POP: Dana Hibah Salah Langkah

By : Falihah Balqis 
(Komunitas Annisaa Ganesha)
Mahasiswi Teknik Material ITB (S1)
Bandung, Jawa Barat

Untuk memenuhi program kebijakan Merdeka Belajar, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyelenggarakan program Program Organisasi Penggerak (POP). Namun, POP dinilai tidak tepat dalam keberjalanannya. Transparansi dan ketepatan sasaran lagi-lagi menjadi masalah yang terulang di pemerintahan. Akan tetapi, apakah hulu perkara ini hanya itu?

POP diadakan untuk meningkatkan kualitas guru dan meningkatkan hasil belajar siswa dengan melibatkan peran organisasi. Tiap tahun, dana sebesar 595 miliar rupiah siap digelontorkan kepada organisasi-organisasi yang berkecimpung di bidang Pendidikan. Untuk menerima dana tersebut, organisasi pendidikan harus mengirimkan proposal terlebih dahulu.

Proses seleksi POP dipandang bermasalah. Dalam proses penyaringan, penyeleksi tak bisa melihat organisasi yang membuat proposal. Alasannya, demi menjaga netralitas dan independensi. Akibatnya, banyak kasus yang terjadi dalam keberlangsungan program ini. Hasil seleksinya pun dipertanyakan. Contohnya saja, terdapat karangan ilmiah dengan judul seadanya yang bisa lolos dan mendapatkan dana hibah milyaran rupiah (bbc.com, 24/07/20). Hal ini tentu meresahkan, sebab uang negara menjadi tak jelas kemana perginya.

Karena nihilnya transparansi program ini, organisasi yang telah sejak abad lalu berperan aktif di dunia pendidikan, yakni Muhammadiyah, NU, dan PGRI, mundur dari program ini (bbc.com, 24/07/20). Menurut Moch. Isa Anshori, seorang Pengamat Pendidikan, ketiga organisasi ini mundur karena persoalan harga diri akibat tak lagi diperhitungkan perannya (tribunnews.com, 26/07/20). Seolah melengkapi kecacatan POP, Kemendikbud bahkan meloloskan proposal dari Yayasan Putera Sampoerna dan Yayasan Bhakti Tanoto. Keduanya adalah organisasi bentukan perusahaan untuk melaksanakan tanggung jawab sosial berupa sumbangan pada masyarakat. Sungguh mengherankan untuk melihat bagaimana perusahaan tersebut malah memanfaatkan kekayaan negara dan didiamkan oleh pemerintah.

Dari hasil kelolosan proposal, dapat kita simpulkan bahwa, pertama, Kemendikbud hanya menggunakan indikator penilaian yang setara tetapi tidak adil. Kemudian kedua, cara kerja Kemendikbud kurang sinergis dengan kementerian lain yang bersangkutan, sehingga bisa ada organisasi bentukan perusahaan swasta yang lolos proposalnya.

Dengan demikian, kita bisa meninjau bahwa pengadaan program ini tidak matang perencanaannya. Namun, mengapa tetap dilanjutkan dalam waktu dekat dengan beberapa perubahan? Rupanya Kemendikbud sedang di-“kejar tayang”. Dalam masa jabatan kabinet yang hanya lima tahun, tentu merupakan hal yang sukar untuk menyelesaikan satu masalah dengan solusi yang holistik. Alhasil, kajian yang dilakukan pun bersifat singkat dan pragmatis.

Mari kita tengok sistem pendidikan lain sebagai pembanding. Dalam Islam, pendidikan diatur sedemikian rupa sehingga dapat mencerdaskan generasi bangsa dengan tulus. Pendidikan dalam Islam paham betul bahwa umat muslim haruslah kuat baik di dunia maupun akhirat. Dari sini, semua pun paham bahwa pendidikan adalah satu hal yang penting. Sebagaimana disebutkan dalam hadits.

"Barangsiapa yang hendak menginginkan dunia, maka hendaklah ia menguasai ilmu. Barangsiapa menginginkan akhirat, hendaklah ia menguasai ilmu. Dan barang siapa yang menginginkan keduanya (dunia dan akhirat), hendaklah ia menguasai ilmu." (HR. Ahmad).

Semua orang berhak mengenyam ilmu dari pendidikan. Dalam Islam pun dana yang dikeluarkan tidak diberikan secara pilih-pilih, tetapi merata kepada semua golongan dengan proses yang transparan, sebab penjaminnya adalah Allah.

Semoga dengan adanya kritik terhadap keberjalanan program pemerintah, dapat dilakukan introspeksi dan refleksi yang menyeluruh, sehingga kesejahteraan dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Aamiin.
Previous Post Next Post