Pseudo Kemerdekaan vs Merdeka Hakiki

Oleh: Azizah, S.PdI*

Sejak zaman dulu hingga sekarang bangsa-bangsa di dunia sangat tertarik untuk menguasai Indonesia. Pasalnya Indonesia secara geo ekonomi dan geo politik sangat strategis. Indonesia punya tanah yang subur, laut yang luas, dan kekayaan alam berlimpah, seperti minyak bumi, gas alam, emas, uranium, tembaga, dan sebagainya. Sementara bangsa-bangsa Eropa tidak memilikinya.

Karena itu ‘wajar’ jika Portugis, Spanyol, dan Inggris menjajah Indonesia. Tak terkecuali bangsa Belanda yang hampir 340 tahun menguasai Indonesia. Masa penjajahan Belanda jika dicermati terbagi menjadi dua periode. Pertama tahun 1602-1799. Saat itu Indonesia di bawah persekutuan dagang Belanda, yang dibentuk tahun 1602 sebagai hasil penyatuan beberapa serikat dagang di Belanda (VOC). Kedua, tahun 1800-1942. Pada masa ini penjajahan diambil alih langsung oleh pemerintahan kolonial Hindia-Belanda, setelah VOC dibubarkan secara resmi.

Penjajahan dinyatakan berakhir setelah dikumandangkannya proklamasi kemerdekaan 1945. Maka hingga sekarang sudah 75 tahun negeri ini dikatakan merdeka. Namun benarkah sudah merdeka, jawabnya masih menjadi misteri.  Sebab jika dulu di masa penjajahan, negeri ini dieksploitasi kekayaannya untuk kesejahteraan penjajah. Sedangkan saat ini kekayaan negeri dikuras untuk kemakmuran pihak asing. Jika demikian, di sisi manakah agar kata ‘merdeka’ itu bisa difahami sesuai kenyataan?. Lalu bagaimana cara mewujudkan kemerdekaan yang ‘hakiki’ ?.

Pseudo Kemerdekaan
Merdeka menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),  mempunyai tiga arti. Pertama bebas (dari penghambaan, penjajahan, dan sebagainya), berdiri sendiri. Kedua, tidak terkena atau lepas dari tuntutan. Ketiga, tidak terikat, tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu, leluasa. 

Jika mengacu pada makna tersebut, maka sesungguhnya kondisi bangsa ini belum bisa dikatakan merdeka. Walaupun secara fisik, penjajah sudah tidak lagi berkuasa, tetapi dominasi mereka masih sangat terasa di semua aspek kehidupan, baik politik, ekonomi, sosial, budaya, dan ideologi. 

Ketundukan negeri ini pada kebijakan ekonomi kapitalis, kepasrahan terhadap sistem politik yang mengacu pada demokrasi bawaan penjajah, serta pemberlakuan hukum dan undang-undang warisan kolonial adalah sebuah pseudo kemerdekaan yang tersaji di negeri ini yang berdampak pada aspek pemikiran, sosial, budaya, dan sebagainya.

Lahirnya peraturan dan produk undang-undang adalah modus penjajahan ‘gaya baru’ yang beraroma neo imperialisme. Penjajahan adalah metode utama bagi negara-negara kapitalis untuk menyebarkan ideologi dan pengaruhnya ke seluruh penjuru dunia.  Sehingga dapat leluasa menguasai negeri-negeri muslim tanpa perlawanan. Mereka tidak perlu menyiapkan perangkat fisik untuk melakukan agresi dan invasi militer. Namun cukup dengan mengintervensi kebijakan suatu negara untuk mencapai tujuan menguasai bagian terpentingnya yaitu politik-ekonomi. Seperti pernah disampaikan oleh politisi PDIP, Eva Kusuma Sundari berdasarkan info Badan Intelejen Negara (BIN) selama 12 tahun reformasi, ada 76 produk undang-undang yang sangat bernuansa liberalisasi yang draftnya disusun oleh pihak lain, yakni Bank Dunia, IMF, USAID (nasional.tempo.co, 2010).

Atas kepandaian penjajah menutupi strategi busuknya, membuat kaum muslim tertipu. Alih-alih mengusir penjajah, mereka justru menghadirkannya karena merasa membutuhkan donasi dan uluran tangan yang dibungkus rapi dengan label bantuan dan pinjaman modal. Walhasil, negara justru terjebak pada utang dan dipaksa untuk tunduk pada kepentingan-kepentingan asing yang tersembunyi. Dengan demikian, uluran bantuan dan pinjaman asing menjadi ‘alat gebuk’ yang melemahkan negeri ini, sehingga tak memiliki pilihan selain membiarkan sumber daya alamnya dikuasai, dieksploitasi dan dikuras habis.

Sebagaimana dilansir media, pada bulan juli 2018 pemerintah kembali melakukan perpanjangan kontrak freeport selama 2x 10 tahun atau sampai 2041 (republika.co.id 2018). Padahal penguasaan freeport yang bertahun-tahun jelas merugikan negara milyaran bahkan triliunan. Aktivis HAM, Usman Hamid mengatakan, “sudah lama kita tidak pernah jaya dengan hasil alam sendiri. Padahal kita kaya sumber daya alam (SDA). Sedikitnya 69% SDA kita dikuasai oleh asing selama puluhan tahun. SDA itu seluruhnya berakhir dalam surat-surat kontrak (konsensus) dengan pihak asing. Itu sebabnya kita tetap miskin.” 

Maka, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat provinsi Papua sebagai wilayah dengan angka kemiskinan tertinggi di Indonesia pada Maret 2019 sejumlah 27,53%. Sementara per April 2020 utang Indonesia diperkirakan mendekati 40% PDB atau lebih besar dari Rp 5.172 triliun.

Kemerdekaan Hakiki
Ketika negeri ini mengalami keterpurukan akibat penjajahan di segala bidang kehidupan, sesungguhnya Islam telah memberikan jalan keluar dengan solusi mendasar dan komprehensif. Agar sistem kapitalisme yang menjadi otak keburukan segera dicampakkan lalu menggantikannya dengan Islam sebagai pengatur kehidupan. Sebab kemerdekaan harus diperjuangkan di era modern ini. Yaitu kemerdekaan yang dapat membebaskan seorang hamba dari peribadatan kepada selain Allah swt.

Mewujudkan penghambaan hanya kepada Allah swt adalah misi utama Islam. Inilah pula arti kemerdekaan hakiki dalam pandangan Islam. Sebab Islam menghendaki agar manusia benar-benar merdeka, terbebas dari segala bentuk penjajahan, eksploitasi, penindasan, kedzaliman, perbudakan dan penghambaan pada manusia.

Misi Islam ini bersifat konstan. Tidak akan berubah sedikit pun sejak dahulu hingga sekarang, bahkan sampai yaumil qiyamah. Dialog Jenderal Rustum dengan Rab’i bin Amir utusan panglima Saad bin Abi Waqqash, yang diutus setelah Mughirah bin Syu’bah pada perang Qadishiyah untuk membebaskan Persia, dapat menjadi pengingatnya. 

Ketika itu Jenderal Rustum bertanya kepada Rab’i bin ‘Amir, “Apa yang kalian bawa?’. Rab’i menjawab, “Allah telah mengutus kami. Demi Allah, Allah telah mendatangkan kami agar kami mengeluarkan siapa saja yang mau, dari penghambaan kepada sesama hamba (manusia) menuju penghambaan hanya kepada Allah; dari kesempitan dunia menuju kelapangan; dan dari kedzaliman agama-agama (selain islam) menuju keadilan Islam...”. (At Thabari, Tarikh Al Umam Wa Al Muluk II/401).

Semua ini dapat tercapai jika umat manusia mengembalikan hak Allah swt dan RasulNya. Menerapkan seluruh hukumNya di semua aspek kehidupan di bawah sebuah kepemimpinan yang akan melakukan pengaturan urusan-urusan dunia serta memelihara urusan-urusan agama. Inilah kewajiban yang semestinya dijalankan oleh kaum muslimin agar tercapai keadilan, keamanan, dan kesejahteraan serta dilepaskan dari kesempitan di akhirat. 

Sejarah telah menjadi saksi, bahwa kemerdekaan hakiki semacam ini hanya dapat diperoleh dan dirasakan secara de facto dan de jure, saat umat dinaungi sistem Islam. Maka sudah saatnya umat bersungguh-sungguh berjuang agar tak sekedar meraih pseudo kemerdekaan, sebuah kemerdekaan semu. ()

*Penyuluh Agama Islam
referensi :
https://kbbi.web.id/merdeka
Media Politik dan Dakwah alwaie no 156 tahun XII, 1-31 Agustus 2013
Tabloid MediaUmat, edisi 267 , 12-25 Juni 2020
Previous Post Next Post