. Upah adalah hak pemenuhan yang harus dikeluarkan dan tidak boleh diabaikan oleh para majikan atau pihak yang memperkerjakan. Upah adalah bentuk kompensasi atas jasa yang telah diberikan tenaga kerja. Islam memberi aturan terhadap pengupahan tenaga kerja secara baik, yakni harus memenuhi prinsip adil dan mencukupi. Islam menentukan proses pemberian upah berasal dari dua faktor, objektik dan subjektif. Objektif adalah upah yang ditentukan melalui penilaian tingkat upah di pasar tenaga kerja. Sementara Subjektif, upah ditentukan melalui pertimbangan-pertimbangan sosial. Maksud pertimbangan-pertimbangan sosial adalah nilai-nilai pertimbangan tenaga kerja. 

Prinsip tersebut terangkum dalam hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan Imam Al-Baihaqi: "Berikanlah kepada pekerja sebelum kering keringatnya, dan beritahukan ketentuan gajinya, terhadap apa yang dikerjakan." 

Dengan diterapkannya sistem Islam dalam pengaturan urusan buruh dan tenaga kerja, maka bisa dipastikan tidak akan didapati perlakuan tidak adil, kebutuhannya pun tentu akan tercukupi. 

Sempurnanya Islam akan terwujud jika negara menerapkan Islam sebagai asas. Oleh karena itu, tidak cukup menolak UU Ciptaker. Tetapi tolak segala bentuk aturan manusia dan terapkan aturan Allah, yakni syariat Islam agar keberkahan dapat dirasakan oleh seluruh alam.
Wallahua'lam

Post a Comment

Previous Post Next Post