Fenomena Politik Oligarki Bikin Rakyat Merana


Oleh : Risnawati, S.TP
 (Pegiat Opini Kolaka)

Akhir-akhir ini ruang publik diramaikan dengan isu oligarki. Pemerintahan yang sedang menjalankan kekuasaan dituding menjalankan praktik oligarki terselubung. Pro kontra muncul tatkala Partai Gelora berbelok mendukung anggota keluarga Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming dan Bobby Nasution dalam Pilkada serentak 2020.

Dilansir dari Jakarta - Masih segar di ingatan saat Presiden Joko Widodo (Jokowi) mesra dengan Waketum Partai Gelora, Fahri Hamzah. Kini, kemesraan mereka bersambung ke urusan Pilkada. Pada Agustus 2020 lalu, Fahri menjadi salah satu penerima Bintang Mahaputera Nararya yang diserahkan langsung oleh Jokowi. Seperti diketahui, Fahri merupakan Wakil Ketua DPR 2014-2019.

Usai pembacaan penganugerahan, Jokowi dan Ma'ruf Amin menghampiri tokoh-tokoh tersebut untuk memberi selamat. Satu per satu tokoh dihampiri Jokowi dengan durasi interaksi sekitar 3 detik. Namun durasi interaksi Jokowi dengan Fahri lebih lama.

Saat memberi selamat ke Fahri, Jokowi tampak berbincang cukup lama dan suasana terlihat cair. Fahri dan Jokowi beberapa kali tertawa dan tersenyum ketika berbincang. Bahkan saat Jokowi memberikan keterangan pers, Fahri berdiri di sampingnya. Kemesraan mereka ini jadi sorotan karena sebelumnya Fahri dikenal kerap mengkritik Jokowi. Kini, hubungan mereka menarik perhatian lagi.

Penyebabnya adalah langkah Partai Gelora mendukung Gibran Rakabuming Raka di Pilkada Solo dan Bobby Nasution di Pilkada Medan. Seperti diketahui, Gibran adalah anak sulung Jokowi sementara Bobby menantu Jokowi.

Ketua Umum Partai Gelora Indonesia Anis Matta mengungkapkan alasan partainya mendukung menantu dan putra Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Pilkada serentak 2020 itu. Kata Anis, keputusan tersebut dilandasi dinamika politik di daerah masing-masing.

Demokrasi Subuhkan Oligarki
Kata oligarki berasal dari Bahasa Yunani “oligarkhia” bila dirunut ke akarnya ada dua kata yang menyusunnya yakni “ologon” yang berarti sedikit dan “arkho” yang memiliki arti memerintah. Oligarki kemudian didefinisikan sebagai bentuk pemerintahan yang kekuasaan politiknya dikendalikan oleh sekelompok elit kecil dari masyarakat, baik dibedakan menurut kekayaan, keluarga, atau militer.

Mekanisme pemilihan umum oleh rakyat dalam Negara demokrasi diharapkan bertindak sebagai senjata pamungkas untuk memutus mata rantai oligarki. Harapannya melalui pemilu, rakyat dari semua kalangan punya kesempatan sama menduduki posisi penting dalam pemerintahan. Sehingga pemerintahan diisi oleh orang dari berbagai latar belakang, situasi ini diharapkan mampu mencegah munculnya sekelompok elit kecil yang mengontrol kekuasaan. Sayangnya kondisi ideal tersebut tidak seindah dengan kenyataan dalam sistem demokrasi. Faktanya kita lupa memperhitungkan bahwa untuk ikut dalam perhelatan pemilu, khususnya pemilihan langsung dalam konteks Indonesia, membutuhkan biaya yang amat besar. Pada posisi ini kekuatan uang memainkan peran penting. Rata-rata yang tampil sebagai pemenang dalam kontestasi pemilihan langsung adalah mereka yang punya kekuatan uang yang besar. Yang tidak punya uang banyak, walaupun memiliki kompetensi, akhirnya terpental dari ring pemilihan langsung.

Diakui atau tidak, situasi ini membuka ruang bagi munculnya oligarki terselubung. Kekuasaan dikendalikan oleh mereka yang memiliki kekuatan uang yang besar. Sebab hanya mereka yang bisa masuk ke dalam gelanggang pemerintahan yang dihasilkan lewat sistem pemilu. Dengan demikian oligarki dimaknai sebagai kekuasaan politik yang dipegang oleh sekelompok elit kecil dari masyarakat. 

Dalam demokrasi, patronasi biasa terjadi, sekalipun sistem ini sering diklaim sebagai sistem politik yang menonjolkan kesetaraan pada siapa pun. Mitosnya, masyarakat diberikan hak memenangkan kontestasi sebagai penguasa atau penentu kebijakan. Namun realitasnya, kesempatan untuk mengecap kekuasaan hanya diberikan pada person yang memiliki akses dan peluang besar untuk meraih posisi itu. Karena itu, sistem demokrasi yang diterapkan hanyalah menumbuhsuburkan dinasti politik yang berkuasa.

Lantas masih layakkah kita percaya bahwa demokrasi akan membawa perubahan hakiki bagi negeri? Realitas menunjukkan dengan jelas adanya hipokrisi demokrasi, dimana standar ganda dan bermuka dua tak kan pernah sirna. Bila demikian, masihkah kita percaya dan menaruh harap pada demokrasi?

Penerapan Kepemimpinan Islam
Diriwayatkan dari Aisyah : Aku mendengar Rasulullah saw bersabda : Ya Allah, barangsiapa memimpin umatku, lalu ia menyusahkan mereka, maka susahkan dia. Barangsiapa memimpin umatku lalu dia bersikapmlemah lembut terhadap mereka, maka bersikaplah lemah lembut terhadapnya. (HR Muslim). 

Pemimpin yang tidak akan terjerumus dalam sekularisme demokrasi hanya terwujud dalam pemerintahan Khilafah, yakni satu-satunya sistem yang mampu menerapkan Islam kaaffah. Karena berdasarkan syariat Islam, maka semua proses dan mekanisme pemerintahan akan selamat, termasuk mekanisme pemilihan pemimpinnya. Dengan menerapkan model pemilihan pemimpin berdasar syariat Islam, pasti terjamin akuntabilitasnya. Terbebas dari kekisruhan dan kecurangan sebagaimana yang terjadi di jagad demokrasi. Kondisi tersebut bisa terjadi karena ketakwaan menjadi pilar penting dalam negara. Amar ma’ruf nahi munkar juga melekat pada semua warga negara sebagai kontrol sosial atas semua tindak kecurangan terhadap hukum Allah. Demikian pula pengukuran kapabilitas seseorang pantas menjadi Khalifah atau tidak, jelas tergantung pada kesesuaiannya dengan hukum syariat. Karena itu mekanisme pemilihan hingga pemecatan Khalifah pun ditentukan hukum syara’.

Dengan meneliti tata cara pembaiatan para Khalifah radhiyaLlâh ‘anhum, disimpulkan bahwa proses penetapan calon harus memenuhi syarat in’iqad yakni laki-laki, Muslim, baligh, berakal, adil, merdeka dan mampu. Kemudian diambil pendapat dari representasi umat, tidak mesti dipilih langsung oleh rakyat karena pengangkatan Khalifah hukumnya fardhu kifayah. Jika kemudian ditetapkan Majelis Umat yang akan memilih dan mengangkatnya, maka kifayah ini pun terpenuhi. Sehingga Khalifah bisa dibai’at dengan bai’at in’iqad. Setelah itu, baru seluruh rakyat wajib membaiatnya dengan bai’at tha’ah. Pada saat itu, rakyat telah menyerahkan pengurusan semua hajatnya kepada Khalifah. Demikianlah terwujud Khalifah dan ia menjadi wakil umat dalam menjalankan pemerintahan dan kekuasaan.

Masalah baiat itu telah tercantum dalam salah satu hadits, “Kami telah membaiat Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam untuk senantiasa mendengar dan mentaatinya, baik dalam keadaan yang kami senangi maupun yang tidak kami senangi dan agar kami tidak akan merebut kekuasaan dari orang yang berhak dan agar kami senantiasa mengerjakan atau mengatakan yang haq di mana saja kami berada tidak takut karena Allah kepada celaan orang-orang yang suka mencela.” (HR. Bukhari)

Baiat kaum Muslim kepada Rasul shallallahu’alaihi wa sallam, sesungguhnya bukanlah baiat atas kenabian, melainkan baiat atas pemerintahan. Beliau dibaiat tidak lain dalam kapasitas sebagai penguasa, bukan dalam kapasitas sebagai nabi dan rasul. Sebab pengakuan atas kenabian dan kerasulan adalah masalah iman, bukan baiat.

Sebagai pengganti Rasulullah dalam pemerintahan, Khalifah membutuhkan baiat sebagai peneguhan kepemimpinannya. Khilafah dipilih oleh rakyat tetapi tidak bisa di pecat oleh rakyat, karena pemberhentian Khalifah dilakukan oleh Mahkamah Madzalim disebabkan pelanggaran hukum syara, sebagaimana hadits Rasululullah shallallahu’alaihi wa sallam, “Siapa saja yang melepaskan tangan dari ketaatan, ia pasti menjumpai Allah pada hari kiamat tanpa memiliki hujjah.” (HR. Muslim)

Karena itu dalam sistem Khilafah, tidak diperlukan pemilu berkala yang membuang energi, biaya dan waktu. Selama seorang Khalifah masih terjaga dari pelanggaran hukum syari’at, adil dalam memutuskan, penetapan dalam melaksanakan tugas kenegaraan dan tidak keluar dari syarat-syarat pengangkatannya, maka Khalifah masih boleh memegang jabatannya tanpa ada pembatasan waktu. Sekalipun Khalifah memerintah karena mandat rakyat melalui bai’at in’iqad, namun pertanggungjawaban Khalifah bukan pada rakyat, tetapi pada Allah ta’ala. Sebab, akad antara rakyat dengan Khalifah bukanlah akad ijarah, melainkan akad untuk memerintah rakyat dengan hukum Allah. Wallahu a’lam.

Post a Comment

Previous Post Next Post