Kontroversi Tanaman Ganja Sebagai Tanaman Obat Komoditas Binaan

Oleh : Yuchyil Firdausi, S.Farm., Apt (Apoteker dan Anggota Komunitas Penulis Nganjuk) 

Tanaman ganja (Cannabis sativa) menjadi kontroversi setelah Kementerian Pertanian ( Kementan) menetapkan ganja sebagai salah satu tanaman obat komoditas binaan. Keputusan tersebut tertuang di Keputusan Menteri Pertanian (Kepmentan) No 104/2020 tentang Komoditas Binaan Kementerian Pertanian (kompas.com/30/08/2020). 

Sebenarnya ini bukan hal yang baru, karena ganja sudah ada dalam daftar binaan seperti tertuang dalam Kepmentan No 51/2006. Pengaturan ganja sebagai kelompok komoditas tanaman obat, hanya bagi tanaman ganja yang ditanam untuk kepentingan pelayanan medis dan atau ilmu pengetahuan, dan secara legal oleh Undang-undang (UU) Narkotika (cnbcindonesia.com/30/08/2020). Pada prinsipnya kementerian memberikan izin usaha budidaya pada tanaman ganja sebagaimana dimaksud pada Kepmentan 104/2020. Namun dengan tetap memperhatikan ketentuan dalam Peraturan Perundang-undangan (kompas.com/30/08/2020). Sebab kontroversi tersebut maka Kementan mencabut sementara Keputusan Menteri Pertanian (Kepmentan) No 104/2020. 

Ganja adalah termasuk jenis Narkotika golongan I. Dalam UU Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika pasal 8 menyatakan bahwa Narkotika golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan. Lebih lanjut di pasal 9, dalam jumlah terbatas, narkotika golongan I dapat digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan untuk reagensia diagnostik, serta reagensia laboratorium setelah mendapatkan persetujuan Menteri atas rekomendasi Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.

Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan. Narkotika memberikan efek narkose atau membius. Narkotika golongan I tidak boleh sama sekali digunakan untuk kepentingan medis atau terapi apapun sebab potensi narkosenya paling kuat. Itu sebabnya ganja yang termasuk narkotika golongan I ini dilarang digunakan kecuali jumlah sangat terbatas hanya untuk penelitian. 

Lebih lanjut, Narkotika Golongan I dilarang diproduksi dan/atau digunakan dalam proses produksi, kecuali dalam jumlah yang sangat terbatas untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Maka dengan dimasukkannya ganja sebagai salah satu tanaman obat binaan Kementan jelas bertentangan dengan UU No 35/2009 tentang Narkotika. Sebab dalam Kepmentan No 105/2020 tersebut tanaman ganja diperbolehkan untuk dibudidayakan. Jika dibudidayakan maka sama saja dengan melegalkan produksinya dan produksi dari ganja sudah tentu akan meningkat. Dari sisi ekonomi, ini akan menjadi peluang bisnis besar bagi para pelaku mafia narkotika. Selama ini juga, para pelaku pengedar narkotika juga tergiur atas bisnis jual beli narkotika yang meraup untung besar. Di samping itu, tanpa budidaya saja keberadaan tanaman ganja sudah sering disalahgunakan. Apalagi jika nanti ganja tersebut dibudidayakan, bukankan akan semakin meningkatkan produksi nya? Bukankah nanti akan semakin banyak yang menggunakannya untuk disalahgunakan baik dari sisi kesenangan semata maupun enokomi? Sungguh bahaya jika tanaman ganja ini dibudidayakan. 

Dari sisi kesehatan, ganja yang digunakan tanpa disadari oleh indikasi medis dan tidak di bawah pengawasan dokter, dalam hal ini disalahgunakan untuk sebatas kesenangan akan memberikan dampak negatif pada organ dan juga kesehatan penggunanya, apalagi jika digunakan dalam waktu lama (dalam hal ini kecanduan). Mulai dari organ paru-paru, penggunaan ganja dapat meningkatkan risiko kanker paru-paru. Pada organ otak, penggunaan ganja menyebabkan gangguan pada kemampuan berpikir, kehilangan memori, dan menghambat fungsi otak. Selain itu efek ganja juga bisa menimbulkan halusinasi, delusi, rasa cemas dan serangan panik. Efek ganja juga bisa membuat sistem kekebalan tubuh melemah hingga dapat meningkatkan risiko terkena penyakit kekebalan tubuh yaitu HIV/AIDS. 

Dalam hal ini, seharusnya negara hadir untuk mencegah keburukan yang terjadi akibat penyalahgunaan ganja yang termasuk narkotika golongan I. Adanya Kepmentan No 104/2020 jelas bertentangan dengan UU nomor 35 tahun 2009. Seharusnya antar peraturan tidak boleh saling bertentangan, hingga menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat. Di sini menegaskan adanya ketidakmampuan sistem sekuler menghasilkan kebijakan yang mampu mewujudkan rasa aman sekaligus kemaslahatan fisik bagi masyarakat. 

Dalam islam, negara memiliki kewajiban untuk menjamin terwujudnya rasa aman, sehat dan kemaslahatan fisik bagi masyarakatnya. Negara wajib menegaskan bahwa barang atau benda haram tidak boleh dijadikan sebagai komoditas yang semata-mata hanya untuk diambil keuntungannya. Sebab, dalam islam kepemimpinan adalah sebuah amanah yang akan dipertanggungjawabkan di akhirat. Sehingga aktivitas negara harus berdasar atas keimanannya kepada Sang Pencipta. Standar dalam menentukan kebijakan adalah halal haram berdasar aturan dari Sang Pencipta kehidupan, bukan berdasar hawa nafsu apalagi berdasar keuntungan ekonomi semata. Oleh sebab itu, menjadi sebuah keharusan bagi para pemimpin, pejabat, dan atau pegawai negara untuk senantiasa mengikatkan dirinya dan aturan bernegaranya dengan aturan yang telah sempurna dari Allah SWT. Dan itu semua dapat terwujud jika aturan islam ditegakkan secara kaffah dalam seluruh aturan kehidupan. Wallahu'alam 
Previous Post Next Post