PERISAI ISLAM DAN UMAT

By : Popon Marliah 
Komp Permata Biru blok w 116 RT9/RW20 Cinunuk- Cileunyi Kab Bandung

Rasulullah saw. diutus oleh Allah SWT dengan membawa risalah Islam untuk menjadi rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil ‘alamin) (QS al-Anbiya’ [21]: 107). Rahmatan lil ‘alamin mewujud dalam ragam kemaslahatan dan terhalanginya berbagai kemafsadatan. 

Rahmatan lil ‘alamin akan terwujud jika syariah Islam diterapkan secara menyeluruh dan total. Penerapan syariah Islam secara menyeluruh dan total jelas membutuhkan adanya kekuasaan. Karena itulah Rasul saw. diperintah untuk meminta kekuasaan kepada Allah SWT.'

Katakanlah (Muhammad), “Tuhanku, masukkanlah aku dengan cara masuk yang benar dan keluarkanlah aku dengan cara keluar yang benar serta berikanlah kepada diriku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong.” (TQS al-Isra’ [17]: 80).

Imam Ibnu Katsir, mengutip Qatadah, menyatakan, “Dalam ayat ini jelas Rasul saw. menyadari bahwa tidak ada kemampuan bagi beliau untuk menegakkan agama ini kecuali dengan kekuasaan. Karena itulah beliau memohon kepada Allah kekuasaan yang bisa menolong, yakni untuk menerapkan Kitabullah, memberlakukan hudûd Allah, melaksanakan ragam kewajiban dari Allah dan menegakkan agama Allah…” (Tafsîr Ibn Katsîr, 5/111).

Islam memang tidak bisa dilepaskan dari kekuasaan. Khalifah Umar bin Abdul Aziz pernah mengirim surat kepada salah seorang amil-nya. Di dalam surat tersebut antara lain beliau mengungkapkan:
Agama dan kekuasaan itu ibarat dua saudara kembar. Tidak cukup salah satunya tanpa didukung oleh yang lain (Abdul Hayyi al-Kattani, Tarâtib al-Idâriyah [Nizhâm al-Hukûmah an-Nabawiyyah], 1/395).

Jadi untuk menerapkan Islam secara total dan menyeluruh diperlukan kekuasaan. Kekuasaan harus dibangun berlandaskan Islam sekaligus dikhidmatkan untuk Islam, menerapkan Islam, menjaga Islam dan mengemban Islam ke seluruh manusia. Inilah fakta yang terjadi sepanjang sejarah umat Islam. 

Dulu Rasul saw. menegakkan kekuasaan dengan mendirikan pemerintahan Islam (Daulah Islam) di Madinah. Kemudian diteruskan oleh Khulafaur Rasyidin dengan sistem Khilafahnya. Khilafah ini berlanjut pada masa Umayah, ‘Abasiyah dan Utsmaniyah selama lebih dari 13 abad. Selama itu kekuasaan selalu diorientasikan untuk menerapkan, menegakkan, memelihara, menjaga dan mengemban Islam serta memelihara urusan umat Islam dan melindungi mereka.

Begitulah posisi dan fungsi kekuasaan yang disyariatkan oleh Islam. Syamsuddin al-Gharnathi Ibnu al-Azraq (w. 896 H) dalam Badâi’u as-Suluk fî Thabâi`i al-Muluk menyatakan, “Sungguh kekuasaan itu berfungsi untuk menjaga agama dari penggantian dan perubahan. Telah dinyatakan dari Azdasyir bahwa agama itu adalah pondasi dan kekuasaan adalah penjaga (ad-dînu ussun wa as-sulthân hârisun). Al-Mawardi mengakui hal ini  dengan kesimpulannya, bahwa agama yang kekuasaannya hilang, hukum-hukumnya akan diganti dan sunnahnya diubah. Sebagaimana kekuasaan, jika lepas dari agama, akan berubah menjadi tiran dan merusak zaman.”

Apa yang dinyatakan oleh Imam al-Mawardi itu nyata sekarang ini. Ketika Islam tidak lagi mempunyai kekuasaan, hukum-hukumnya diganti, Sunnahnya diubah. Hukum Islam diganti dengan hukum buatan manusia bahkan hukum peninggalan para penjajah. Ajaran-ajaran Islam pun distigma buruk. Bahkan dikriminalisasi. Termasuk para pengembannya. Ironisnya, hal itu dilakukan bukan hanya oleh orang-orang kafir, tetapi juga oleh mereka yang mengaku Muslim. Jihad dan Khilafah, yang merupakan ajaran Islam, dikriminalisasi serta dianggap sebagai bahaya yang mengancam dan bagian dari konten radikal dalam makna negatif. Begitu pula hukum jilbab dan pakaian syar’i, jenggot, poligami, waris, penyembelihan syar’i, dan lain-lain. Semua diserang. Dianggap tak manusiawi dan dituding sebagai bentuk keterbelakangan. 
Ajaran Islam diubah atas nama moderasi. Padahal moderasi Islam sejatinya adalah menyesuaikan ajaran Islam dengan model dan keinginan Barat kafir. Umat Islam digiring untuk 
membenci ajaran Islam dan syariahnya. Umat Islam diformat agar menjadi manusia sekular. Hanya menggunakan Islam dalam urusan privat. Lalu mencampakkan Islam dan syariahnya dalam urusan publik kemasyarakatan. 

Sedangkan ketika kekuasaan Islam (Khilafah) tegak menjadi perisai bagi umat Islam. Khilafah menjaga kemuliaan kaum Muslim dan melindungi mereka dari marabahaya. Hal itu terus berlangsung sepanjang eksistensi kekuasaan Islam selama tidak kurang dari 13 abad.

Ibnu Hisyam dalam Sirah-nya menceritakan, ketika ada seorang pedagang Muslim yang dibunuh beramai-ramai oleh kaum Yahudi Bani Qainuqa, karena membela kehormatan seorang Muslimah yang disingkap pakaiannya oleh pedagang Yahudi, Rasulullah saw. segera mengirim pasukan kaum Muslim untuk memerangi mereka dan mengusir nya mereka dari madinah .
Pembelaan terhadap kehormatan dan darah kaum Muslim terus dilakukan oleh para penguasa Muslim sepanjang sejarah.   

Sungguh fakta sejarah itu sangat berbeda dengan kondisi umat Islam saat ini. Tak sedikit umat Islam yang diusir, disiksa bahkan dibunuh di berbagai tempat. Di Rogingya, Uiguhur, Suriah, Palestina, beberapa bagian Afrika, dan lainnya. Namun, tidak ada yang membela dan melindungi mereka. Semua itu akibat telah hilangnya kekuasaan Islam. Itulah  Khilafah Islam. 

Kekuasaan Islam (Khilafah) telah menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai perisai yang menjaga dan melindungi umat Islam. Tugas dan kewajiban ini telah ditegaskan oleh Rasul saw sabda beliau;
Sungguh Imam (Khalifah) itu laksana perisai (junnah); orang-orang berperang mengikuti dia dan berlindung kepada dirinya (HR al-Bukhari dan Muslim).

Dengan demikian, jelas umat saat ini memerlukan kehadiran kembali kekuasaan Islam, yakni Khilafah, yang akan kembali menjaga dan melindungi mereka.  Seorang imam (khalifah) yang menegakkan agama, menolong Sunnah, menyelamatkan orang yang dizalimi.

Kewajiban mengangkat Imam/Khalifah, yakni menegakkan Imamah/Khilafah, merupakan Ijmak Sahabat. Ini seperti ditegaskan antara lain oleh Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam ash-Shawâ’iq al-Muhriqah: “Sungguh para Sahabat telah berijmak bahwa mengangkat seorang imam (khalifah) setelah zaman kenabian adalah wajib. Bahkan mereka menjadikan kewajiban ini sebagai kewajiban paling penting (ahammi al-wâjibât).”

WalLâh a’lam bi ash-shawâb.
Previous Post Next Post