POLEMIK PJJ DAN VISI PENDIDIKAN TAK JELAS ARAH

Penulis : Siti Rima Sarinah
 (Studi Lingkar Perempuan dan Peradaban)

Banyak siswa yang kesulitan ikut kegiatan belajar mengajar (KBM) dengan sistem daring. Pasalnya, tidak semua orang tua mampu untuk membelikan anaknya kuota internet. Untuk itu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (RI) Nadiem Makarim menyebutkan Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) bisa digunakan guru dan murid untuk membeli kuota internet dalam rangka mendukung belajar dari rumah. Kebijakan penggunaan dana BOS  ini diambil untuk merespon situasi krisis wabah pandemi Covid-19 (RadarBogor, 30/7/2020).

Pembelajaran jarak jauh (PJJ) menjadi kebijakan sistem pendidikan yang diambil oleh pemerintah di kala wabah Covid-19 tengah melanda negeri ini. Sejak penutupan sekolah-sekolah karena adanya wabah pandemi, mengakibatkan aktivitas belajar mengajar dipindahkan dari sekolah ke rumah dengan cara online (daring).  PJJ atau belajar online menjadi satu-satunya alternatif agar para siswa tetap mendapatkan pengajaran dengan cara online. Penutupan sekolah – sekolah, perkantoran dan berbagai fasilitas umum dilakukan untuk memutus mata rantai penyebaran wabah pandemi yang semakin hari semakin banyak memakan korban jiwa.

PJJ seakan menjadi solusi bagi para siswa untuk tetap bisa mendapatkan pengajaran di saat wabah pandemi, namun banyak yang mengalami kendala baik bagi para siswa, otrangtua, maupun tenaga pengajar (guru). Karena tidak semua orangtua mampu memberikan fasilitas belajar online kepada anak-anaknya, sehingga dengan terpaksa para siswa tidak bisa mengikuti sistem belajar online. Belum lagi kendala yang dihadapi oleh guru, yang tidak semua memiliki kemampuan mengajar dengan menggunakan teknologi, ditambah faktor sinyal yang tidak mendukung proses KBM berjalan dengan maksimal.

Kebijakan PJJ mungkin bisa menjadi solusi di wilayah perkotaan yang di mana bisa memperoleh jangkauan sinyal yang baik dan para siswa serta gurunya memiliki fasilitas untuk menjalankan aktivitas KBM secara daring. Namun kebijakan ini tidak bisa diterapkan untuk semua wilayah yang sulit mendapatkan sinyal, terutama di wilayah pelosok atau pedesaan. Bahkan untuk mendapatkan sinyal para siswa harus mencari tempat yang tinggi, seperti bukit dan gunung. Semua itu para siswa lakukan demi mendapatkan pendidikan walaupun rintangan dan bahaya yang menghadang.

Selain itu kebijakan PJJ menyisakan berbagai kisah pilu dari para siswa dan orangtua. Kisah mengharukan seorang ayah di Kabupaten Garut Jawa Barat yang nekat mencuri handphone android untuk dipergunakan anaknya belajar secara online. Bahkan yang lebih tragis lagi, seorang siswi ”terpaksa” menjual keperawanannya untuk bisa memiliki handphone agar bisa mengikuti pembelajaran via online. Dan masih banyak lagi berbagai kisah yang dihadapi baik orangtua, siswa dan guru dalam menjalani PJJ.

Kebijakan Menteri Pendidikan yang memberi arahan untuk mengalokasikan dana BOS untuk membeli kuota bagi guru dan siswa, seakan menjadi solusi dalam mengatasi PJJ. Padahal untuk belajar secara online tidak hanya membutuhkan kuota saja, tetapi juga harus memiliki HP/laptop dan sinyal yang mendukung. Dan apakah dana BOS cukup untuk membiayai pembelian kuota kepada seluruh warga sekolah (siswa dan guru)? Mengingat belajar secara online dalam sehari  menggunakan kuota yang tidak sedikit dan pembelajaran online ini dilakukan selama wabah pandemi masih berlangsung.

Fakta di atas menunjukkan bahwa ada 3 kendala yang harus dihadapi dalam pelaksanan PJJ yaitu meliputi, infrastruktur/sarana (laptop, HP dan sinyal), kurikulum dan keuangan. Seharusnya pemerintah  memberikan fasilitas yang memadai agar kendala yang dihadapi dalam PJJ bisa di atasi. Bukan hanya sekedar memberi solusi pembelian kuota dari dana BOS saja. Sedangkan sarana lain yang diperlukan tidak di fasilitasi oleh pemerintah, sehingga menjadi beban bagi sekolah dan para siswa.termasuk para orang tua.

Kurikulum PJJ yang menjadi pijakan dalam proses KBM selama masa pandemi memang telah menuai pro dan kontra di berbagai kalangan. Bagaimana tidak, sistem pembelajaran online atau sistem PJJ menjadi tugas yang rumit dan kompleks bagi orang tua juga guru jika dilaksanakan dalam jangka panjang. Karena berdasarkan surat edaran pemerintah untuk melaksanakan sistem PJJ sesuai panduan zonasi pada kondisi pandemi. Daerah yang berada di daerah zona kuning, oranye dan merah di larang untuk melakukan pembelajaran tatap muka (offline). Status zona hijau bagi satuan pendidikan menjadi syarat pertama dan utama yang wajib dipenuhi dalam pembelajaran tatap muka.
Ini sebagai bukti bahwa visi pendidikan Sekuler Kapitalistik, membuat kurikulum tak jelas arah, metode pembelajaran yang kaku, dukungan sarana dan prasarana yang sangat minim dan belum merata memmbuat pendidikan ditengah pandemi menjadi hal yang terasa sangat memberatkan. Baik bagi para siswa, orang tua, maupun pihak pendidik dan sekolah. Banyak dari mereka yang stres karena tuntutan sistem yang tak jelas. Bukan hanya terjadi  pada saat ada pandemi, melainkan dalam kondisi normal saja, sistem pendidikan yang diterapkan memang tampak rapuh  tak jelas. 

Sehingga pendidikan telah kehilangan sisi strategis sebagai salah satu pilar pembangun peradaban. Yang ada pendidikan hanya ditempatkan sebagai pengukuh penjajahan Kapitalisme global, dan sebagai pencetak mesin pemutar roda industri belaka demi untuk memenuhi pasar industri milik Kapitalis. Itulah sebabnya, kurikulum yang dibuat hanya berorientasi pada sistem vokasi, di mana output pendidikan harus sesuai dengan kebutuhan pasar perindustrian, Negara bahkan berperean besar dalam mendorong terjadinya Kapitalisasi dan Sekularisasi di bidang pendidikan ini. Harapan ”mencetak generasi emas berkepribadian Islam dan berperadaban cemerlang” kian jauh dari ingatan.

Sangat jauh berbeda dengan sistem pendidikan Islam yang memiliki tujuan yang jelas, yaitu membangun kepribadian Islam. Dan untuk mewujudkan tujuan tersebut, negara (Khilafah) yang bertanggung jawab untuk menyediakan sarana dan prasarana agar tujuan pendidikan bisa tercapai. Akidah Islam yang menjadi rujukan dalam penetapan arah pendidikan, penyusunan kurikulum dan menjadi dasar dalam KBM. Pendidikan semua di arahkan bagi terbentuknya kepribadian Islam peserta didik dan membina mereka agar menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi serta tsaqofah Islam. 

Islam adalah agama yang sangat memperhatikan masalah pendidikan. Besarnya perhatian terhadap pendidikan ditunjukkan oleh Rasulullah SAW ketika menetapkan tebusan bagi tawanan perang badar dengan mengajar sepuluh anak muslim. Melalui pendidikan, Khilafah memastikan bahwa semua warga negaranya mampu menguasai berbagai bidang keahlian yang diperlukan untuk kemajuan masyarakat. Dari sistem pendidikan yang bermutu tinggi inilah lahir pribadi-pribadi istimewa yang mampu menjadi pemimpin politik, pemerintahan serta milter seperti, Abu Bakar ra, Khalid bin Walid ra dan Shalahuddin al-Ayyubi. Pada saat yang sama, lahir pula sosok-sosok yang luar biasa seperti Imam Abu Hanifah dan Al-Khuwarizmi yang ahli dalam ilmu fikih maupun cabang ilmu tsaqofah Islam yang lain. 

Dan yang terpenting pendidikan juga betujuan untuk membangun ketahanan negara dari ancaman disintegrasi dan intervensi dari luar negeri. Dengan cara ini ketegantungan umat Islam kepada negara-negara kolonialis bisa dihindari. Demikianlah mekanisme strategi pendidikan dalam negara Khilafah yang pernah menjadi mercusuar peradaban Islam selama 13 abad.  

Keberhasilan sistem pendidikan dalam mencetak generasi Muslim yang berkepribadian Islam dan terdepan dalam saintek, tidak akan terwujud selama masih merujuk pada sistem Kapitalis Sekuler. Karena sistem ini hanya bisa melahirkan generasi yang berorientasi pada nilai/materi, namun miskin dari nilai spiritual.

Oleh karena itu, sudah saatnya kaum Muslim kembali kepada sistem Khilafah yang telah terbukti mampu melahirkan generasi khoiru ummah (umat terbaik). Generasi yang akan membangun kembali kejayaan peradaban Islam, agar umat Islam kembali pada posisinya sebagai makhluk yang dimuliakan oleh Allah SWT 
Previous Post Next Post