Minim Sense of Crisis, Kebijakan Pembelajaran Tatap Muka di Tengah Pandemi

Oleh : Siska Julia Rahman
(Member Komunitas Aktif Menulis) 

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim akhirnya memperbolehkan wilayah zona kuning untuk melakukan pembelajaran tatap muka di sekolah. Keputusan ini diambil untuk mengurangi dampak negatif PJJ yang berkepanjangan. Pembukaan sekolah ini pun diharapkan dapat kembali meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia (7/8).

Langkah ini mendapatkan kritikan dari berbagai pihak dan meminta agar kegiatan pembelajaran tatap muka di zona kuning ditiadakan.

Dilansir dari  RMco.id, Senin (10/8), Wakil Sekjen  Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Satriawan Salim menyatakan, pihaknya menyadari, Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) selama ini banyak kendala, khususnya secara teknis. Menurut dia, masalah teknis dalam pelaksanaan PJJ Fase I (Maret-Juni), dan PJJ Fase II (Juli-Agustus) yang dihadapi persis sama. Misalnya, tidak ada jaringan internet di wilayahnya, sinyal internet buruk, siswa dan guru tak punya gawai pintar, dan masalah jaringan listrik, serta masalah teknis lainnya adalah metode guru kunjung juga tak optimal karena faktor geografi dan akses ke rumah siswa yang jauh atau sulit ditempuh, orangtua tak bisa optimal mendampingi anak selama PJJ, dan penugasan bagi siswa dari guru menumpuk.

Menurutnya, pemerintah pusat dan daerah harusnya membenahi persoalan PJJ itu, bukannya malah mengizinkan pembelajaran tatap muka di zona kuning. Tidak optimalnya pusat dan daerah menyelesaikan pelayanan terhadap proses PJJ yang sudah 2 fase ini, harusnya tidak menjadi alasan pembukaan sekolah di zona kuning. 

Hak hidup dan hak sehat bagi anak, guru, tenaga kependidikan, dan orang tua adalah yang utama. Merujuk kepada Konvensi PBB tentang Anak, anak memiliki hak hidup, hak memeroleh kesehatan, dan hak mendapatkan pendidikan. Namun mesti diingat bahwa, anak yang bisa belajar dan mendapatkan pendidikan adalah anak yang hidup dan sehat.

Senada dengan FSGI, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Retno Listyarti menuturkan, pemerintah harus mengevaluasi pembukaan sekolah tatap muka, dan memperbaiki kualitas pembelajaran jarak jauh.

Akibat dari pembelajaran tatap muka bermunculan Klaster baru, di Kalimantan Barat, Pemda setempat melaporkan 14 siswa dan 8 guru positif tertular corona.Penularan ini terjadi di 6 SMA, di Pontianak, Ketapang dan Ngabang. Pada 13 Agustus lalu, Gubernur Kalimantan Barat Sutarmidji membenarkan penambahan kasus baru di wilayahnya, berasal dari siswa, guru, mahasiswa hingga tenaga kesehatan. 11 guru positif tertular corona juga terjadi di Kabupaten Rembang Jawa Tengah. Kasus pertama dilaporkan dari seorang guru hingga menulari guru lainnya (kompas tv, 16/8/2020). 

Kebijakan ini juga dikeluarkan karena adanya desakan beberapa pihak yang berharap bisa bersekolah dengan tatap muka kembali dan menghilangkan kendala-kendala selama proses pembelajaran secara daring, jelas keputusan ini menggambarkan bahwa pemerintah tidak memiliki sense of crisis terhadap perlindungan kesehatan serta nyawa bagi anak sekolah. Rezim ini tidak mampu membuat keputusan berdasarkan kepentingan terbaik untuk anak-anak sekolah. Hal ini sangat subur dalam sistem demokrasi kapitalis, pasalnya kepemimpinan dalam sistem ini hanya dapat diraih tergantung seberapa besar dana yang dapat dikeluarkan, sehingga pemimpin yang terpilih adalah pemimpin yang memiliki banyak modal bukan terpilih karena kemampuannya dalam meriayah atau mengurus rakyat, padahal sudah menjadi tupoksinya jika kewajiban pemimpin adalah mengurus rakyatnya. 

Oleh karena itu di dalam sistem Islam yakni Khilafah, pemimpin akan dipilih berdasarkan kemampuannya dalam mengurus rakyat, sebagaimana hadis Rasulullah SAW  “pemimpin itu pengurus rakyat dan akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang diurus” (HR al-Bukhari dan Ahmad). Maka pemimpin dalam sistem Islam adalah pemimpin yang memiliki tanggung jawab dan kepekaan yang luar biasa terhadap urusan umat, mereka akan mengurus rakyat sebagaimana hukum syariat menetapkan, termasuk dalam sektor pendidikan. 

Dalam negara Islam pendidikan merupakan salah satu dari tiga kebutuhan dasar publik selain kesehatan dan keamanan yang wajib dijamin oleh negara secara langsung, artinya jaminan pembiayaan yang terkait untuk kebutuhan ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab negara,  sehingga dapat dinikmati oleh seluruh warga, baik miskin maupun kaya, muslim ataupun non muslim secara murah bahkan gratis. 

Pun saat terjadi pandemi seperti ini akan tetap diupayakan dapat terpenuhi, maka sejak awal khalifah atau pemimpin akan memisahkan antara orang yang sakit dan orang yang sehat dan berupaya keras agar penyakit yang berada di wilayah sumber awal tidak meluas ke wilayah lain, pemisahan ini dilakukan dengan cara tes, baik swab test maupun rapid test secara massal dan gratis kepada seluruh masyarakat termasuk di instansi pendidikan, bagi mereka yang terinfeksi, Khilafah akan memberikan pelayanan kesehatan hingga mereka sembuh secara gratis, mereka akan diisolasi dan ditangani dengan pelayanan medis yang berkualitas, bagi yang sehat mereka tetap dapat melakukan aktivitas belajar mengajar sebagaimana biasanya dengan protokol kesehatan tanpa takut tertular. 

Kalau pun proses belajar mengajar dilakukan secara daring, maka Khilafah juga akan menjamin tersedianya kuota dan jaringan yang memadai di setiap daerah secara gratis, baik perkotaan maupun pelosok wilayah dan memastikan dalam proses belajar mengajar tersebut tetap dapat mencapai tujuan pendidikan dalam Islam. Semua jaminan ini dapat dibiayai sepenuhnya dari lembaga keuangan negara Khilafah yakni Baitul Mal, terdapat dua sumber pendapatan yang dapat digunakan membiayai pendidikan, yaitu pertama pos kepemilikan negara yang bersumber dari fai’, kharaj, ghanimah, khumus, jizyah dan dharibah atau pajak. Kedua, pos kepemilikan umum seperti tambang, minyak dan gas, hutan, laut dan Hima yakni milik umum yang penggunaannya telah dikhusukan
Previous Post Next Post