Ketika Minimnya Tenaga Medis Menjadi Kendala di Masa Pandemi

Oleh: Ummu Abror
Ibu Rumah Tangga dan Pengajar

“Tenaga medisku sayang, tenaga medisku malang” ungkapan itu barangkali tepat untuk menggambarkan kondisi tenaga medis saat ini. Di tengah pandemi Covid-19 yang semakin mengganas, mereka tetap berada di garda terdepan dalam menangani pasien yang terinfeksi.

Dilansir dari Ayobandung.com pada Jumat (7/8/2020), tenaga kesehatan menjadi ASN dengan kasus terkonfirmasi Covid-19 terbanyak di Kabupaten Bandung. Menurut Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Bandung Grace Mediana mengatakan, sejauh ini pihaknya mendata sebanyak 23 ASN Kabupaten Bandung terkonfirmasi Covid-19. "Untuk ASN, ada 23 kasus positif. Telah diisolasi semuanya," tutur Grace. 

Dari 23 kasus positif Covid-19 di kalangan ASN Kabupaten Bandung  sebagian besarnya merupakan tenaga medis dan bekerja di bawah dinas kesehatan.

Permasalahan kekurangan dokter sesungguhnya tidak hanya muncul tatkala pandemi melanda. Sebelum pandemi, dunia memang telah kekurangan tenaga medis. Kini, tingginya kematian Nakes akibat pandemi menambah problem yang ada.

Bila pandemi terus berlangsung dan jumlah kematian Nakes terus bertambah, problem baru akan muncul. Kemampuan rumah sakit dan fasilitas kesehatan (Faskes) memberikan pelayanan kesehatan terhadap pasien Covid-19 dan non-Covid akan terganggu. Bahkan banyak dari Nakes yang menjadi korban akibat kelelahan.

Salah satu sebab terbatasnya jumlah tenaga medis di Indonesia dan dunia adalah minimnya jumlah dokter. Hal ini disebabkan oleh  faktor biaya pendidikan kedokteran dan tenaga medis lainnya  yang sangat tinggi, hal ini karena sistem  yang diterapkan adalah sistem kapitalis sekuler. Dimana pendidikan dijadikan sebagai komoditi untuk meraih keuntungan semata dan bukan sebagai bentuk pelayanan negara kepada rakyatnya.

Walhasil, untuk mendapatkan kualitas dan kuantitas pendidikan yang terbaik, membutuhkan biaya besar. Bila biaya ini dibebankan kepada individu (keluarga), berapa banyak masyarakat yang mampu secara finansial? Sementara saat ini Indonesia dan dunia membutuhkan banyak tenaga medis.

Belum lagi lama waktu pendidikan kedokteran sampai menjadi spesialis, tentu tidak pendek. Di Indonesia butuh waktu sekitar 6 tahun untuk lulus mendapatkan gelar dokter, dan sekitar 8-10 semester tambahan untuk menempuh spesialisasi tertentu.

Maka dari fakta tersebut kita memahami bahwa permasalahan kekurangan tenaga medis bukan karena adanya pandemi semata, tetapi lebih kepada kerusakan sistem yang diterapkan yaitu sistem kapitalis sekuler yang memandang asas manfaat sebagai tolak ukur perbuatannya.
Hal ini tentunya berbeda dengan sistem Islam, yaitu sistem yang diturunkan Allah Swt. untuk mengatur seluruh aspek kehidupan. Dalam Islam, sistem kesehatan tersusun dari tiga unsur sistem. Pertama: peraturan, baik peraturan berupa syariat Islam, kebijakan maupun peraturan teknis administratif. Kedua: sarana dan peralatan fisik seperti rumah sakit, alat-alat medis, dan sarana prasarana kesehatan lainnya. Ketiga: SDM (sumber daya manusia) sebagai pelaksana sistem kesehatan yang meliputi dokter, perawat, dan tenaga medis lainnya.

Karenanya, dalam sistem Islam negara wajib membangun berbagai rumah sakit, klinik, laboratorium medis, apotek, pusat dan lembaga litbang kesehatan, sekolah kedokteran, apoteker, perawat, bidan, dan sekolah lainnya yang menghasilkan tenaga medis, serta berbagai sarana prasarana kesehatan dan pengobatan lainnya.

Negara juga wajib mengadakan pabrik yang memproduksi peralatan medis dan obat-obatan, menyediakan SDM kesehatan baik dokter, apoteker, perawat, psikiater, penyuluh kesehatan, dan lainnya. Semua disediakan oleh negara dan tidak diperbolehkan  adanya tenaga medis yang over-capacity dalam pelayanan. Negara wajib menjamin tidak ada kondisi kekurangan tenaga medis baik kondisi biasa maupun kondisi pandemi.

Pembiayaan untuk semua itu diambil dari kas baitul maal, baik dari pos harta milik negara ataupun harta milik umum. Biaya pendidikan kedokteran, keperawatan juga kebidanan, semua di-cover  penuh oleh baitul maal. Masyarakat sama sekali tidak dibebani pungutan pendidikan.

Di samping itu, dukungan kebijakan kesehatan dalam Khilafah diberikan demi terealisasinya sejumlah prinsip. Pertama: pola baku sikap dan perilaku sehat. Kedua: Lingkungan sehat dan kondusif. Ketiga: pelayanan kesehatan yang memadai dan terjangkau. Keempat: kontrol efektif terhadap patologi sosial.

Dengan demikian, bila pada masa Khilafah terjadi pandemi, maka masyarakat dan tenaga kesehatan tidak akan menjadi korban kejahatan sistem kapitalisme sebagaimana hari ini. Sudah saatnya umat kembali kepada sistem yang memberikan kehidupan lebih baik yaitu sistem Islam dalam bentuk kekhalifahan yang mengikuti metode kenabian.
Wallahu a’lam bi ash-shawab.

Previous Post Next Post