Karantina Wabah; Opsi Mustahil dalam Sistem Demokrasi

Apriliana Putri L. (Komunitas Annisaa Ganesha)

Pandemi di negeri ini sudah berjalan selama enam bulan dengan angka kasus yang terus meningkat. Berbagai kebijakan yang diambil pemerintah nampaknya belum mampu menurunkan angka kematian karena Covid-19. PSBB yang diklaim sebagai jurus paling bijak menghadapi pandemi nyatanya tidak memberikan hasil berarti. Program setengah jadi ini kemudian dilanjutkan dengan penerapan adaptasi kebiasaaan baru atau new normal life. Rakyat diminta berdamai dengan virus, dan roda perekonomian harus tetap dijalankan. Dampaknya, angka kasus di Indonesia melonjak signifikan. Hal ini diperparah dengan sikap abainya masyarakat terhadap protokol kesehatan. Terbukti sudah lebih dari delapan ribu orang meninggal dunia dengan penambahan angka mencapai seratus jiwa setiap harinya. Sejalan dengan jumlah kematian yang terus meningkat, penambahan jumlah kasus positif Covid-19 pun mencapai angka ribuan setiap harinya dengan kasus tertinggi berasal dari Jakarta. Sikap egois pemerintah ini akhirnya berujung pada ambruknya sistem kesehatan; rumah sakit overload, dan para tenaga medis terus-menerus berguguran. Menyikapi hal tersebut, Perhimpunan Dokter Paru Indonesia menyatakan bahwa kesehatan dan keselamatan masyarakat harusnya menjadi prioritas pemerintah. dengan bertambah dan tidak terkontrolnya sebaran kasus, maka pemerintah harus menyadari bahwa penanganan pandemi Covid-19 tidak optimal (Kompas.com).

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akhirnya berencana melarang pasien Covid-19 di Ibu Kota melakukan isolasi mandiri di rumah. Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza mengatakan Pemprov DKI sudah menyiapkan opsi, yakni isolasi di Gelanggang Olahraga (GOR) karena kapasitas rumah sakit rujukan Covid-19 di Jakarta sudah menipis. Target utama Pemprov DKI adalah menyasar pasien corona di kawasan padat penduduk. Sebab, klaster permukiman menjadi salah satu penyumbang pasien corona terbanyak (akurat.co). Dua epidemiolog dari Universitas Indonesia, Tri Yunis Miko Wahyono dan Pandu Riono, pernah melontarkan kritikan soal isolasi mandiri. Tri mengingatkan jumlah pasien positif Covid-19, tak terkecuali di Jakarta, bisa membeludak jika masih diterapkan isolasi mandiri (tempo.co). Namun, anggota DPRD DKI Fraksi PDIP Gilbert Simanjuntak mengecam kebijakan larangan isolasi mandiri tersebut. Menurutnya rencana Pemprov DKI ini merupakan langkah gegabah dan hanya menambah beban tenaga medis yang sudah selama enam bulan menjadi garda terdepan melawan Covid-19 (akurat.co).

Padahal secara logis inilah pilihan terbaik yang semestinya diambil sejak awal untuk menghentikan sebaran virus. Itulah yang terjadi apabila peraturan dibuat mengikuti hawa nafsu manusia. Aspek ilmu kesehatan dicampur-adukkan dengan kepentingan pribadi. Dasar kebijakan yang mengutamakan perekonomian menunjukkan materi lebih tinggi nilainya dari jiwa manusia.

Hal ini tentu berbeda dari sistem Islam. Islam mengharuskan karantina pembawa virus dan area tertentu yang menjadi sumber sebaran, sebagaimana ditegaskan Rasulullah, “Apabila kalian mendengar ada wabah di suatu tempat, maka janganlah memasuki tempat itu; Dan apabila terjadi wabah sedangkan kamu sedang berada di tempat itu, maka janganlah keluar darinya.” (HR Imam Muslim).

Konsep ini hanya akan bisa diterapkan secara benar oleh negara yang berfungsi sebagai pemelihara urusan rakyat dan pelindung dari segala keburukan. Dalam Islam, pemimpin memiliki tanggung jawab mengurus kebutuhan rakyat dan menjamin keperluan mereka. Islam memberikan layanan kesehatan gratis dan tentu menerapkan pola hidup bersih dan sehat sejak awal. Kebijakan karantina atau lockdown yang direkomendasikan Islam bukanlah lockdown total. Islam akan memetakan mana wilayah terdampak wabah dan mana yang tidak. Perlakuannya tentu berbeda dan kebijakan ini tentunya dijalankan bersamaan dengan screening (penyaringan) melalui tes dan pemeriksaan cepat yang akurat.


Post a Comment

Previous Post Next Post