Menelisik Motif Dibalik Kerjasama Vaksin

Oleh : Septiana Rosa Ginting, S.Si

Hingga saat ini, pandemi akibat wabah Covid-19 belum mencapai titik terang. Angka pasien yang terkonfirmasi per tanggal 16 Agustus sudah mencapai 139.549 orang. Sungguh angka yang luar biasa. Tak banyak solusi yang sudah dilakukan oleh pemerintah, mulai dari kebijakan PSBB hingga memaksa kebijakan New Normal yang justru semakin menambah orang yang terinfeksi virus ini. Lagi-lagi alasan ekonomi menjadi dalil utama di setiap kebijakan. 

Pemerintah berencana mengalokasikan anggaran untuk pengadaan vaksin Covid-19 ini di RAPBN 2021 dan melalui BUMN Kesehatan, PT. Bio Farma akan menjalin kerjasama pengembangan vaksin ini dengan Sinovac, perusahaan asal Beijing, Tiongkok. 

Sekretaris Perusahaan PT. Bio Farma, Bambang Heriyanto, mengungkapkan bahwa kerjasama ini akan menguntungkan Indonesia. Dengan adanya proses transfer teknologi yaitu dengan memberikan bahan aktif untuk Bio Farma yang selanjutnya akan diracik dan diformulasikan di Indonesia. Hingga saat ini, vaksin dari China tersebut sudah memasuki uji klinis tahap ketiga dan diuji di Indonesia (Kompas.com, 24/07/2020).

Menanggapi hal ini pengurus Perhimpunan Alumni dan Persahabatan Indonesia-Tiongkok (Perhati), Fathan Asaduddin Sembiring, menyatakan bahwa kerjasama pengetesan vaksin Covid-19 ini bisa menjadi langkah baik untuk peningkatan kualitas industri kesehatan di Indonesia. Menurutnya, kerjasama ini bisa membuka lapangan pekerjaan baru untuk sumber daya manusia di Indonesia terutama di sektor kesehatan. Bahkan diharapkan dengan adanya kerjasama ini industri kesehatan bisa menjadi alternatif penyumbang devisa ke depannya (Kompas.com, 5/08/2020).

Selintas, pengadaan vaksin untuk menangani wabah Covid-19 dianggap mampu untuk menyelesaikan masalah. Apalagi yang menangani langsung adalah PT. Bio Farma, sebuah perusahaan plat merah  yang memang aktif memproduksi, memasarkan, mengembangkan teknologi vaksin di dalam negeri serta membantu memenuhi kebutuhan vaksin untuk dunia.  Namun, motif ekonomi justru tampak lebih dominan ketimbang tujuannya, yaitu untuk kesehatan rakyat. Sejak awal saja sudah tampak dari kerjasama pengadaan vaksin ini dilakukan antara Bio Farma dengan Sinovac yang keduanya merupakan perusahaan yang bergerak di bidang farmasi yang mendapat dukungan legalitas dari pemerintah di negara masing-masing. Vaksin-vaksin yang sudah dihasilkan dari kedua perusahaan ini tidak diberikan secara cuma-cuma kepada rakyat tapi tetap rakyat harus membeli vaksin hasil produksi mereka. 

Untuk vaksin Covid-19 ini saja, jika uji klinis berhasil, perkiraan harga vaksin menurut Bambang Heriyanto sebesar US$ 5 - US$10 per dosis atau sekitar Rp.73.250 - Rp.246.500 per dosis dan Pemerintah juga akan menggandeng perusahaan swasta PT. Kalbe Farma Tbk untuk produksinya (Kontan.co.id, 22/07/2020).

Yang patut menjadi perhatian lagi adalah keberhasilan uji klinis vaksin ini pun tidak ada yang bisa menjaminnya. Seperti yang dinyatakan oleh Epidemiolog dari Universitas Griffith, Dicky Budiman bahwa vaksin impor China yang sudah memasuki tahap uji klinis III belum tentu berhasil mencegah Covid-19. Apalagi vaksin itu menggunakan virus yang dilemahkan. Bahkan dia mengestimasi efektivitas vaksin masih di bawah 80 persen. Sehingga semua masyarakat tetap harus melanjutkan pembatasan sosial, pembatasan fisik, tracking hingga isolasi diri.

Maka kerjasama pengadaan vaksin ini harus mendapat perhatian dari masyarakat, jangan sampai dengan dalih pengembangan vaksin covid-19, yang terjadi justru penguasaan kepentingan umum demi keuntungan pribadi atau segelintir orang. Apalagi tingkat keberhasilannya pun masih diragukan. Seharusnya negara memiliki orientasi yang jelas untuk menghadapi wabah Covid -19 ini yaitu berperan aktif untuk kepentingan masyarakat. bukan malah  mengutamakan faktor keuntungan sebagai landasan utama dalam mengambil kebijakan.

Selayaknya kita meneladani bagaimana Khilafah Islam menangani masalah wabah yang juga pernah muncul di abad ke 19. Pada masa itu, Khilafah Utsmani harus menghadapi wabah smallpox (cacar) yang akhirnya menimbulkan kesadaran di kekhilafahan tentang pentingnya vaksinasi smallpox (cacar). Maka pada tahun 1846 disediakan fasilitas kesehatan yang bertugas untuk melakukan vaksinasi terhadap seluruh anak-anak (muslim dan non-muslim). Bahkan Khalifah memastikan seluruh orang tua untuk mengantarkan anak-anaknya mendapatkan vaksin tersebut. Ini merupakan catatan sejarah yang menunjukkan bahwa peran penting negara sangat dibutuhkan untuk menjamin dan melindungi kesehatan warga negara dari penyakit tanpa memandang status sosial dan keyakinannya. Bahkan, di masa kekhilafahan sebesar 30 % pemasukan baitul mal yang bersumber dari dana wakaf dialokasikan untuk membuat layanan dan penelitian kesehatan menjadi maju. Dan tidak ada sedikitpun motif keuntungan dari sektor ini. Wallahu a'lam bish shawab
Previous Post Next Post