RUU Cipta Kerja, Ciptakan Perbudakan Modern

Oleh : Dian ELiasari, S.KM. 
(Penulis dan Member Akademi Menulis Kreatif)

Omnibus law merupakan Undang-Undang (UU) baru yang memuat beragam substansi aturan yang keberadaannya mengamandemen (merevisi) beberapa UU sekaligus. Istilah omnibus law disebut Presiden Indonesia Joko Widodo (Jokowi) dalam pidato pertamanya setelah dilantik menjadi presiden untuk kedua kalinya pada Oktober 2019 silam.

Jokowi menyebutkan bahwa omnibus law akan menyederhanakan kendala regulasi yang kerap berbelit-belit dan panjang. Pemerintah juga meyakini omnibus law akan memperbaiki ekosistem investasi dan daya saing Indonesia sehingga bisa memperkuat perekonomian nasional. Omnibus law yang akan dibuat Pemerintah Indonesia, terdiri dari dua Undang-Undang (UU) besar, yakni UU Cipta Lapangan Kerja dan UU Perpajakan. 

Kalangan pengusaha berharap agar Omnibus law segera disahkan. Mereka berpendapat bahwa Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker) berpotensi membawa angin segar bagi iklim investasi dan berpotensi membuka lapangan kerja. (republika.co.id, 12/07/2020)

Ketua Komite Tenaga Kerja dan Jaminan Sosial untuk Upah Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Aloysius Budi Santoso mengatakan, pandemi covid-19 telah membawa dampak besar bagi perekonomian Indonesia. Karena itu dibutuhkan investasi yang cukup besar guna mendongkrak perekonomian Indonesia pascapandemi.

Sementara itu, anggota Komisi I DPR Willy Aditya dalam diskusi virtual Crosscheck Medcom.id bertajuk ‘Percepatan Digitalisasi Penyiaran,’ Minggu, 12 Juli 2020 mengatakan bahwa Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker) ditargetkan rampung pada masa sidang mendatang (Agustus 2020). UU sapu jagat itu diyakini membawa kemaslahatan termasuk di bidang penyiaran. (medcom.id, 12/07/2020)

Menciptakan Perbudakan Modern.

Meskipun revisi Omnibus law RUU Cipta Kerja ini terkesan dipaksakan untuk segera disahkan, namun masih banyak penolakan dari serikat pekerja. Ratusan buruh menggelar aksi unjuk rasa menentang omnibus law di Jakarta, Senin (20/1/2020). Dalam aksinya mereka menolak omnibus law yang dinilai hanya menguntungkan pengusaha dan investor serta merugikan pekerja di Indonesia.

Sejumlah pasal yang berkaitan kesejahteraan buruh yang selama ini dijamin UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan akan dikurangi atau dihapus. Diantaranya, menghapus upah minimum yaitu UMK dan UMSK, memberlakukan upah per jam di bawah upah minimum, mengurangi nilai pesangon, penggunaan buruh outsourcing dan buruh kontrak seumur hidup untuk semua jenis pekerjaan, waktu kerja yang eksploitatif, menghapus cuti, dan menghapus hak upah saat cuti. 

RUU Cipta Kerja juga memberi kemudahan masuknya Tenaga Kerja Asing (TKA) buruh kasar di Indonesia, mereduksi jaminan sosial, mudahnya PHK sewenang-wenang tanpa izin pengadilan perburuhan, hilangnya beberapa sanksi pidana untuk pengusaha, serta berupaya menghilangkan fungsi legislasi DPR dalam melakukan pengawasan.

Ini juga yang menyebabkan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menyatakan keluar dan mengundurkan diri dari tim teknis yang membahas omnibus law RUU Cipta Kerja Klaster Ketenagakerjaan. Menurut Presiden KSPI Said Iqbal, pemerintah yang diwakili Kementrian Ketenagakerjaan (Kemenaker) hanya sekedar ingin memenuhi unsur prosedur saja. Bahwa mereka telah mengundang pekerja masuk dalam tim namun tidak menyelesaikan substansi materi RUU Omnibus law yang ditolak buruh tersebut. Mereka tidak ingin masuk di dalam tim yang hanya sekedar menampung masukan saja tanpa keputusan dan hanya sebagai alat legitimasi dan menjadi tukang stempel terhadap pengesahan RUU Cipta Kerja. (Republika.co.id, 13/07/2020)

Dilansir oleh Kompas.com (6/3/2020), Sekjen Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Sindikasi) Ikhsan Raharjo menilai, keberadaan omnibus law RUU Cipta Kerja justru akan menarik Indonesia kembali ke zaman kolonial Hindia Belanda. Ia menyamakan RUU Cipta Kerja dengan aturan Koeli Ordonantie yang dikeluarkan pemerintah Hindia Belanda. Aturan tersebut memberikan jaminan kepada majikan terhadap pekerjanya jika terjadi masalah dan memberikan jaminan kepada pemilik perkebunan akan tenaga kerja yang murah dan dengan perlindungan yang minim. Oleh karena itu menurut Ikhsan, pasal-pasal terkait ketenagakerjaan di RUU Cipta Kerja akan menciptakan perbudakan modern.

Melalui kebijakan ‘sapu jagat’ Omnibus law, sangat terasa sistem kapitalisme yang diterapkan di Indonesia. Negara sebagai ra’in (periayah) seharusnya bertanggung jawab penuh dan mengutamakan kesejahteraan rakyatnya, termasuk tenaga kerja. Namun sistem kapitalisme meminimalisir peran tersebut sehingga negara lepas tangan terhadap tanggung jawabnya dan lebih mengutamakan kepentingan para pemilik modal (kapitalis). 

Ditambah dengan sistem demokrasi yang memberi wewenang penuh kepada manusia untuk membuat hukum sesuai kepentingan penguasa. Tidak heran jika banyak peraturan-peraturan  baru yang dikeluarkan oleh pemeritah justru ditunggangi oleh kepentingan para kapitalis. Sedangkan rakyat hanya dijadikan sebagai alat untuk memenuhi tujuan tersebut.

Fakta ini semestinya bisa menyadarkan umat Islam bahwa kaum pekerja dan umat ini sangat membutuhkan aturan Islam terkait riayah ketenagakerjaan yang mampu mengeliminir terjadinya konflik antara pekerja dan pengusaha serta memberi solusi paripurna atas problem ketenagakerjaan.

Kehadiran Islam telah menghapus sistem perbudakan yang sudah mendarah daging sebelum diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Islam telah memberi perspektif mengenai ketenagakerjaan, agar hak dan kewajiban antara pengusaha dan tenaga kerja bisa terpenuhi dengan baik. Kondisi ini tentu saja memerlukan peran negara secara maksimal. Ada empat prinsip Islam untuk memuliakan hak-hak pekerja :

Pertama, kemerdekaan manusia. Ajaran Islam yang mengatur penghapusan perbudakan menyiratkan pesan bahwa pada hakikatnya manusia ialah makhluk merdeka dan berhak menentukan kehidupannya sendiri tanpa kendali orang lain. Penghormatan atas independensi manusia, baik sebagai pekerja maupun berpredikat apapun, menunjukkan bahwa ajaran Islam mengutuk keras praktik jual-beli tenaga kerja. Ini direpresentasikan dengan aktivitas kesalehan sosial Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dengan tegas mendeklarasikan sikap antiperbudakan untuk membangun tata kehidupan masyarakat yang toleran dan berkeadilan. 

Kedua, prinsip kemuliaan derajat manusia. Islam menempatkan setiap manusia, apa pun jenis profesinya, dalam posisi yang mulia dan terhormat. Hal itu disebabkan Islam sangat mencintai umat Muslim yang gigih bekerja untuk kehidupannya. Islam juga sangat memuliakan nilai kemanusiaan setiap insan serta menganjurkan umat manusia agar menanggalkan segala bentuk stereotype atas berbagai profesi atau pekerjaan manusia. Allah menegaskan dalam QS. al-Jumu’ah: 10, yang artinya, “Apabila telah ditunaikan sholat, maka bertebaranlah kalian di muka bumi, dan carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kalian beruntung.” Ayat ini diperkuat hadis yang diriwayatkan Imam al-Baihaqi: “Tidaklah seorang di antara kamu makan suatu makanan lebih baik daripada memakan dari hasil keringatnya sendiri.”

Ketiga, keadilan dan anti-diskriminasi. Dalam sistem perbudakan, seorang pekerja  atau budak dipandang sebagai kelas kedua di bawah majikannya dan diperlakukan semena-mena oleh majikannya. Islam tidak mengenal sistem kelas atau kasta di masyarakat, begitu juga berlaku dalam memandang dunia ketenagakerjaan. Islam mengajarkan umatnya agar selalu menghargai orang yang bekerja.

Dalam sejarahnya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memiliki budak dan pembantu. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperlakukan para budak dan pembantunya dengan adil dan penuh penghormatan. Beliau pernah mempunyai pembantu seorang Yahudi yang melayani keperluan beliau, namun beliau tidak pernah memaksakan agama kepadanya. Isteri beliau, Aisyah Radhiyallahu anha, juga memiliki pembantu yang bernama Barirah yang diperlakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan isterinya dengan lemah lembut dan tanpa kekerasan.

Keempat, kelayakan upah pekerja. Upah atau gaji adalah hak pemenuhan ekonomi bagi pekerja yang menjadi kewajiban dan tidak boleh diabaikan oleh para majikan atau pihak yang mempekerjakan. Islam memberi pedoman kepada para pihak yang mempekerjakan orang lain bahwa prinsip pemberian upah harus mencakup dua hal, yaitu adil dan mencukupi.

Prinsip tersebut terangkum dalam sebuah hadis Nabi yang diriwayatkan Imam al-Baihaqi, “Berikanlah gaji kepada pekerja sebelum kering keringatnya, dan beritahukan ketentuan gajinya, terhadap apa yang dikerjakan.”

Di masa sekarang, prinsip upah tersebut dibahasakan dengan sistem UMR (Upah Minimum Regional). Lebih dari itu, Islam juga mengajarkan agar pihak yang mempekerjakan orang lain mengindahkan akad atau kesepakatan mengenai sistem kerja dan sistem pengupahan, antara majikan dengan pekerja. Jika adil dimaknai sebagai kejelasan serta proporsionalitas, maka kelayakan berbicara besaran upah yang diterima haruslah cukup dari segi kebutuhan pokok manusia, yaitu pangan, sandang serta papan.

Umat saat ini sesungguhnya sangat menginginkan kehidupan yang tenang dan tercukupi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Termasuk dalam bidang ketenagakerjaan. Kehidupan seperti ini hanya akan kita jumpai ketika hukum Islam diterapkan dalam semua bidang kehidupan, yang akan menjamin hak-hak setiap manusia. Bukan dengan ilusi manis RUU Cipta Kerja yang justru mengantarkan pada perbudakan modern.

Wallahu alam bishawab
Previous Post Next Post